Mohon tunggu...
Fadhlahtul Aliyah
Fadhlahtul Aliyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

terbentur terbentur terbentuk

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cuitan Lama, Masalah Baru: Ketika Jejak Digital Mengguncang Panggung Politik

25 Desember 2024   18:03 Diperbarui: 25 Desember 2024   18:15 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twitter Ridwan Kamil. X

Komunikasi politik di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dengan kemunculan media sosial sebagai salah satu alat utama untuk membangun citra diri. Di era digital ini, politisi dan partai politik menggunakan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk menyampaikan pesan politik dan membangun hubungan dengan publik. Media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga medan interaksi dan pertempuran opini yang memengaruhi persepsi masyarakat. Namun, media sosial juga membawa tantangan, termasuk polarisasi politik, manipulasi informasi, dan reaksi keras dari masyarakat. Hal ini menjadi penting karena media sosial tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga ruang interaksi yang dapat membentuk persepsi publik secara cepat dan luas. Tetapi, dampak dari strategi pencitraan ini perlu dikaji secara kritis: apakah menciptakan hubungan yang lebih dekat antara politisi dan rakyat, atau malah memperburuk polarisasi di masyarakat?

Seperti fenomena cuitan lama Ridwan Kamil di Platform X yang menjadi sorotan netizen saat ia mencalonkan diri dalam pemilihan yang diusung oleh partai besar adalah salah satu contoh yang menarik untuk dianalisis adalah kasus Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, yang baru-baru ini menjadi sorotan karena cuitan-cuitan lamanya yang kembali diungkit oleh netizen. Kasus ini menunjukkan bagaimana rekam jejak digital dapat digunakan untuk menyerang kredibilitas tokoh politik, sekaligus menggambarkan dinamika komunikasi politik di era media sosial. Dalam esai ini, akan dianalisis bagaimana pencitraan politik di media sosial memengaruhi persepsi publik, dampaknya terhadap masyarakat, serta tantangan yang dihadapi dalam membangun komunikasi politik yang sehat.

Pencitraan dalam politik di era sosial media sering kali dilakukan dengan memanfaatkan berbagai teknik komunikasi yang menarik perhatian publik. Politisi menggunakan platform-platform ini untuk menyampaikan pesan, membangun narasi, dan menciptakan citra yang diinginkan. Misalnya, Ridwan Kamil, yang dikenal sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat, harus menghadapi backlash ketika cuitan-cuitan lamanya yang menyindir karakter orang Jakarta diungkit kembali. Cuitan-cuitan tersebut, yang berisi kritik terhadap perilaku warga Jakarta, menjadi senjata bagi netizen untuk menyerang pencalonannya sebagai calon presiden.

Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana media sosial berfungsi sebagai arena di mana citra publik dibentuk dan dihancurkan. Cuitan-cuitan Ridwan Kamil yang dihapusnya tidak menghapus jejak digitalnya, dan ketika netizen mengangkat kembali cuitan tersebut, hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi politisi untuk mengendalikan narasi yang beredar di dunia maya. Meskipun Ridwan Kamil telah meminta maaf dan mengakui kesalahannya, respons publik menunjukkan bahwa pencitraan yang dibangun melalui media sosial tidak selalu dapat dengan mudah dipulihkan.

Dampak dari pencitraan politik di era sosial media ini juga dapat dilihat dari polarisasi yang terjadi di masyarakat. Ketika politisi berusaha membangun citra positif, mereka sering kali melakukannya dengan cara yang dapat memecah belah opini publik. Dalam kasus Ridwan Kamil, dukungan dari Bobotoh, pendukung setia Persib Bandung, tidak cukup untuk menetralkan kritik yang datang dari warga Jakarta yang merasa tersinggung. Hal ini menunjukkan bahwa pencitraan yang dilakukan tidak selalu menciptakan kedekatan dengan rakyat, tetapi justru dapat memperburuk polarisasi di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.

