Menyambung tulisan sebelumnya yang mengabarkan Jessica Kumala Wongso sudah ditetapkan menjadi Tersangka atas pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin dimana selanjutnya Jessica sudah “ditangkap” dan kini berada di Mapolda Metro Jaya untuk melakukan proses BAP.
Kabar dari Detiknews hamper setiap 10 menit diupdate untuk kasus yang sudah menyita perhatian public ini. Yang menarik kemudian penetapan Tersangka Jessica ini terkesan sangat dipaksakan.
Sejak awal (hari pertama) kasus ini terjadi polisi dan keluarga Mirna sudah berasumsi bahwa Jessicalah yang meracuni Korban. Asumsi itu terjadi karena beberapa hal yaitu :
1.Jessica yang pertama datang di Café,
2.Jessica yang memesan Kopi Vietnam tersebut dan langsung membayarnya,
3.Jessica (sengaja) menaruh handbag di meja minuman sehingga gelas minuman tidak terpantau CCTV.
4.Jessica membuang Celana yang dipakai sesaat setelah kejadian itu berlangsung.
5.Keterangan Saksi Pelayan Café yang bercerita seolah-olah Jessica begitu dingin sikapnya pada saat kejadian Korban kejang-kejang.
6.Jessica diasumsikan memiliki kelainan prilaku seksual. (Lesbi).
Dari sekian asumsi itu polisi sudah melakukan penyidikan berkali-kali selama 3 minggu. Polisi sudah menanyai sekitar 20 saksi (termasuk Jessica), polisi sudah memiliki rekaman CCTV pada saat kejadian dan polisi sudah berkoordinasi dengan Polisi Australia untuk mencari tahu riwayat hidup Jessica, Mirna dan teman-teman lainnya.
Sayangnya kemudian setelah dua minggu berlalu polisi tidak juga berani menetapkan Jessica sebagai Tersangka. Hal itu terkesan bahwa rekaman CCTV yang dimiliki polisi tidak menghasilkan suatu bukti yang bisa membuat Jessica bisa ditetapkan menjadi Tersangka. Begitu juga dengan riwayat Jessica dari kepolisian Australia juga tidak memperkuat asumsi polisi.
Selanjutnya meskipun sudah dalam posisi menduga keras Jessica adalah Tersangka tetapi ternyata polisi malah membuka Hotline ke masyarakat dengan harapan ada masukan dari masyarakat tentang riwayat Jessica dan teman-temannya. Polisi juga kembali memeriksa tempat kejadian Café Olivier.
Sampai disini kalau bisa disimpulkan polisi sebenarnya sudah kehilangan jejak. Terlalu yakin di awal kejadian sehingga tidak bisa maksimal melakukan penyidikan. Poin ini bisa dilihat dari (kalau tidak salah) tidak adanya Police Line di Café tersebut paska kejadian tersebut. Café Olivier keesokan harinya buka seperti biasa seperti tidak pernah ada kejadian sebelumnya. Ini krusial karena umumnya penyidikan yang namannya TKP biasanya steril sampai penyidikan selesai. Kemungkinan besar pada hari pertama kejadian polisi sudah sangat yakin Jessica tersangkanya sehingga tidak membuat Polisi Line. Padahal bisa saja masih tersisa barang bukti lainnya di TKP yang belum ditemukan sementara keesokan harinya café tersebut sudah buka (sudah banyak orang lalu lalang di TKP).
Perjalanan lebih lanjut Polisi tidak kunjung juga menetapkan Jessica sebagai Tersangka. Kemungkinan memang tidak ada alat bukti yang benar-benar kuat. Sebelumnya sempat Dirkrismum Kombes Krisnha Murti mengatakan sudah 4 alat bukti tetapi herannya tidak berani menetapkan Tersangka. Kemungkinan besar statement itu hanya perang psikologis ke kubu Jessica.
Polisi juga sudah menjadi sorotan masyarakat sejak tanggal 26 januari ketika janji-janji Krisnha Murti untuk menetapkan Tersangka ternyata beberapa kali meleset. Terakhir KM sudah menjnjikan akan menetapkan Tersangka setelah gelar perkara dengan Kejaksaan pada tanggal 26 Januari. Tetapi ternyata kabarnya Kejaksaan meminta polisi melengkapi berkas perkaranya dulu.
Selanjutnya media memberitakan Polisi memanggil beberapa pakar Psikolog untuk memberikan keterangannya. Dari poin itu kemudian Polisi kembali ke Kejaksaan untuk berkoordinasi tentang perkara (tadi malam tanggal 26 Januari 2016) hingga akhirnya pagi ini menetapkan Jessica menjadi Tersangka.
SUBJEKTIVITAS PENYIDIK SEBAGAI FAKTOR TERKUAT PENANGKAPAN TERSANGKA
Kita memang nggak tahu pasti prosedur penetapan Tersangka oleh Polisi kita. Yang kita tahu polisi bisa menetapkan seseorang menjadi Tersangka bila mendapati 2 alat bukti yang kuat. Tetapi ternyata masih ada factor lainnya yaitu Pandangan umum dari Penyidik yang menyelidiki kasus tersebut. Bila suatu kasus dipandang oleh Penyidik sudah ada seseorang yang diduga Tersangka ditambah 1 bukti dan ada 2 saksi maka Penyidik boleh menetapkan seseorang untuk menjadi Tersangka.
Selanjutnya juga ternyata Penyidiklah yang punya wewenang melakukan penangkapan kepada Tersangka tergantung apa pandangan penyidik. Ini yang terjadi dengan Jessica. Jessica tidak dipanggil tetapi ditangkap (dijemput). Padahal kemarin-kemarin Jessica sangat kooperatif bila dipanggil polisi. (jadi teringat Kasus Bambang Widjojanto yang ditangkap oleh Bareskrim Polri).
Dan soal penangkapan Jessica itu ketika dikonfirmasi ke Kapolda Metro Jaya, maka jawabannya kurang lebih :
"Itu kan subjektif penyidik, mau dipanggil boleh, mau ditangkap boleh. Mungkin penyidik perlu ada kecepatan," kata Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian di GOR Sumantri Bojonegoro, Jakarta Selatan, Sabtu (30/1/2016). Irjen Tito menjawab pertanyaan mengapa Jessica sampai perlu ditangkap.
"Kalau dipanggil nanti dia nggak datang, harus menunggu dua hari, panggil lagi. Nggak datang lagi, dua hari lagi. Soal alat bukti, barang bukti lain mungkin sudah disingkirkan atau berbagai macam sehingga kewenangan hukum memberikan sepenuhnya kepada subjektif penyidik untuk menentukan dia mau memanggil, dia mau menangkap," ulas Tito.
Begitulah rupanya alas an polisi kita dalam menangkap seseorang pelaku (diduga pelaku) tindak criminal.
TERNYATA YANG DISEBUT BUKTI-BUKTI BUKANLAH BUKTI FISIK
Masyarakat selama ini sangat penasaran dengan polisi yang tidak juga menetapkan seorang Tersangka. Padahal polisi sudah berkali-kali mengatakan sudah memiliki 4 alat bukti. Ini mengherankan sekali. Tetapi ternyata yang dimaksud polisi dengan alat bukti tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut.
1.Keterangan Saksi yang memberatkan (disebut ada 20 saksi).
2.Keterangan Ahli. Disebut ada 6 Ahli yang menganalisa. (mungkin ahli forensic, psikolog forensic dan Psikologi umum).
3.Dokumen dan surat yang bisa dijadikan Petunjuk. (mungkin hasil analisa lab forensic penyebab kematian).
4.Barang bukti yang merupakan petunjuk . (tidak dijelaskan berupa apa).
Poin ini sesuai dengan keterangan Dirkrismum Polda Metro Jaya Kombes Krisna Murti dengan statementnya :
"Alat bukti keterangan saksi kami miliki, banyak, kurang lebih 20 keterangan saksi. Keterangan ahli ada 6, yang sudah diperiksa dan akan tambah lagi. Petunjuk dokumen atau surat sudah kami miliki, barbuk atau petunjuk yang kesesuaian satu sama lain sudah kami miliki," ujar Krishna (detiknews,30 Jan 2016).
Jadi dari keterangan tersebut diatas mungkin bisa dipastikan dijadikannya Jessica sebagai Tersangka oleh Polisi selain hasil lab tentang penyebab kematian ternyata lebih banyak ditentukan oleh keterangan Ahli Psikologi.
Ini agak mengherankan tetapi mungkin saja ini cukup sah dari sisi hukum. Dan bila selanjutnya kita ingin tahu apa pendapat pakar Psikolog tentang Jessica dari berita lain didapat analisanya bahwa “Ketenangan Jessica” pada saat kejadian dan pada saat pemeriksaan itu dianggap aneh oleh pakar Psikolog.
Secara teori Psikolog disebut "Jika seseorang tidak bersalah, tidak perlu menjustifikasi harus mengiklankan dirinya. Kalau dia tidak bersalah harusnya dia akan diam seperti saksi-saksi lainnya, kan tidak melakukan justifikasi di media-media. Tidak perlu ada defense mekanisme," ungkap pakar Hypnoterapi Dewi P Faeni soal sikap Jessica. (detiknews).
“Eye movementnya sangat cepat, ini suatu refleksi dari nervous. Terus sering melihat ke atas, itu berarti orang sedang berusaha membangun fakta, bisa jadi dia tidak mengatakan sesungguhnya. Saya hanya lihat dia dari facial ekspresi. Walau di akhir-akhir sudah mulai tenang, sudah seperti dilatih," jelas Dewi.
Dewi juga mempermasalahkan minuman yang dipesan/diminum Jessica pada saat kejadian yaitu berupa Cocktail. Dewi heran kenapa Jessica membutuhkan minuman beralkohol pada sore hari (jam 16.00) pada hari kejadian.
KESIMPULAN
Teori Kejahatan Tindak Pidana Pembunuhan biasanya harus memenuhi 3 unsur yaitu : Ada Pelaku (dengan alat pembunuhnya), Ada Korban dan ada TKP. Tetapi dalam kasus ini alat pembunuhnya adalah barang tidak Nampak (sianida). Secara psikologis seorang pembunuh yang menggunakan Sianida adalah orang yang ingin menjaga jarak dari korbannya. Jadi teori 3 unsur itu tidak akan berlaku. Pelaku belum tentu ada di lokasi kejadian (TKP).
Akhirnya menurut kesimpulan gw polisi sudah melakukan blunder karena menetapkan Tersangka hanya berdasarkan pendapat pakar dan bukan berdasarkan bukti fisik.
Entahlah bagaimana dengan pendapat-pendapat pakar hukum dengan kondisi penuntutan perkara seperti ini yang hanya berdalih pendapat pakar ahli psikologi. Tetapi menurut gw bila memang yang dijadikan bukti hanyalah pendapat-pendapat ahli yang umumnya hanya berupa teori dan asumsi dan bukan bukti fisik maka kasus ini kemungkinan besar akan mendapatkan perlawanan keras/ ditolak oleh hakim pengadilan.
Mari kita tunggu perjalanan panjang dari kasus ini.
Sumber :
tulisan sebelumnya
Polisi Memaksakan Diri Menjadikan Jessica Tersangka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H