Swastika. Kata kuno ini, berasal dari tiga akar bahasa Sansekerta "su" (baik), "asti" (ada, menjadi) dan "ka" (dibuat), yang kemudian diasumsikan berarti "membuat kebaikan" atau, "penanda kebaikan (Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism: 2001, Hlm. 216).
Pemaknaan ini sudah cukup baik untuk diterima, dan sepertinya ini pula yang dipercayai berbagai budaya di dunia, namun begitu, kami melihat ada bentuk pemaknaan lain yang sekiranya dapat dipertimbangkan, yaitu: "dibuat menjadi ada dengan baik".Â
Pemaknaan ini bukan saja kami ambil dari tiga akar kata Sanskerta diatas, tetapi secara intuitif mengingatkan kami pada Ucapan Allah dalam Al-Quran : "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" QS. At-Tin [95] : 4
Empat lengan pada swastika merepresentasi masing-masing empat unsur (angin, air, tanah dan api) yang menjadi unsur utama mikro kosmos manusia - yang di dalam tradisi Bugis, filosofi empat unsur ini dikenal dengan term  Sulapa Appa'.Â
Yang menarik, adalah karena konsep 4 unsur mikro kosmos manusia ini, secara tersirat diungkap dalam ayat ke 4 surat At-Tin. Tentu ini bukanlah suatu kebetulan!
Pengembangan Swastika ke bentuk ragam hias yang tetap mengusung filosofi spiritualistik
Dalam perjalanannya kemudian, simpul tak berujung (endless knot) terus dikembangkan dan menghasilkan motif yang lebih rumit. Seperti yang terlihat dalam ragam hias bangsa Viking.
Kata "sengkarut" dapat kita temukan Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dengan definisi: 1. berjalin-jalin, lilit-melilit (tentang akar, tali, dan sebagainya); 2. banyak seluk-beluknya; kait-berkait.
Dalam banyak tradisi, simbol keabadian dianggap sakral dan kadang terlihat digunakan sebagai jimat.