[caption caption="Ilustrasi: Kompasiana"][/caption]Spesial untuk mbak Biken dan mbak Mike, serta mbak-mbak lain di Kompasiana yang pernah menyebut gw sebagai penulis yang diskriminatif. Mereka memprotes karena tulisan-tulisan gw hanya ditujukan kepada masbro. Nggak pernah sama sekali  menyebut mbak Sis.  Gw akui gw salah jadi gw perbaiki sekarang. Hehehe..
Jadi begini mbak Sis. Kali ini kita bahas soal lebih efektif  mana berkampanye lewat TV atau lewat Media Sosial.  Ini pertanyaan yang dalem, mbak sis. Butuh kajian dan penelitian yang komprehensif. Idealnya begitu tetapi kenapa mesti repot-repot kalau kita bisa menyimpulkannya dengan sederhana saja yang penting bisa langsung diaplikasikan. Hehehee.. ciyeee.. belagak jadi pengamat advertising. Wkwkwkwk.
Mbak sis masih ingat iklannya Aburizal Bakrie Capres dari Golkar yang dimulai sejak akhir tahun 2012 hingga awal tahun 2014? Iklannya setiap hari di TV One dan ANTV. Gratis tentunya karena 2 stasiun TV itu memang milik om Ical. Dan pertanyaannya, sanggupkah iklan selama 2 tahun itu menaikkan angka Elektabilitas dari ARB? Jawabannya tentu kita sepakat bahwa iklan itu tidak berhasil.
Bila kita bayangkan ARB membayar dengan koceknya sendiri, wuihh  kira-kira habis berapa puluh Milyar Rupiah untuk menayangkan Iklan Capresnya selama hamper 2 tahun? Muahal bingit kan?
Mubazir memang tetapi dari situ tidak bisa dikatakan kampanye atau iklan lewat TV itu tidak efektif.  Yang harus dibedakan pertama adalah Beda antara Kampanye dengan Iklan. Essensinya berbeda sehingga  cara menangkap pesannya kepada pemirsa jauh lebih berbeda.
Iklan sebuah produk di TV hanya  berhubungan dengan Harga yang harus dibayar calon Konsumen.  Tidak ada dampak panjangnya. Produk A bagus iklannya lalu dibeli konsumen. Ternyata produk itu mengecewakan. Ya sudah produk itu tidak akan dibeli lagi. Urusannya hanya sampai  disitu.
Sangat berbeda jauh dengan  Kampanye Kepala Daerah atau Kampanye Presiden. Ini masalah yang besar. Ini masalah tentang  memilih Pemimpin untuk 5 tahun ke depan. Pertimbangannya banyak dan tidak hanya satu sumber. Iklan ARB di TV selama 2 tahun itu sama sekali tidak berarti alias mubazir karena masyarakat tahu persis track record ARB sangat berbeda jauh dengan iklannya. Ini masalahnya.
MASIH INGAT FENOMENA JOKOWI TAHUN 2012-2014?
Jokowi meraih popularitas tertinggi dalam sejarah politik Indonesia. Mungkin rekor Jokowi tidak akan dipecahkan oleh siapapun di negeri ini. Sangat fenomenal. Tahun 2012 masih menjabat sebagai Walikota Solo dan 2 tahun kemudian pada Oktober 2014 sudah dilantik menjadi Presiden RI ke 7.
Apa resepnya? Resepnya hanya dua. Propaganda positif/Sentimen Positif yang sangat simultan dan berkesinambungan. Dan yang kedua adalah Keberhasilan Personal Branding Jokowi.
Kalau bahasa Internet sekarang nama Jokowi dan pemberitaan tentang Jokowi sering dan selalu menjadi Viral di Internet. Nama Jokowi tidak putus-putusnya dibicarakan para netizen sepanjang tahun 2012 hingga tahun 2014.
Salah kalau orang mengatakan nama Jokowi dibesarkan oleh Media Sosial. Yang benar adalah Jokowi dibesarkan oleh media mainstream mulai dari media cetak, media online hingga media TV.  Beragam media itu secara tidak sengaja membuat Personal Branding dari Jokowi  memuncak secara signifikan.
