Mohon tunggu...
Fadli Firas
Fadli Firas Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Sang Penjelajah

email: rakhmad.fadli@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Perjalanan Darat Menempuh Asia Tenggara dengan Rp. 3,5 Juta (Bag. 6, Habis)

9 Mei 2015   17:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_382683" align="aligncenter" width="576" caption="Membeli buah pada pedagang terapung di Halong Bay"][/caption]

Kapal kembali berlabuh di dermaga Halong Bay. Setelah turun dari kapal para peserta tur berjalan keluar dari dermaga menuju bus yang telah menanti. Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Bus berjalan kembali menuju Hanoi selama 3 jam perjalanan.

Tiba di Hanoi langit telah gelap. Jarum jam telah menunjukkan angka 8. Aku dan Brandon diturunkan tidak di depan hostel. Kami masih harus berjalan kaki sekitar 200 meter menuju penginapan.

Setibanya di hostel, setelah membersihkan diri, aku bergegas mencari makan malam. Seperti malam sebelumnya, aku mendatangi Restoran Tandoor. Menu nasi tetap menjadi andalanku namun dengan olahan berbeda. Makanan ini disebut Kashmiri Pillau. Hampir mirip Nasi Biriyani, namun yang bikin berbeda adalah bumbu-bumbu yang ditempatkan pada wadah terpisah. Rasa bumbu tersebut sangat tidak cocok dilidahku. Untuk minuman, tentu saja aku tidak ingin mengulangi kejadian malam sebelumnya mencicipi teh Vietnam yang sangat pahit.

[caption id="attachment_382664" align="aligncenter" width="576" caption="Bertanya sama mbah gugel sebelum bertualang"]

1431165102652012546
1431165102652012546
[/caption]

Setelah perut terisi kenyang aku kembali berjalan menuju hostel. Kali ini aku tidak mengalami tersesat jalan seperti malam kemarin. Karena sudah terekam di dalam ingatan jalan mana saja yang harus dilalui. Setibanya di hostel aku merebahkan tubuh beristirahat mengecas energi untuk petualangan esok hari.

Hari ketiga di Hanoi. Tidak ada agenda khusus untuk pergi ke suatu tempat. Hanya ingin merasakan lost in Old Quarter. Berjalan sesukanya menjelajahi daerah persimpangan tua ini. Sebelum melangkahkan kaki aku mengumpulkan informasi terlebih dahulu dengan memanfaatkan fasilitas internet gratis di penginapan.

Ada beberapa informasi yang ingin aku cari. Yaitu mengetahui keberadaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Hanoi, jembatan merah klasik atau Red Bridge, dan beberapa tempat lainnya.

KBRI Hanoi menjadi target kunjunganku karena ingin menanyakan permasalahan rupiahku yang tak laku di negara Paman Ho ini. Berharap sepulangnya dari KBRI rupiah yang masih tersimpan rapi di saku sudah berubah menjadi dong, mata uang Vietnam.

[caption id="attachment_382666" align="aligncenter" width="432" caption="Suasana old quarter di pagi hari"]

1431165276691945221
1431165276691945221
[/caption]

[caption id="attachment_382685" align="aligncenter" width="576" caption="Kebiasaan warga Hanoi duduk berkumpul bersama teman dengan bangku kecil"]

14311669921881636331
14311669921881636331
[/caption]

[caption id="attachment_382686" align="aligncenter" width="576" caption="Old quarter di malam minggu"]

14311670411235588653
14311670411235588653
[/caption]

Setelah semua informasi terkumpul kemudian bergegas keluar sambil membawa peta yang tersedia gratis di hostel. Wajah kota old quarter terlihat agak mungil. Jalanannya tidak terlalu lebar. Sedikit mirip jalan Malioboro di Jogja. Yang membedakannya adalah seribu satu simpang atau perempatan yang menjadi ciri khasnya. Cukup bersahabat ditempuh dengan berjalan kaki.

Sambil memegang peta di tangan aku memprioritaskan mencari KBRI yang berjarak paling dekat terlebih dahulu. Menurut informasi di peta aku harus melewati 2 kali belokan untuk menuju KBRI. Sesekali bertanya kepada setiap orang yang aku temui di jalan.

Aku terus berjalan sesuai arahan peta dan orang-orang yang aku tanyai. Sebuah bendera merah putih seketika terlihat olehku. Tulisan yang menandakan KBRI tertera di sisi tembok tinggi sebelah kiri. Akhirnya ketemu juga.

