Menu yang disajikan khas Malaysia dan Indonesia. Menu terstandar menjadi pilihanku, nasi goreng dan teh hangat. Tapi ternyata harganya tidak se-standar menu yang disajikan. Satu porsi nasi goreng dibanderol 80.000 Dong atau sekitar 40.000 rupiah. Malah lebih murah di Restoran Tandoor. Sebenarnya daftar harga sudah tertera di daftar menunya. Tetapi demi mendapatkan yang halal aku merelakan merogoh kocek lebih dalam.
Usai makan siang aku berinisiatif mencari Masjid. Menurut informasi yang aku dapatkan di old quarter terdapat sebuah masjid yang sudah cukup tua. Aku memanfaatkan tukang ojek di seberang restoran untuk menemukan masjid tersebut. Kesulitan bahasa menjadi kendala. Tukang ojek tidak fasih berbahasa Inggris. Akhirnya aku keluarkan secarik kertas dan pena. Aku gambarkan sebuah kubah masjid. Lalu aku perlihatkan gambar tersebut kepadanya. Ia langsung merespon cepat. Mengangguk-angguk yakin. Aku naik di boncengan belakang setelah negosiasi tarif sebesar 30.000 dong.
Aku diturunkan oleh tukang ojek di salah satu sisi jalan. Merasa heran karena tidak ada tanda-tanda masjid di sekitar. Hanya deretan toko dan pagar tembok berukuran 2 meter sisi kiriku yang ditutupi pohon besar nan rindang di dalamnya. Aku bertanya pada salah seorang di toko terdekat tentang keberadaan masjid. Ia menunjuk ke arah tembok besar itu. Sedikit heran.
[caption id="attachment_382696" align="aligncenter" width="576" caption="Usai sholat Dzuhur di Masjid Hanoi, Vietnam"]
Setelah aku melongokkan kepala ke atas dari posisi agak jauh dari tembok besar itu barulah terlihat menara berkubah yang menjulang tinggi. Wajar saja tidak terlihat ketika berada dekat tembok itu karena tertutup rindangnya daun pepohonan di dalam masjid.
Orang di toko tersebut menyarankan aku untuk memasuki dari pintu kecil di samping. Karena gerbang depan masjid sedang dikunci. Tidak ada seorangpun di dalam masjid. Waktu Dzuhur memang sudah lama berlalu. Usai membasuh diri dalam wudhu aku menunaikan sholat Dzuhur dan Ashar dijama' satu waktu. Terasa berbeda beribadah pada nuansa spesial seperti ini. Di tengah lingkungan mayoritas non-muslim di negara yang aku tak paham berbahasa.
Orang di toko tersebut menyarankan aku untuk memasuki dari pintu kecil di samping. Karena gerbang depan masjid sedang dikunci. Tidak ada seorangpun di dalam masjid. Hanya aku dan sepi (Dih puitis amat). Waktu Dzuhur memang sudah lama berlalu. Usai membasuh diri dalam wudhu aku menunaikan sholat Dzuhur dan Ashar dijama' satu waktu. Terasa berbeda beribadah pada nuansa spesial seperti ini. Di tengah lingkungan mayoritas non-muslim di negara yang aku tak bisa berkomunikasi sebagaimana di negara sendiri.
[caption id="attachment_382673" align="aligncenter" width="576" caption="Suasana old quarter di penuhi pedagang sayur"]
Hari berganti sore. Aku putuskan kembali ke penginapan. Perjalanan pulang ini aku tempuh dengan berjalan kaki. Karena seperti yang terlihat di peta jarak menuju penginapan tidak terlalu jauh. Tanpa diduga tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku berteduh sejenak di depan sebuah toko.
Melihat derasnya hujan yang turun sepertinya akan lama reda. Aku mencoba mencari toko jas hujan. Tak ada satu pun yang ketemu. Tiba-tiba lewat seorang pedagang keliling menawarkan jas hujan. Ia menawarkan dengan harga yang sangat tinggi. Entah karena tahu aku bukan warga asli sehingga dijadikan sasaran permainan harga. Ia membawa kalkulator untuk negosiasi harga. Ternyata sudah dipersiapkan hal-hal sepele seperti alat penghitung itu. Wajar saja karena old quarter merupakan "rumah" para turis di Hanoi.
Setelah sepakat dengan harga yang ditawarkan akhirnya aku membeli satu. Jas hujan ini sangat tipis. Seperti tak ada beda dengan kantong kresek yang biasa didapatkan diwarung kelontong sebagai wadah belanjaan. Aku kenakan jas hujan tersebut sambil berjalan menuju pulang. Baru beberapa meter berjalan tiba-tiba hujan berhenti. Reda tak bersisa. Aku masukkan jas hujan ke dalam tas.