Sekali lagi gw bilang bukan Media Sosial yang pertama kali membesarkan nama Jokowi. Benar memang Jokowi selama 2 tahun itu selalu dibicarakan di Media Sosial sehingga membuat popularitasnya tinggi sekali. Yang perlu dilihat adalah Mengapa Jokowi selalu dibicarakan di Media Sosial. Ini poin terbesarnya.
Personal Branding Jokowi sudah Paten sejak menjadi Walikota Solo. Kepribadiannya yang sederhana dan prestasinya yang tinggi membuat para insan media jatuh hati. Mereka inilah yang pertama-tama dengan iklasnya memberitakan kabar-kabar tentang Jokowi. Jokowi menjadi Media Darling.
Kabar-kabar baik itu kemudian didengar masyarakat luas. Masyarakat juga mendengar penghargaan yang diterima Jokowi dari dunia Internasional. Dan mulailah sejak saat itu mereka selalu membicarakan Jokowi sampai akhirnya mereka mendaulat Jokowi untuk menjadi Presiden. Jadi sebelum menjadi Viral di Media Sosial, Personal Branding Jokowi sudah sangat kuat karena pemberitaan positif media mainstream.
Benar memang Metro TV sempat berkampanye  Capres Jokowi pada saat beberapa bulan sebelum Pilpres tetapi menurut gw hal itu tidak berdampak signifikan.  Masyarakat yang sudah cinta Jokowi sudah menentukan pilihannya pada waktu 6 bulan sebelum Pilpres 2014. Mereka sudah lama mempertimbangkannya sehingga Iklan Jokowi di TV hanya mempermanis /mempercantik  performance pasangan Jokowi-JK.
BENARKAH Â MEDIA SOSIAL TIDAK PUNYA KEKUATAN POLITIK?
Jawaban dari pertanyaan itu adalah salah. Media sosial sangat bisa digunakan untuk mengiklankan Produk-produk maupun sekaligus menjadi ajang kampanye politik.  Hanya kembali lagi dengan pertanyaan, Kampanye Politik seperti  apa yang bisa laku di Media Sosial?
Gw mencatat beberapa poin yang menurut gw cukup berpengaruh dan tidak berpengaruh pada kampanye politik di Media Sosial. Kurang lebih seperti berikut :
1. Khusus untuk Jokowi, Jokowi menjadi Viral di Internet karena banyak netizen yang sangat tertarik pada Jokowi  setelah membaca/mendengar dari sumber berita berbagai media.  Semakin banyak orang yang membicarakan Jokowi membuat semakin banyak yang tadinya tidak mengenal Jokowi akhirnya tertarik dan mulai menyukai Jokowi. Poin disini adalah Testimoni Massal.
2. Menurut gw, kalau Pilpres 2014 diadakan pada Januari 2014 maka kemenangan Jokowi atas Prabowo jauh lebih tinggi dari yang terjadi di Juni 2015. Mengapa, karena pada periode Januari hingga Juni 2014 nama Jokowi sempat terdegradasi  oleh kampanye negatif di media-media sosial.
Poinnya disini adalah apa yang digunakan sebagai Isu di Media Sosial dan  Siapa yang melakukan Isu tersebut.
Nama Jokowi sempat terkikis (analisa gw) sekitar 3-5% dengan Isu Kemusliman seorang Jokowi. Faktanya bahwa mayoritas ulama Indonesia berada dibelakang Prabowo.  Parpol-parpol PAN, PPP dan PKS jauh lebih bisa mempengaruhi ulama daripada PKB yang berada di belakang Jokowi, dengan demikian lebih banyak Umat Muslim yang menurut apa kata para ulamanya. Isunya sederhana saja bahwa  Prabowo lebih Islami dari Jokowi. Buktinya adalah memang benar lebih banyak Ulama yang menyarankan masyarakatnya untuk memilih Prabowo.
Isu itu yang berkembang di media social dan menjadi negative campaign untuk Jokowi. Tetapi terbukti juga bahwa Personal Branding Jokowi sudah sangat ampuh dan  bisa meminimalisir degradasi elektabilitasnya dari gempuran negative campaign.
3. Ada Opini yang bisa berpengaruh dan ada yang tidak berpengaruh sama sekali. Di poin ini ada 2 jenis yaitu Opini Tokoh Terkenal dan Opini orang biasa. Contoh Opini dari Iwan Fals yang diblow-up di media social akan cukup punya pengaruh dibanding Opini dari Farhat Abbas yang menjadi viral meskipun keduanya sama terkenal. Disini berlaku rumus Siapa yang Berbicara dan bukan Apa Bicaranya.