[caption id="attachment_382667" align="aligncenter" width="576" caption="KBRI di Hanoi, Vietnam"]

14311653761101243133
14311653761101243133
[/caption]

[caption id="attachment_382687" align="aligncenter" width="576" caption="Suasana di halaman dalam KBRI Hanoi"]

143116713983616909
143116713983616909
[/caption]

Aku memasuki gerbang kecil KBRI dan menemukan seorang wanita duduk di sebuah ruangan resepsionis. Begitu tahu bahwa aku adalah warga Indonesia ia langsung memanggil seseorang pegawai asli Indonesia untuk dipertemukan denganku. Ternyata wanita tersebut adalah warga Vietnam.

Aku berkomunikasi dengan seorang pria warga Indonesia yang dibatasi dengan kaca transparan ruangan tersebut. Setelah menyampaikan maksud kedatanganku kemudian pegawai KBRI tersebut mempersilahkanku masuk. Aku diperintahkan untuk menunggu di ruang tamu. Pegawai tersebut sempat menginformasikan bahwa benar adanya mata uang rupiah tidak berlaku ditukar di Vietnam. Aku semakin cemas saja. Namun tetap optimis.

Setelah lama menanti di ruang tamu tiba-tiba pegawai petugas KBRI lainnya menghampiriku. Seorang wanita paruh baya bertubuh subur. Ia menyerahkan beberapa lembaran dong kepadaku. Aku membalasnya dengan memberikan sejumlah lembaran rupiah kepadanya. Fiuh. Akhirnya tertukar juga. Terimakasih KBRI Vietnam

[caption id="attachment_382668" align="aligncenter" width="576" caption="Danau Hoan Kiem di Kota Hanoi"]

14311654742019881942
14311654742019881942
[/caption]

[caption id="attachment_382689" align="aligncenter" width="576" caption="Taman bunga di sekitar danau Hoan Kiem"]

1431167344418396234
1431167344418396234
[/caption]

[caption id="attachment_382701" align="aligncenter" width="576" caption="Jembatan Merah di danau Hoan Kiem dijadikan tempat foto pre-wedding"]

1431168030273818232
1431168030273818232
[/caption]

[caption id="attachment_382704" align="aligncenter" width="576" caption="Area pejalan kaki di sisi danau Hoan Kiem"]

143116814913218464
143116814913218464
[/caption]

[caption id="attachment_382690" align="aligncenter" width="576" caption="Penampakan danau Hoan Kiem di malam hari"]

1431167381854154178
1431167381854154178
[/caption]

[caption id="attachment_382691" align="aligncenter" width="576" caption="Kuil di pulau kecil di tengah-tengah danau Hoan Kiem"]

1431167417705302977
1431167417705302977
[/caption]

[caption id="attachment_382706" align="aligncenter" width="576" caption="Bangku tempat bersantai di kuil di pulau kecil tengah-tengah danau Hoan Kiem"]

1431168253725525480
1431168253725525480
[/caption]

Petualangan berlanjut. Spot selanjutnya adalah Danau Hoan Kiem. Di danau ini banyak sekali pasangan yang melakukan foto pre-wedding. Keindahan danau berhias taman di sekelilingnya yang menyisakan sejarah di dalamnya sepertinya menjadi alasan kuat bagi mereka untuk melakukan prosesi tersebut. Aku berjalan menyusuri sisi danau yang dirancang khusus bagi pejalan kaki hingga bertemu dengan sebuah jembatan berwarna merah, Red Bridge.

Jembatan tersebut menghubungkan ke sebuah pulau kecil di tengah danau. Di pulau mungil tersebut terdapat sebuah kuil. Beberapa pohon besar tampak menaunginya. Di dalamnya ada sebuah toko yang menjual aneka souvenir. Toko tersebut menyatu dengan kuil di sebelahnya. Memasuki kuil kawasan kuil tersebut diwajibkan membayar tiket sebesar 10.000 dong setara 5 ribu rupiah.

Hari beranjak siang. Perut mulai memberi sinyal. Aku berjalan menuju sebuah restoran halal yang diketahui melalui internet. Bernama Nisa Restaurant milik warga Malaysia. Mencoba melupakan Tandoor beralih ke suasana makan berbeda. Setelah mencari disertai sedikit nyasar akhirnya ketemu dengan restoran Nisa.

[caption id="attachment_382670" align="aligncenter" width="576" caption="Menu standar harga jedar di Nisa Restauran, Hanoi"]

14311655511650712793
14311655511650712793
[/caption]

[caption id="attachment_382708" align="aligncenter" width="576" caption="Nasi Biriyani, tekstur nasi panjang, porsi senantiasa jumbo untuk siapapun di Singapura"]

14311685231383868041
14311685231383868041
[/caption]

[caption id="attachment_382709" align="aligncenter" width="526" caption="Kiri: Nasi Biriyani, Kanan: Nasi Kashmiri Pillau di Restoran Tandoor, Hanoi"]

1431168577775443800
1431168577775443800
[/caption]

Menu yang disajikan khas Malaysia dan Indonesia. Menu terstandar menjadi pilihanku, nasi goreng dan teh hangat. Tapi ternyata harganya tidak se-standar menu yang disajikan. Satu porsi nasi goreng dibanderol 80.000 Dong atau sekitar 40.000 rupiah. Malah lebih murah di Restoran Tandoor. Sebenarnya daftar harga sudah tertera di daftar menunya. Tetapi demi mendapatkan yang halal aku merelakan merogoh kocek lebih dalam.

Usai makan siang aku berinisiatif mencari Masjid. Menurut informasi yang aku dapatkan di old quarter terdapat sebuah masjid yang sudah cukup tua. Aku memanfaatkan tukang ojek di seberang restoran untuk menemukan masjid tersebut. Kesulitan bahasa menjadi kendala. Tukang ojek tidak fasih berbahasa Inggris. Akhirnya aku keluarkan secarik kertas dan pena. Aku gambarkan sebuah kubah masjid. Lalu aku perlihatkan gambar tersebut kepadanya. Ia langsung merespon cepat. Mengangguk-angguk yakin. Aku naik di boncengan belakang setelah negosiasi tarif sebesar 30.000 dong.

Aku diturunkan oleh tukang ojek di salah satu sisi jalan. Merasa heran karena tidak ada tanda-tanda masjid di sekitar. Hanya deretan toko dan pagar tembok berukuran 2 meter sisi kiriku yang ditutupi pohon besar nan rindang di dalamnya. Aku bertanya pada salah seorang di toko terdekat tentang keberadaan masjid. Ia menunjuk ke arah tembok besar itu. Sedikit heran.

[caption id="attachment_382696" align="aligncenter" width="576" caption="Usai sholat Dzuhur di Masjid Hanoi, Vietnam"]

14311676871857967109
14311676871857967109
[/caption]

Setelah aku melongokkan kepala ke atas dari posisi agak jauh dari tembok besar itu barulah terlihat menara berkubah yang menjulang tinggi. Wajar saja tidak terlihat ketika berada dekat tembok itu karena tertutup rindangnya daun pepohonan di dalam masjid.

Orang di toko tersebut menyarankan aku untuk memasuki dari pintu kecil di samping. Karena gerbang depan masjid sedang dikunci. Tidak ada seorangpun di dalam masjid. Waktu Dzuhur memang sudah lama berlalu. Usai membasuh diri dalam wudhu aku menunaikan sholat Dzuhur dan Ashar dijama' satu waktu. Terasa berbeda beribadah pada nuansa spesial seperti ini. Di tengah lingkungan mayoritas non-muslim di negara yang aku tak paham berbahasa.

Orang di toko tersebut menyarankan aku untuk memasuki dari pintu kecil di samping. Karena gerbang depan masjid sedang dikunci. Tidak ada seorangpun di dalam masjid. Hanya aku dan sepi (Dih puitis amat). Waktu Dzuhur memang sudah lama berlalu. Usai membasuh diri dalam wudhu aku menunaikan sholat Dzuhur dan Ashar dijama' satu waktu. Terasa berbeda beribadah pada nuansa spesial seperti ini. Di tengah lingkungan mayoritas non-muslim di negara yang aku tak bisa berkomunikasi sebagaimana di negara sendiri.

[caption id="attachment_382673" align="aligncenter" width="576" caption="Suasana old quarter di penuhi pedagang sayur"]

14311657581721718567
14311657581721718567
[/caption]

Hari berganti sore. Aku putuskan kembali ke penginapan. Perjalanan pulang ini aku tempuh dengan berjalan kaki. Karena seperti yang terlihat di peta jarak menuju penginapan tidak terlalu jauh. Tanpa diduga tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku berteduh sejenak di depan sebuah toko.

Melihat derasnya hujan yang turun sepertinya akan lama reda. Aku mencoba mencari toko jas hujan. Tak ada satu pun yang ketemu. Tiba-tiba lewat seorang pedagang keliling menawarkan jas hujan. Ia menawarkan dengan harga yang sangat tinggi. Entah karena tahu aku bukan warga asli sehingga dijadikan sasaran permainan harga. Ia membawa kalkulator untuk negosiasi harga. Ternyata sudah dipersiapkan hal-hal sepele seperti alat penghitung itu. Wajar saja karena old quarter merupakan "rumah" para turis di Hanoi.

Setelah sepakat dengan harga yang ditawarkan akhirnya aku membeli satu. Jas hujan ini sangat tipis. Seperti tak ada beda dengan kantong kresek yang biasa didapatkan diwarung kelontong sebagai wadah belanjaan. Aku kenakan jas hujan tersebut sambil berjalan menuju pulang. Baru beberapa meter berjalan tiba-tiba hujan berhenti. Reda tak bersisa. Aku masukkan jas hujan ke dalam tas.

[caption id="attachment_382674" align="aligncenter" width="576" caption="Hostel tipe dormitori tempat menginap"]

14311658461281815478
14311658461281815478
[/caption]

Akhirnya tiba di hostel. Merebahkan diri di kasur nan empuk dan adem. Rasa lelah mengantarkanku ke dalam tidur yang cukup lama hingga terbangun pukul 10 malam. Begitu terbangun aku bergegas untuk mandi. Karena waktu yang sudah hampir larut sehingga aku memutuskan tidak makan malam di tempat biasa. Beruntung masih memiliki persediaan makanan yang cukup untuk mengisi perut.

Last day in Hanoi. Ini adalah hari terakhir aku berada di Hanoi dalam lawatan keliling Asia Tenggara kali ini. Berkemas mengepak barang bawaan ke dalam ransel. Tiket pesawat yang sudah aku dapatkan sejak membeli di salah satu agen tiket di Batam menunjukkan waktu keberangkatan pukul 10.45.

Perlahan aku beranjak meninggalkan kamar dormitori. Berpamitan kepada Brandon yang akan melanjutkan perjalanannya ke Tiongkok sebelum kembali ke California. Aku menuruni tiga lantai hingga berjumpa seorang resepsionis. Uang dolar amerika sebesar USD 15 menginap aku serahkan kepadanya selama 3 malam menginap.

[caption id="attachment_382675" align="aligncenter" width="576" caption="Perjalanan menuju Bandara No Bai Hanoi, Vietnam"]

14311659341181327197
14311659341181327197
[/caption]

[caption id="attachment_382694" align="aligncenter" width="576" caption="Pemeriksaan paspor di imigrasi bandara No Bai, Hanoi"]

14311675861322220153
14311675861322220153
[/caption]

[caption id="attachment_382692" align="aligncenter" width="576" caption="Menanti di ruang tunggu Bandara No Bai Hanoi"]

14311675242064982421
14311675242064982421
[/caption]

Sambil menenteng ransel aku melangkahkan kaki meninggalkan hostel menuju pool bis bandara, tempat berkumpulnya bis bandara yang akan membawa ke No Bai Airport. Bis bandara berbentuk minibus sejenis elf. Harga tiket dipatok sebesar USD 2. Bisa dibayar dengan dolar Amerika. Jadwal keberangkatan bis setiap satu jam sekali selain jam 7 pagi. Aku memilih bis pukul 8 pagi.

Perjalanan menuju Bandara No Bai, Hanoi, memakan waktu selama 45 menit. Setibanya di bandara aku bertanya kepada petugas untuk ditunjukkan maskapai yang akan aku naiki. Setelah mendapatkannya aku segera check-in dengan menyerahkan selembar tiket dan paspor. Tetapi petugas tersebut menolak tiket yang aku berikan dan hanya mengambil paspor. Ternyata namaku sudah tercantum di database maskapai tersebut. Tinggal mencocokkan dengan data di paspor saja.

Aku melanjutkan menembus tahap pemeriksaan paspor di imigrasi. Setelah berhasil melewatinya aku rehat sejenak di ruang tunggu sambil menunggu informasi keberangkatan sembari bercakap-cakap dengan orang Jepang di depanku.

[caption id="attachment_382677" align="aligncenter" width="576" caption="Penampakan Singapura dari ketinggian pesawat"]

14311660312078993387
14311660312078993387
[/caption]

Pukul 10.45 pesawat Tiger Airways yang aku naiki lepas landas meninggalkan Hanoi. Menuju Singapura sebelum kembali ke Batam. Lama perjalanan dari Hanoi ke Singapura membutuhkan waktu selama 3 jam.

Setibanya di Singapura, tepatnya di Bandara Changi, aku bergegas turun kemudian menembus pemeriksaan imigrasi. Lanjut menuju terminal 2 yang terdapat stasiun MRT. Aku membeli tiket single trip dengan tujuan stasiun Harbour Front yang merupakan pelabuhan feri internasional menuju Batam.

Banyak sekali peta petunjuk rute MRT yang mudah ditemukan dimana-mana. Bahkan di dalam MRT sekalipun. Memudahkan bagi pengguna jasa transportasi modern ini. Aku memutuskan untuk turun di stasiun Aljayeid terlebih dahulu. Sekedar makan siang di sebuah warung yang tak jauh dari stasiun tersebut.

[caption id="attachment_382679" align="aligncenter" width="576" caption="Masjid di seberang Mal Vivo City / Pelabuhan feri"]

1431166120655404280
1431166120655404280
[/caption]

Lagi-lagi aku memesan Nasi Biriyani. Tekstur nasinya yang terlihat panjang sehingga bisa mengecohkan dengan bentuk kentang goreng yang diiris kecil-kecil. Usai memenuhi kebutuhan perut aku kembali memasuki Stasiun Aljayeid melanjutkan perjalanan menuju stasiun Harbour Front.

Stasiun Harbour Front berada di dalam mall Vivo City yang terkoneksi dengan pelabuhan feri. Setibanya di sana aku beranjak menuju agen tiket yang terletak di lantai 3 membeli dengan tujuan Batam. Tiket seharga SGD 31 sudah aku dapatkan. Keberangkatan masih beberapa jam lagi. Aku menyempatkan diri untuk menunaikan Sholat Ashar dijama’ Dzuhur di sebuah masjid yang terletak di seberang Mal Vivo City.

Usai sholat aku kembali menuju Vivo City memasuki ruang tunggu pelabuhan feri setelah melewati pemeriksaan paspor. Wajah-wajah Indonesia tampak memenuhi di ruang tunggu ini yang ingin kembali ke Kepri. Ya, aku yakin mereka akan menuju propinsi tanah melayu itu karena rute pelabuhan feri internasional ini hanya menuju ke tiga daerah yang berada pada propinsi tersebut; Batam, Tanjungpinang, dan Karimun.

[caption id="attachment_382681" align="aligncenter" width="576" caption="Suasana di ruang tunggu pelabuhan feri Harbour Front, Singapura"]

14311662131879872756
14311662131879872756
[/caption]

[caption id="attachment_382711" align="aligncenter" width="576" caption="Suasana di dalam feri Singapura - Batam yang sepi penumpang"]

1431168735189836298
1431168735189836298
[/caption]

Suara petugas informasi menggema di ruangan memberitahukan kepada penumpang untuk memasuki feri. Aku beranjak dari duduk mengantri pada pemeriksaan tiket kemudian melintasi jalur sepanjang 200 meter sebelum tiba di dalam feri yang akan segera berangkat pada pukul 8 malam waktu setempat. Penumpang tak terisi penuh. Ruangan feri yang luas menyisakan banyak bangku kosong. Perjalanan menuju Batam ditempuh selama 40 menit.

Sekitar pukul 7.40 malam feri menyandar di pelabuhan internasional Batam di kawasan Batam Centre. Semoga tidak bingung dengan keberangkatan feri yang beranjak pukul 8 malam dan tiba pukul 7.40 pada malam yang sama. Hehe.

Aku melangkahkan kaki keluar dari feri menyusuri jalan yang tak begitu jauh untuk sampai di pemeriksaan imigrasi. Usai paspor mendapatkan cop dari petugas imigrasi aku keluar dari pelabuhan mencari ojek. Persediaan rupiah semakin menipis. Rasa capek bercampur nikmat. Disaat terasa lelah dan hasrat ingin segera sampai di rumah tiba-tiba seorang tukang ojek menghampiriku sambil menawarkan jasa ojeknya sembari berkata,“Mau cari penginapan, Mas?”. (Next, dari Hanoi menembus Tiongkok. Semoga...)

[caption id="attachment_382714" align="aligncenter" width="512" caption="Finally, Welcome to Batam! (Foto: zangzot.wordpress.com)"]

14311688551621608855
14311688551621608855
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun