Nama Jokowi sempat terkikis (analisa gw) sekitar 3-5% dengan Isu Kemusliman seorang Jokowi. Faktanya bahwa mayoritas ulama Indonesia berada dibelakang Prabowo.  Parpol-parpol PAN, PPP dan PKS jauh lebih bisa mempengaruhi ulama daripada PKB yang berada di belakang Jokowi, dengan demikian lebih banyak Umat Muslim yang menurut apa kata para ulamanya. Isunya sederhana saja bahwa  Prabowo lebih Islami dari Jokowi. Buktinya adalah memang benar lebih banyak Ulama yang menyarankan masyarakatnya untuk memilih Prabowo.
Isu itu yang berkembang di media social dan menjadi negative campaign untuk Jokowi. Tetapi terbukti juga bahwa Personal Branding Jokowi sudah sangat ampuh dan  bisa meminimalisir degradasi elektabilitasnya dari gempuran negative campaign.
3. Ada Opini yang bisa berpengaruh dan ada yang tidak berpengaruh sama sekali. Di poin ini ada 2 jenis yaitu Opini Tokoh Terkenal dan Opini orang biasa. Contoh Opini dari Iwan Fals yang diblow-up di media social akan cukup punya pengaruh dibanding Opini dari Farhat Abbas yang menjadi viral meskipun keduanya sama terkenal. Disini berlaku rumus Siapa yang Berbicara dan bukan Apa Bicaranya.
Berikutnya tentang opini orang tidak dikenal atau orang biasa. Sehebat apapun seseorang yang beropini bila tidak disertai argument kuat yang memiliki data valid maka opininya dengan mudah disingkirkan oleh pembacanya. Percuma saja bila ada seorang Penulis Bayaran memutar balikkan fakta untuk mengkampanyekan suatu pihak bila tidak didukung fakta atau faktanya berbanding terbalik dengan kenyataannya. Tidak akan berhasil.
Dan sebenarnya Opini dalam rumus gw adalah Sifatnya Menguatkan. Â Opini itu tidak mungkin (sangat sulit) bisa membuat seseorang mengubah pilihannya terhadap seseorang Calon Kepala Daerah atau Calon Presiden. Sifat dari atau dampak dari sebuah Opini umumnya hanya menguatkan sebuah apresiasi sebelumnya dari Pemilih kepada Calon yang sudah disukainya.
KESIMPULAN
Dari bahasan tersebut diatas mungkin bisa disimpulkan (menurut gw) dengan poin-poin sebagai berikut :
1. Bahwa  Berkampanye di Televisi itu sebenarnya tidak maksimal dan kurang efektif. Media TV hanya mampu secara signifikan dan dengan cepat memperkenalkan seorang Calon Kontestan. Seperti  seorang MC memperkenalkan pada jutaan pemirsa, inilah Konstentan Peserta Pilkada. Hanya sampai di titik itu saja karena selanjutnya pemirsa akan mencari sendiri dari berbagai sumber untuk mengenal siapa sebenarnya Calon Kepala Daerah tersebut.
Media Televisi dan Media Mainstream lainnya akan berpengaruh signifikan untuk elektabilitas seorang calon dengan melakukan pemberitaan-pemberitaan positif selama 1-2 tahun sebelum masa Kontestasi, Pemberitaan-pemberitaan itu harus kontinyu sehingga menimbulkan sentiment positif yang bermuara pada angka Elektabilitas.
2. Berkampanye di Media Sosial sebenarnya bisa cukup efektif tetapi harus dengan beberapa syarat atau beberapa amunisi, antara lain: Pertama, Harus sudah ada Personal Branding dari seorang Calon Kontestan. Harus sudah ada sentiment positif dulu dari si Calon meskipun kualitasnya kecil. Poin inilah yang  perlu diblow-up atau disosialisasikan. Prinsipnya bisa sederhana seperti Warung Makan/Restoran Terkenal. Orang kalau melihat sebuah Warung Makan/Restoran belum dikenal ternyata ramai dikunjungi orang maka sepintas akan terbentuk sebuah opini bahwa makanan disitu pasti enak.
Begitu juga kalau seseorang selalu dibicarakan banyak orang tentang kebaikkannya maka orang yang belum  mengenal sosok yang dibicarakan akan mulai tertarik dengan sendirinya.