Media tradisional juga masih memiliki peran penting dalam komunikasi politik di Indonesia. Meskipun media sosial memberikan ruang bagi politisi untuk berinteraksi langsung dengan publik, media tradisional seperti televisi dan surat kabar tetap menjadi sumber informasi yang berpengaruh. Namun, dengan semakin banyaknya informasi yang beredar di media sosial, masyarakat sering kali terjebak dalam "echo chamber," di mana mereka hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. Hal ini dapat memperburuk polarisasi dan mengurangi kualitas diskusi publik.

1. Teknik Pencitraan Politik di Media Sosial

Pencitraan politik melalui media sosial memanfaatkan berbagai teknik, seperti storytelling, penggunaan konten visual yang menarik, dan interaksi langsung dengan pengguna. Platform seperti Instagram, X, dan TikTok memainkan peran penting dalam strategi ini. Instagram sering digunakan untuk menampilkan sisi humanis dan kegiatan sehari-hari politisi, sementara X menjadi alat untuk menyampaikan opini singkat dan membangun narasi politik. TikTok, di sisi lain, digunakan untuk menjangkau generasi muda melalui konten kreatif dan hiburan.

Sebagai contoh, banyak politisi memanfaatkan Instagram untuk membangun citra sebagai tokoh yang merakyat. Mereka membagikan foto dan video yang menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat, seperti ikut serta dalam kegiatan sosial atau menghadiri acara keagamaan. TikTok digunakan untuk menyampaikan pesan kampanye dengan gaya yang lebih santai dan menghibur, menggunakan tren musik atau tantangan viral yang menarik perhatian kaum muda.

Namun, strategi ini tidak selalu berjalan mulus. Fenomena cuitan lama Ridwan Kamil menjadi bukti bagaimana rekam jejak digital dapat memengaruhi persepsi publik. Beberapa cuitan yang menjadi sorotan, yang dilansir dari laman tempo.co seperti, "Tengil, gaul, glamor, songong, pelit, gengsian, egois, pekerja keras, tahan banting, pamer, hedon. Itu karakter orang Jakarta" (2011) dan "Kawasan Mangga Besar Jakarta itu seperti Azahari Sisers: Gak jelas dan suka bikin kehebohan menggel*njang" (2011), memicu reaksi keras dari masyarakat. Meskipun cuitan tersebut telah dihapus dan Ridwan Kamil telah meminta maaf, dampak negatifnya tetap terasa, terutama karena cuitan-cuitan itu dicuatkan kembali oleh netizen sebagai bentuk kritik terhadap pencalonannya.

2. Polarisasi Politik dan Reaksi Publik

Kasus Ridwan Kamil juga menggambarkan bagaimana media sosial dapat memperburuk polarisasi politik. Dalam situasi seperti ini, media sosial menjadi arena perdebatan sengit yang memperlihatkan ketegangan antara kelompok pendukung dan penentang. Reaksi keras dari warga DKI Jakarta terhadap pencalonan Ridwan Kamil, yang dianggap tidak merepresentasikan mereka, mencerminkan bagaimana media sosial memengaruhi opini publik secara cepat dan luas.

Seperti yang dilansir dari laman tempo.co tagar-tagar provokatif, retweet ribuan kali, serta komentar bernada keras menunjukkan betapa tajamnya perbedaan pandangan di masyarakat. Klarifikasi Ridwan Kamil, meskipun disampaikan dengan nada bijak, tetap memicu reaksi negatif yang dilihat oleh jutaan orang. Statistik menunjukkan bahwa klarifikasi ini dilihat hingga 5,8 juta kali dan di-retweet lebih dari 9 ribu kali, menandakan betapa besarnya perhatian publik terhadap isu tersebut.

Selain itu, algoritma media sosial memperburuk polarisasi dengan menciptakan "filter bubble" dan "echo chamber." Algoritma ini cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, sehingga mempersempit pandangan mereka terhadap realitas politik yang lebih luas. Dalam konteks ini, media sosial bukan hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga medan pertempuran ideologis yang memperkuat fragmentasi sosial.

3. Dampak Pencitraan Politik terhadap Masyarakat

Pencitraan politik melalui media sosial memiliki dampak yang beragam terhadap masyarakat. Di satu sisi, media sosial memungkinkan politisi untuk berinteraksi langsung dengan publik dan membangun hubungan yang lebih personal. Namun, di sisi lain, pencitraan yang terlalu fokus pada popularitas sering kali mengesampingkan substansi kebijakan, sehingga masyarakat lebih tertarik pada citra daripada kinerja nyata.

