Film FreedomWriter tetap ditonton. Umurnya, 7 tahun sejak diproduksi 2006 lalu, 10 tahun setelah diterbitkannya “Buku Catatan Harian Penulis Kemerdekaan” (Freedom Writer Diary) pada 1996.
Film ini mengisahkan kehidupan nyata murid-murid ruang 203 – yang memiliki latar belakang sosial psikologis berbeda – sekolah Woodrow Wilson H.S., serta seorang guru muda, Erin Gruwell ketika masih tampak belia dan ramping, harus menghadapi kekerasan geng dan ketegangan rasial yang memuncak tinggi menyelimuti Long Beach, California, 1992. Lebih dari 120 pembunuhan dibulan-bulan setelah kerusuhan yang terkenal sebagai Roodney King.
Erin Gruwell – tokoh dalam kehidupan nyata – yang diperankan oleh Hillary Swank, dengan pandangan miris menghadapi kenyataan hari-hari pertama di ruang 203. Berhadapan dengan murid-murid yang hidup dalam ikatan geng, keluarga kriminalis, kesedihan mendalam, serta dendam akibat kehilangan kerabat yang tewas dalam kekerasan di jalanan.
Hari-hari sekolah Woodrow Wilson tak pernah sepi dari bentrokan. Ruang kelas digaduhi dengan caci maki antarsiswa yang kerap berujung adu jotos, tanpa hirau dengan kehadiran guru. Senjata api, narkoba, beredar di bawah jejaring geng.
Sikap eksklusif tumbuh subur. Kelompok-kelompok kecil kasat mata di halaman sekolah, dan ini terbawa ke dalam kelas. Kecenderungnya, memisahkan kelompoknya dari yang lain atas klaim bahwa kelompoknyalah yang terkhusus. Namun, kesabaran dan ketekunan Erin berbuah hasil. Sebuah garis merah horizontal telah meleburkan murid-muridnya dalam kebersamaan. Garis merah yang dibentangkannya menjadi penyatu atas dasar persamaan cita-cita, penderitaan, dan harapan.
Film ini seakan-akan menggarisbawahi ceritanya sendiri. Bayangan tentang kehidupan remaja, tentang sebuah garis waktu, yang masih lazim dijumpai belakangan ini.
Dengan menukil film di atas, penulis tak bermaksud mendramatisir kondisi hari ini.
Sungguh memprihatinkan memang: makin banyak anak-anak usia sekolah yang kian larut dalam kehidupan kelompok-kelompok kecil– jika tak ingin disebut geng. Tak masalah jika kelompok-kelompok itu berorientasi pada semangat belajar, prestasi dan pencapaian belajar yang terus maju. Namun, kenyatan ternyata berbanding terbalik.
Sebagian besar di antaranya adalah anak-anak yang hidup dalam keluarga kaya yang tentram, dengan gaya hidup yang mirip kaum borjuis, dan anak-anak yang tanpa cemas kekurangan. Dengan mendasarkan pada peran nilai positif, penulis tak bermaksud menafikkan adanya kehalusan budi, penghormatan kepada etika, dan keluruhan sikap yang lahir di antara peradaban keluarga yang demikian.
Anehnya, sebab sikap memisahkan dari yang lain seolah telah menjadi kewajaran alamiah. Tanpa disadari, kecenderungan ini akan membentuk kepribadian anak yang berpotensi terbawa hingga dewasa.
Memandang orang lain di luar kelompoknya pada derajat yang lebih rendah. Agar tak diserupai, kelompok-kelompok ini cenderung mengenakan beragam aksesoris untuk mendongkrak kepercayaan diri. Sebagian besar diantaranya, karena terpaksa oleh keadaan yang ia ciptakan sendiri.
Dampak buruk dari kelompok-kolompok ini adalah lahirnya pemaknaan yang keliru terhadap solidaritas, menutup diri terhadap kelebihan orang lain, dan sikap partisipan yang lebih mendominasi.
Seringkali solidaritas dimaknai dengan sama rasa, sependeritaan. Memilih resiko terburuk dari bahaya yang diciptakan sendiri. Solidaritas sejatinya adalah sifat, perasaan setia yang berwujud kepedulian terhadap kawan yang sedang terpuruk. Dengan tujuan menumbuhkan semangat untuk kembali bangkit. Bukan mengorbankan diri untuk turut merasakan pahitnya sanksi dari kesalahan orang lain.
Selain menutup diri terhadap kelebihan orang lain, kecenderungan berkelompok-kelompok juga akan melumpuhkan akal dari setiap individu yang hidup dalam kelompok tersebut untuk bergerak maju. Sikap ini lazim disebut sebagai sikap partisipan. Pandangan yang tumbuh di bawah kendali kelompok, dimana semua anggota harus patuh dan tunduk pada sesuatu yang lebih sering keliru.
Bangunlah dari lelap kelompok-kelompok yang meninabobokkan, yang melemahkan, memadamkan semangat. Sebab sebenar-benarnyalah mereka yang bangga dengan gengnya adalah mereka yang berpeluang menjadi penderita krisis kepercayaan diri dan menjadi pemurung dalam hidup.
(Sorowako, Luwu Timur, Maret 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H