Faktor Kedua, Keinginan Freeport Untuk Renegosiasi. Sejak dulu PT.Freeport Indonesia memang nakal dan bandel. Pemerintah-pemerintah sebelum Jokowi sulit mengendalikan Freeport karena Freeport lah penyumbang APBN terbesar. Makanya sejak dulu saham Indonesia hanya 9,36%. Dan Negoisasi terakhir yang mengharuskan Freeport menggenapkan Divestasi Saham hingga 30% ditambah pembangunan Smelter di Papua sebenarnya memberatkan (merugikan) mereka sehingga mereka bernafsu untuk melakukan renegoisasi ulang. Apalagi Pemerintahan Jokowi belum menunjukkan tanda-tanda akan melanjutkan Kontrak Karya periode 2021-2041.
Pada bulan Juli lalu baik CEO Freeport Jim Bob Moffet maupun Presdirnya Maroef Syamsudin sudah bertemu Presiden untuk membicarakan Kontrak tahun 2021. Freeport ingin tau berapa besar peluang kontrak itu dapat diperpanjang. Sayangnya Jokowi belum mau memberi jawaban bila Freeport belum juga membangun Smelter di Papua dan melakukan Divestasi Saham yang 10,64% dulu. Sikap Jokowi yang mungkin dianggap Kaku ini menyulitkan Freeport. Begitu juga dengan Sikap Rizal Ramli, Menko yang mengkordinasikan Kementerian ESDM sulit sekali diajak bernegoisasi. Kabarnya RR pernah menolak Fee Rp.2,6 Milyar dari Freeport.
Dari poin itu bisa disimpulkan Freeport sangat-sangat membutuhkan Orang Penting Pemerintah yang bisa membantu mereka (diajak bernegoisasi ulang). Bernegoisasi dengan Freeport dengan nilai Kontrak Puluhan Trilyun tentu saja sangat menggoda siapapun. Sudah terbayang Fee yang akan didapat maupun Imbalan yang bisa didapat. Banyak yang tergoda dan Freeport juga berusaha menggoda banyak Pihak.
Bila kita bicara tentang perjalanan Jokowi ke AS yang lalu tentu kita ingat beberapa bulan sebelumnya Luhut Panjaitan sudah kesana mempersiapkannya. Bahkan pengamat politik Michael Buehler mengatakan Luhut telah melampaui teritori Menlu Retno. Kita tidak tahu kepergian Luhut ke Amerika sempat bertemu Jim Bob Moffet (CEO Freeport) atau tidak. Di sisi lain Sudirman Said juga yang tadinya akan berangkat bersamaan dengan Jokowi ke AS ternyata mendahului berangkat lebih dahulu. Isunya kemudian Sudirman Said sudah bertemu dengan Jim Bob sebelum Jokowi sampai di AS.
Akhirnya kesimpulannya mungkin bisa ditarik bahwa urusan Freeport ini sangat menggoda banyak orang di Indonesia. Luhut Panjaitan adalah Bisnisman, Jusuf Kalla juga lebih Binisman, Begitu juga dengan Setya Novanto dan Riza Chalid. Dua hal yang sangat-sangat menggiurkan adalah Divestasi Saham dan Peran Renegoisasi dengan Freeport. Siapa yang akan beruntung mendapatkan salah satunya ataupun keduanya sekaligus?
KEANEHAN LAPORAN SUDIRMAN SAID
Soal dosa-dosa Setya Novanto tidak perlu kita permasalahkan lagi dan SN pantas dilengserkan tetapi gw ingin menyoroti kira-kira apa yang menjadi latar belakang kehebohan ini. Siapa sih sebenarnya actor dari kehebohan besar ini yang membuat posisi SN jadi di ujung tanduk?
Diatas tadi gw udah bahas ada perang di Golkar. Gw juga sudah bahas bahwa terjadi persaingan ketat memperebutkan Divestasi Saham dan Peran Renegoisasi. Bisa dikatakan ada pihak-pihak yang sangat berminat dengan hal itu. Kita asumsikan saja sudah ada 3 Pihak yaitu : Sudirman Said yang dibackingi JK Cs, Luhut Panjaitan yang dibackingi kalangan tertentu (mungkin mantan jendral atau mungkin pihak luar seperti Derwin Pereira) dan Politisi licin Setya Novanto yang menggandeng Riza Chalid Pengusaha no 1 Migas. Mungkin saja masih ada pihak ke 4 dan ke 5 yang bermain.
Tetapi kita konsentrasi pada Laporan Sudirman Said saja ya masbro. Cekidot keanehan-keanehannya yaa. Berikut :
Kesatu,Kenapa Marouf Syamsudin Presdir Freeport sampai merekam meetingnya dengan Setya Novanto dan Riza Chalid pada tanggal 6 Juni 2015 lalu? Apa alasannya? Gw belum bisa menyimpulkan apa penyebabnya dalam hal ini. Yang jelas beberapa Direktur di Freeport adalah orang-orang Golkar. Andi Mattalata dan kawan-kawan.
Kedua,Mengapa Sudirman Said harus membuka rekaman ini pada bulan November ? kalau memang ingin jadi Pahlawan seharusnya tidak lama setelah bulan Juni kemarin Sudirman sudah bisa membongkarnya. Dan lucunya lagi sebenarnya setelah pertemuan SN, RC dan MS di bulan Juni lalu sudah ada lagi pertemuan antara Freeport dan Presiden Jokowi pada bulan Juli 2015. Jadi apapun hasil pertemuan SN dan MS di bulan Juni 2015 sebenarnya sudah tidak berpengaruh lagi pada renegoisasi Freeport.