Berikutnya tentang opini orang tidak dikenal atau orang biasa. Sehebat apapun seseorang yang beropini bila tidak disertai argument kuat yang memiliki data valid maka opininya dengan mudah disingkirkan oleh pembacanya. Percuma saja bila ada seorang Penulis Bayaran memutar balikkan fakta untuk mengkampanyekan suatu pihak bila tidak didukung fakta atau faktanya berbanding terbalik dengan kenyataannya. Tidak akan berhasil.
Dan sebenarnya Opini dalam rumus gw adalah Sifatnya Menguatkan. Â Opini itu tidak mungkin (sangat sulit) bisa membuat seseorang mengubah pilihannya terhadap seseorang Calon Kepala Daerah atau Calon Presiden. Sifat dari atau dampak dari sebuah Opini umumnya hanya menguatkan sebuah apresiasi sebelumnya dari Pemilih kepada Calon yang sudah disukainya.
KESIMPULAN
Dari bahasan tersebut diatas mungkin bisa disimpulkan (menurut gw) dengan poin-poin sebagai berikut :
1. Bahwa  Berkampanye di Televisi itu sebenarnya tidak maksimal dan kurang efektif. Media TV hanya mampu secara signifikan dan dengan cepat memperkenalkan seorang Calon Kontestan. Seperti  seorang MC memperkenalkan pada jutaan pemirsa, inilah Konstentan Peserta Pilkada. Hanya sampai di titik itu saja karena selanjutnya pemirsa akan mencari sendiri dari berbagai sumber untuk mengenal siapa sebenarnya Calon Kepala Daerah tersebut.
Media Televisi dan Media Mainstream lainnya akan berpengaruh signifikan untuk elektabilitas seorang calon dengan melakukan pemberitaan-pemberitaan positif selama 1-2 tahun sebelum masa Kontestasi, Pemberitaan-pemberitaan itu harus kontinyu sehingga menimbulkan sentiment positif yang bermuara pada angka Elektabilitas.
2. Berkampanye di Media Sosial sebenarnya bisa cukup efektif tetapi harus dengan beberapa syarat atau beberapa amunisi, antara lain: Pertama, Harus sudah ada Personal Branding dari seorang Calon Kontestan. Harus sudah ada sentiment positif dulu dari si Calon meskipun kualitasnya kecil. Poin inilah yang  perlu diblow-up atau disosialisasikan. Prinsipnya bisa sederhana seperti Warung Makan/Restoran Terkenal. Orang kalau melihat sebuah Warung Makan/Restoran belum dikenal ternyata ramai dikunjungi orang maka sepintas akan terbentuk sebuah opini bahwa makanan disitu pasti enak.
Begitu juga kalau seseorang selalu dibicarakan banyak orang tentang kebaikkannya maka orang yang belum  mengenal sosok yang dibicarakan akan mulai tertarik dengan sendirinya.
Yang Kedua adalah Siapa yang Berbicara atau Siapa yang Beropini. Ini sangat berpengaruh kepada Isu apa yang ingin disosialisasikan. Seorang Ulama Terkenal, seorang Artis yang Terkenal yang punya Prinsip atau seorang Tokoh Masyarakat yang Terpercaya akan sangat mampu memberikan Testimoni yang berdampak. Testimoni  tersebut bisa diviralkan agar membawa sentiment positive untuk calon yang dikampanyekan.
Prinsip ini juga bisa berlaku sebaliknya. Ulama/ Pemimpin Umat Terkenal, Artis Terkenal maupun Tokoh masyarakat terkenal yang memberikan testimoni negatif akan menjadi viral juga di media social.
Dan yang ketiga adalah Opini dari seorang Penulis yang tidak dikenal. Bila tulisannya memang kuat berargumen dan didukung oleh data-data valid maka ini juga bisa diandalkan di media social. Tetapi ingat Dampaknya adalah Menguatkan dan sekali-sekali bukan mengubah sebuah apresiasi dari pembacanya.
Gitu aja mbak sis dan masbro cawe-cawenya. Heheheee.
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H