Jika merujuk pada pendapat umum yang beredar selama ini diantara ilmuwan bahasa di barat, etimologi kata "language" adalah sebagai berikut:Â
Sementara itu, dalam bahasa tae' (bahasa yang digunakan sebagian besar masyarakat Luwu dan Toraja di Sulawesi Selatan) terdapat kata kerja ti-lingua ataupun ma-lingua' (dari bentuk dasar: lingua') yang kurang lebih dapat dideskripsikan seperti orang yang sedang tercengang - mulut terbuka dan mengeluarkan suara seperti lenguh pada kerbau.
Dapat kita lihat bahwa kata lenguh dan lingua' dari Nusantara lebih mendekati bentuk Latin Lingua dan Proto Indo-Eropa *dnghu-. Sumber Etimologinya pun bisa dikatakan lebih primitif karena nampaknya gagasan kata itu terlahir dari pengamatan leluhur kita terhadap alam disekitarnya. Dengan kata lain, mereka memunculkan kata dengan mencari keserupaannya di alam.Â
Contoh lain untuk hal ini adalah kata mengembik/mengembek dalam bahasa Indonesia untuk menamai suara kambing yang kenyataannya memang mirip dengan suara kambing, bandingkan dengan kata mengembik dalam bahasa Inggris "bleating" yang sama sekali tidak memiliki kesamaan dengan suara kambing.
Demikianlah, dugaan etimologi kata language, lingua atau pun dnghu- sebagai kata yang berasal dari Nusantara menunjukkan fakta yang lebih mendekati jika ditinjau secara fonetis, dan berkesan lebih primitif secara historis - memperlihatkan nilai yang jauh lebih kuno dan lebih mendasar jika dibandingkan dengan etimologi yang berkembang selama ini dalam pemahaman ilmuwan barat.Â
Ini semestinya dapat menjadi pertimbangan serius bagi pendapat sanggahan yang mungkin akan timbul, yang ingin mengasumsikan keberadaan kata lenguh dalam bahasa Indonesia dan lingua' dalam bahasa tae' sebagai hasil serapan setelah kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara.
Walaupun kata Lenguh ataupun lingua' terinspirasi dari suara lembu atau kerbau, namun ini tidak bisa dilihat sebagai bentuk kebenaran dari "Teori Kontinuitas," yang mana teori ini dibangun di atas gagasan bahwa bahasa menunjukkan begitu banyak kompleksitas sehingga orang tidak dapat membayangkannya muncul begitu saja dari ketiadaan dalam bentuk akhirnya; karena itu ia harus berevolusi dari sistem pra-linguistik sebelumnya di antara leluhur primata kita (James R. Hurford; Michael Studdert-Kennedy; Chris Knight, eds. Approaches to the evolution of language... - Cambridge University Press, 1998.)
Adapun "Teori diskontinuitas" mengambil pendekatan sebaliknya - bahasa tidak dapat dibandingkan dengan apa pun yang ditemukan di antara non-manusia, pasti muncul secara tiba-tiba selama evolusi manusia. Noam Chomsky adalah pendukung terkemuka teori ini.Â
Secara pribadi, dalam lingkup pembahasan "asal bahasa" saya sepenuhnya sepakat dengan "Teori diskontinuitas" ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H