Mohon tunggu...
Fadlan A.M Noor
Fadlan A.M Noor Mohon Tunggu... Penulis - Wisdom

Penulis Lepas & Bibliografer Liberalis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syahdu dalam Filsafat

13 Juni 2019   18:10 Diperbarui: 13 Juni 2019   19:06 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin sayup-sayup menembus ruangan suntuk di kamar. Hanya hawa dingin yang akrab beberapa hari terakhir ini karena hujan terus mengguyur di bumi tadulako entah kapan habisnya.

Abar-abar yang tak bercat itu sama sekali tak menampakkan nilai estetiknya kecuali tumpukan buku yang berbaris rapi itu. Hampir semuanya buku 'red' (buku kiri). Olehnya mungkin tak eksentrik jika banyak handai atau kenalan saya yang sinting sendiri mendengar bacotan saya yang parak bin miring itu. Baik di TL pesbuk ataupun watsap.

"Kenapa baca buku begitu? Masa Tuhan di bilang mati!" protes tanteku tiba-tiba, walaupun masih begitu muda untuk saya memanggilnya tante karena usia tak terpahat jauh. Tapi demi hirarki keluarga apa boleh buat? Tante. Cukup dalam hati.

Saya baru sadar kalau dia merogok rak-rak bukuku dan mengambil salah satu buku disana. Karena sudah berapa hari ini saya begitu sibuk dengan game moba.

Dia mengutip ungkapan Nietzche yang agaknya pas jika dikatakan abnormal itu. Bagi mereka yang tak terbiasa ataupun tak paham, atau mungkin... Ah, sudahlah. Nanti ada yang ngamuk lagi.

Tapi di sini saya tidak membahas soal makna filosofis Nietzche tentang "Tuhan telah mati" atau "Membunuh Tuhan", karena saya sendiri pun masih ngambang dengan manifestonya si om kumis itu.

"Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri?... Ia mati diujung pisau kita---- Tidakkah seharusnya kita sendiri yang menjadi tuhan-tuhan agar kita layak?" ungkap Nietzche dalam tulisannya. Begitu tulus dan syahdu sebagai seorang filosof eksistensialis.

"... Yang begini hanya bikin rusak agama," lanjut tante muda itu dengan nada peyoratif seolah sedang mendebat Nietzche.

Saya tak menjawab, kecuali hanya manut mendengarkan dengan mata yang masih bergulat dengan layar smartphone itu. 'Enemy hasbeen slain', 'doble kill', 'triple kill', 'maniac', 'savage', bla bla.. Hanya bahana game campah itu yang meramaikan kamar yang tak begitu luas berukuran 4 X 3 itu. Bahana yang pas jika sekedar mendiktekan kematian. Kill Him, Kill Him, Kill Him, yeahh....

Dari subuh hingga siang menjelang sore hujan terus mengguyur deras. Namun, walaupun udara terasa dingin, sebagaimana cuaca, tubuh pun tak bisa berbohong karena seharian belum terguyur dinginnya air dan balutan busa sabun. Toh kenyamanan dan kebersihan itu lain cerita. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Saya pun bergegas mandi.

Usai mandi saya dapati tante muda itu masih hanyut dalam bacaannya. Nampak dari wajahnya dia begitu menikmati alur tulisan dalam buku yang ia baca itu.

"Hati-hati agamamu rusak kalau baca buku itu," ujarku sedikit menyindir. Dia tak merespon.

Belakangan saya merasa protesnya sebelumnya hanya sebatas protes dogmatis yang apologi doktriner. Ini wajar bagi mereka yang tak peka pada wawasan filsafati, atau bagi mereka yang... Ah sudahlah, nanti ada yang ngamuk lagi.

Dengan mempelajari dan memahami pemikiran orang lain, dapat membantu kita merumuskan pemikiran kita sendiri.

Mengonsumsi pemikiran-pemikiran yang berbeda dari kebanyakan orang memang sulit diterima oleh bedes-bedes yang notabene 'orang percaya'. Credo naif khas abad pertengahan. Namun, manusia-manusia langkah nan garib seperti Nietzche dan kawan-kawan tentu memiliki persona juga pesona sendiri, alih-alih bagi mereka yang baru mengenalnya. Memahami alur paradigma mereka memang kadang sulit, tapi saya percaya satu hal: dengan mempelajari dan memahami pemikiran orang lain, dapat membantu kita merumuskan pemikiran kita sendiri.

Berbeda pandangan atau pemikiran itu sah-sah saja dan nyatanya Tuhan sendiri-lah yang menciptakan itu. Hemat saya, ini bukan soal belajar apa atau baca buku apa, atau aliran apa, tapi soal proses menelaah dan jalan berpikir yang dihasilkan. Kiranya mungkin tak lagi bijak jika kita selalu ringan mulut mengadili apakah ini salah atau apakah ini benar; Apakah ini sesat atau tidak; Atau apakah ini kafir atau tidak.

Sementara sibuk mengayang di alam pikiran sendiri, suara yang tak asing itu memanggil, "Lan, sudah,"

"Hah? Betul sudah? Buku tebal begitu sudah habis kau baca?" ujarku dengan nada terkejut. Antara terkejut dengan kata "sudah"nya dan terkejut karena dia yang memanggil tiba-tiba.
 

"Bukan. Maksudku, saya sudah mengerti apa maksud ucapan orang ini (Nietzche)," nampak senyum tanda puas ia perlihatkan sambil memandang buku digenggamannya itu.

"Oh bagus. Bukunya simpan ulang pale. Kasih rapi," ujarku dengan jari yang masih sibuk bergumul dengan touchscreen smartphone. "Tapi...." ucapku menggantung.

"Tapi apa?"

"Agamamu tidak rusak, kan?"

Dia hanya tersenyum dan pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun