Ahok manusia jadi pasti bisa berbuat salah. Dan sekarang gw memang ingin menyalahkan Ahok. Tapi gw jangan dibully ya plis. Wkwkwwk . Cekidot ya masbro :
1.BPK itu lembaga professional. Sudah terbukti puluhan tahun memiliki Integritas yang cukup baik. Punya kemandirian dan belum pernah terbukti bisa dintervensi. Gw disini bicara tentang lembaga ya, bukan bicara tentang oknum. BPK selama ini menjadi sumber informasi bagi KPK dalam menyidik perkara-perkara Korupsi, selain PPATK. Pola kerja BPK dalam mengaudit pembelanjaan eksecutif punya standar baku. Ada SOP yang sangat jelas dan akuntable. Inilah yang harus dipegang duluan oleh kita-kita yang ingin meneliti kasus Sumber Waras secara fair maupun berimbang.
2.Diterbitkannya  Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan BPK untuk  Pemprov DKI bermula dari BPK menemukan Transaksi  Yang Tidak Lazim pada pembelian lahan Sumber Waras. Transaksi tersebut disebut BPK sebagai Transaksi Tunai dengan nilai Pembayaran  Rp.755,69 Milyar. Detail tentang pembayaran ini belum gw dapatkan informasi resminya.
Informasi dari sumber tidak resmi mengatakan, Dinas Kesehatan Pemprov DKI melakukan pembayaran secara Tunai (uang Cash) kepada Kartini Mulyadi, Ketua Yayasan Sumber Waras pada tanggal 31 Desember 2014 jam 19.00 WIB. Kita semua tahu bahwa Jam Kerja seluruh Bank di Indonesia pada setiap tanggal 31 Desember 2014 hanya sampai jam 13.00 karena ada Proses Tutup Buku Tahunan.
Bila informasi ini benar maka Ahok sudah melanggar komitmennya sendiri maupun melanggar MOU antara Pemprov DKI dengan BPK pada  1 Juni 2014 dimana Demi Transparansi Pemprov DKI maka tidak ada lagi Transaksi yang dilakukan tanpa melibatkan Bank. Semua transaksi pembayaran pembelanjaan Pemprov DKI harus dilakukan dengan cara Transfer antar Bank yaitu lewat Bank DKI.
Tidak sulit untuk membuktikan Kebenaran Informasi ini. Â Minta saja data dari Bank DKI ada tidak transaksi Transfer sejumlah Rp.755,69 Milyar pada akhir Desember 2014. Dalam hal ini mungkin KPK maupun Kepolisian yang mampu melakukannya.
3.Dari titik tolak penemuan Transaksi yang tidak melewati Mekanisme yang lazim tersebut, maka BPK kemudian melakukan audit investigasi sehingga menemukan adanya pelanggaran Administrasi yang semuanya tersajikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan yang saat ini berada di KPK. Â BPK juga menemukan indikasi kerugian Negara sejumlah Rp. 191 Milyar yang terjadi karena perbedaan NJOP.
Mengenai NJOP ini public sudah mengetahui ada perbedaan versi antara BPK dengan Ahok. BPK menggunakan NJOP Jalan Tomang Utara dengan nilai Rp. 7 juta/M2, sementara Ahok menggunakan NJOP jalan Kyai Tapa dengan nilai Rp.20 Juta/M2.
Sama-sama punya Data. Ahok mungkin tidak salah karena berdasarkan Sertifikat Tanah itu meskipun posisi tanah berada di Jalan Tomang Utara tetapi Keterangan Lokasi pada sertifikat tanah yang terbit pada tahun 1998, tertera lahan tersebut berada di Jalan Kyai Tapa.
Dinas Pelayanan Pajak DKI juga mengeluarkan Penetapan NJOP lahan tersebut sebesar Rp.20 Juta/M2. Sayangnya Surat Penetapan NJOP yang beredar di public  malah tertanggal 29 Desember 2014. Hal ini kemudian menjadi tanda-tanya besar, apakah Dinas Pelayanan Pajak dipaksa oleh Ahok untuk menentukan NJOP tersebut atau tidak.
BPK punya data sendiri tentang NJOP untuk setiap lahan yang ada di DKI Jakarta. BPK tidak mungkin sembarang melaporkan bahwa NJOP untuk lahan lokasi di Jalan Tomang Utara memang senilai Rp.7 Juta/M2. Jadi perbedaan versi disini adalah Penetapan NJOP BPK berdasarkan Real Time Lokasi lahan, sementara Penetapan NJOP Dinas Pelayanan Pajak berdasarkan Lokasi yang tertera di Sertifikat Tanah.