Benar saja, sudah enam bulan terlewati, nyatanya Langit masih hidup. Dia bahkan sudah mampu berjalan dan menggerakkan kedua tangannya seperti dulu. Itu semua berkat terapi dan pengobatan yang dia jalani. Dokter yang menanganinya pun takjub dengan perkembangan Langit.Â
Suatu malam, Langit mengajakku pergi ke pantai yang cukup jauh dari rumah. Kami bercerita banyak sekali kisah hingga lupa waktu. Jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan angka lima, yang artinya kami harus segera pulang. Aku khawatir cahaya matahari akan membuatku kehilangan Langit.
"Kamu tidak perlu khawatir, Sun. Dokter bilang aku akan sembuh," katanya, seperti tahu apa yang kupikirkan.
"Tapi aku takut ka-,"
"Sekali saja, aku ingin merasakannya!" tegasnya.
Langit membentangkan kedua tangannya, menunggu matahari terbit sambil menengadah. Perlahan sinar berwarna kuning keemasan berpendar pada kulitnya yang pucat. Tidak terjadi reaksi apa-apa. Langit mengupas senyum penuh kemenangan.
"Lihat kan, Sun? Aku baik-baik saja. Mari kita pulang!"
Sesampainya di rumah, kami disambut oleh wajah-wajah gusar orangtua Langit. Mereka pasti sangat khawatir terjadi sesuatu. Langit segera memeluk mereka dan pergi ke kamar untuk tidur.
Dan malamnya, ketika Noah datang untuk memenuhi undangan makan malam keluarganya, Langit tak kunjung bangun. Ternyata, Tuhan telah menjemput Langit menuju langit. Langit telah pergi untuk selama-lamanya.
Dua tahun sudah Langit meninggalkan kami. Tapi aku masih berada di sampingnya, menemani tidur panjangnya, sambil sesekali bercerita tentang kisah Langit di masa lalu. Aku. Akulah bunga matahari yang selama Langit masih hidup nyaris tak pernah jauh darinya. Nyaris tak pernah kekurangan ciumannya. Noah membiarkanku tumbuh, hidup, dan tinggal bersama Langit di samping pusaranya.
***