Kasus Ridwan Kamil menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih memperhatikan rekam jejak digital daripada visi dan misi seorang tokoh politik. Hal ini menandakan bahwa media sosial telah mengubah cara masyarakat menilai pemimpin politik. Kritik terhadap cuitan lama Ridwan Kamil mencerminkan bagaimana persepsi publik dapat dengan mudah dipengaruhi oleh narasi negatif yang tersebar di media sosial.

Selain itu, media sosial juga mempermudah penyebaran hoaks dan disinformasi yang sering kali digunakan untuk menyerang lawan politik. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap manipulasi informasi, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan terhadap proses demokrasi.

4. Tantangan dalam Membangun Komunikasi Politik yang Sehat

Meskipun media sosial memiliki potensi untuk meningkatkan partisipasi politik, tantangan yang dihadapi dalam membangun komunikasi politik yang sehat tidaklah kecil. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa pencitraan politik tidak mengesampingkan transparansi dan akuntabilitas. Politisi perlu lebih berhati-hati dalam membangun citra digital mereka, mengingat rekam jejak digital bersifat permanen dan dapat dimanfaatkan oleh lawan politik di masa depan.

Selain itu, literasi digital masyarakat juga perlu ditingkatkan. Dengan literasi digital yang baik, masyarakat dapat lebih kritis dalam menyikapi informasi yang mereka terima di media sosial. Hal ini penting untuk mencegah penyebaran hoaks dan disinformasi yang dapat merusak demokrasi.

Regulasi terhadap konten manipulatif di media sosial juga perlu diperketat. Pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama untuk memastikan bahwa konten yang tersebar di media sosial sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam hal ini, transparansi algoritma media sosial juga menjadi penting untuk mencegah polarisasi yang berlebihan.

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pencitraan politik di era media sosial memiliki dampak yang besar terhadap komunikasi politik di Indonesia. Walaupun media sosial memberikan kesempatan bagi politisi untuk membangun citra positif dan berinteraksi dengan publik, hal ini juga memunculkan tantangan baru, seperti polarisasi dan respons negatif dari masyarakat. Kasus Ridwan Kamil menunjukkan bahwa jejak digital bisa berbalik merugikan politisi, dan pencitraan yang dibangun tidak selalu mendekatkan mereka dengan rakyat.

Perkembangan komunikasi politik di Indonesia melalui media sosial membawa dampak yang kompleks, baik positif maupun negatif. Media sosial memungkinkan politisi untuk terhubung dengan masyarakat secara lebih personal dan interaktif. Namun, kejadian seperti cuitan lama Ridwan Kamil menunjukkan bahwa media sosial juga bisa memperburuk konflik sosial dan memengaruhi persepsi publik dengan cara yang negatif.

Untuk mewujudkan komunikasi politik yang lebih sehat di masa depan, dibutuhkan pendekatan yang bijaksana dari berbagai pihak. Politisi harus lebih hati-hati dalam membangun citra digital mereka dan lebih fokus pada substansi kebijakan daripada hanya mengejar popularitas. Masyarakat pun perlu meningkatkan literasi digital untuk bisa memilah informasi dengan lebih kritis. Dengan langkah-langkah ini, media sosial bisa menjadi alat yang mendukung demokrasi, bukannya merusaknya.

Di Indonesia, komunikasi politik yang sehat sangat bergantung pada kemampuan semua pihak untuk menggunakan media sosial secara bijak. Dengan meningkatkan literasi digital, memperkuat regulasi, dan mendorong transparansi, media sosial bisa menjadi sarana untuk memperkuat demokrasi, bukan melemahkannya. Masa depan komunikasi politik di Indonesia akan ditentukan oleh sejauh mana media sosial digunakan untuk membangun hubungan yang konstruktif antara politisi dan masyarakat, serta untuk mempromosikan dialog yang inklusif dan bermakna.

Sebuah tulisan dari: Fadhlahtul Aliyah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun