Berbagai artikel populer mengenai pendidikan karakter telah banyak beredar.Masyarakat makin menyadari pentingnya pendidikan karakter setelah mencermati berbagai peristiwa beruntundi Indonesia yang menggambarkan perilaku anak, remaja, orang dewasa dari rakyat biasa, aparatur negara,bahkan elit politik yang dianggap menciderai nilai–nilai luhur. Pendidikan budi pekerti mulai dilirik kembali. untuk diterapkan pada pendidikan tingkat TK hingga SMA. Tujuannya adalah menciptakan generasi muda yangberkarakter unggul sehingga kehidupan bangsa ini menjadi lebih baik. Dilain pihak, pembahasan dan implementasi pembentukan karakter mahasiswa di perguruan tinggi masih minim, meskipun keberhasilan pendidikan karakter di pendidikan sebelumnya belum menampakkan hasil yang signifikan. Perguruan tinggi masih sangat menekankan pada muatan ilmiah yaitu penguasaan ilmu sebagai jawaban atas kebutuhan pasar kerja. Hal ini nampak pada isi silabus tiap mata kuliah yang ada. Tak heran jika lulusan perguruan tinggi mampu menguasai bidangnya namun kurang memiliki karakter yang unggul. Sementara itu, masyarakat menganggap bahwa mengirimkan  anaknya ke perguruan tinggi secara otomatis akan memperbaiki perilaku anaknya. Tulisan ini akan membahas tentang hal-hal yang bisa dilakukan perguruan tinggi untuk membantu membentuk karakter unggul pada mahasiswanya.Â
pergerakan pendidikan menempatkan domain moral menjadi bagian dari sejarah (Millon, dalam Creighton 2009). Kebangkitan atau mulai didengungkannya kembali  pendidikan moral terjadi pada awal abad 21 ketika sekolah kembali kepada misi aslinya yaitu membantu siswa mencapai moral and membentuk kebiasaan baik yang bermanfaat untuk mencapai kesuksesan hidup (Ryan, dalam Pendidikan karakter yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata bukanlah suatu hal yang baru bahkan sudah ada sejak institusi pendidikan berdiri. The Constitution of the Commonwealth of Massachusetts, tahun 1780 yang merupakan konstitusi tertua yang masih berpengaruh saat ini, memuat tujuan institusi pendidikan sebagai institusi publik ini yaitu mendukung dan menanamkan prinsip-prinsip kemanusiaan, kejujuran, pemurah, membantu orang miskin, kerja keras dan hemat, kejujuran dan tepat waktu; kebenaran, humor yang baik dan memiliki afeksi sosial dan perasaan yang halus terhadap semua orang. Menurut  Barber (Creighton, 2009) pada abad ke-18 dan ke-19, semua institusi pendidikan baik yang sekuler maupun religius, swasta maupun milik pemerintah bahkan menjadi bagian yang penting dalam membentuk warga negara yang kompeten dan bertanggungjawab. Hanya saja, sekitar tahun 1940 dan 1950 pendidikan moral, yang telah menjadi bagian integral dari sekolah publik di masa awal berdirinya Amerika, mulai mengalami erosi karena pendidik  lebih memprioritaskan pengajaran akademis dibandingkan moral. Hal ini berlanjut pada tahun 1960an dan 1970an ketika Creighton 2009).Â
Implementasi pendidikan karakter
Implementasi pendidikan karakter di berbagai sekolah pun nampaknya menemui tantangan tersendiri karena muatan kurikulum di Indonesia yang sangat menekankan pada aspek kognitif. Hal ini disebabkan oleh kriteria kelulusan dalam ujian sekolah maupun ujian  nasional yang  menekankan pada nilai penguasaan ilmu secara kognitif selama ini, mau tidak mau menjadikan pendidik lebih fokus pada upaya mendorong siswa menguasai pelajaran dan kurang memberi porsi pada pembentukan karakter baik yang menjadi amanat UU sisdiknas. Pendidik memandang nilai lebih utama untuk dicapai, sedangkan karakter yang baik itu meskipun dianggap penting dalam kehidupan tidak mendapatkan porsi seimbang. Masalah karakter, lebih diserahkan pada orangtua, sebagai pendidik utama di keluarga, sementara orangtua mengharapkan guru ikut mendidik anakanaknya menjadi lebih baik. Kondisi ini jika diibaratkan seperti gayung tak bersambut. Â
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian sekolah telah berupaya untuk mengimplementasikan pembentukan karakter, hanya saja selama ini upaya tersebut belum menjadi upaya yang komprehensif dan integral dari level pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Masing-masing sekolah nampaknya masih memilih karakter tersendiri yang dianggap penting untuk dikembangkan dan belum ada pengelompokan karakter apa saja yang akan dikembangkan pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi secara berkelanjutan. Kondisi ini terjadi karena pemerintah Indonesia  melalui kementrian pendidikan nasionalnya  memang memberikan kebebasan pada institusi sekolah memilih karakter yang akan dikembangkan berdasarkan kondisi masing-masing sekolah. Ke 18 nilai yang bisa dikembangkan di sekolah menurut Kementrian Pendidikan Nasional bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi,  (13)Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) PeduliLingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa:Pedoman Sekolah. 2009:9-10).Â
Tolak ukur keberhasilan pendidikan karakter
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah.  Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik  atau loving good  (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action).  Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan (Lickona, dalam Siswanto 2011). Â
Keberhasilan pendidikan karakter akan memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dalan jangka pendek, Ellias (2010) menyatatakan melalui pengembangkan karakter moral, sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman, mencegah bullying dan viktimisasi oleh teman sebaya, menurunkan problem disiplin, mengurangi ketidakjujuran, mendukung pengembangan etika, dan menghasilkan warga negara yang baik. Sedangkan dalam jangka panjang, Bier dan Berkowitz (2005) menyebutkan penerapan pendidikan karakter dengan serius dan berkualitas akan membentuk generasi yang memiliki etika, bertanggung jawab dan menjadi warga negara yang baik.Â
Keberhasilan pendidikan karakter di Indonesia belum terukur secara objektif. Studi komprehensif dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dan meliputi seluruh wilayah Indonesia belum penulis dapatkan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan karakter ini bisa diukur keberhasilannya? Melinda dan Berkowitz (2005) menelaah 78 artikel ilmiah yang merepresentasikan 39 program/ metode pendidikan karakter yang disebut efektif dan menyimpulkan bahwa mengukur keberhasillan pendidikan karakter itu tidak mudah, namun yang bisa disimpulkan adalah program pendidikan karakter bisa berjalan dengan sukses. Berikut ini beberapa komponen yang menentukan kesuksesan program pendidikan karakter, antara lain :Â
a. Pengembangan profesional. Semua program yang efektif telah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dari struktur pengalaman latihan profesional yang terus menerus berlangsung selama penerapan pendidikan karakter.
d. Skill training. Program yang dibentuk adalah mendukung dan bahkan mengajarkan secara langsung ketrampilan sosial-emosional, seperti ketrampilan interpersonal-intrapersonal dan lain-lain.Â
Pendidikan karakter di perguruan tinggi : masihkah diperlukan ?
Perguruan tinggi, menurut Flexner (dalam Syukri 2009) merupakan tempat pencarian ilmu pengetahuan, pemecahan berbagai masalah, tempat mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Senada dengan Flexner, Syukri (2009) menyatakan dunia perguruan tinggi merupakan tempat menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam dan luas. Sayangnya perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pembentukan karakter mahasiswa. Bahkan Arthur (dalam Syukri, 2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjanjikan pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa seperti yang terjadi di Inggris, semua itu hanya retorika institusi universitas modern. Â Sementara itu, Â menurut Syukri (2009) masyarakat Indonesia masih menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai tempat latihan dan pendidikan putra putrinya menjadi kaum intelektual yang memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji. Â Ironisnya tak ada perguruan tinggi yang menjamin lulusannya memiliki moral etika yang baik.Â
Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009), sehingga secara eksplisit pembentukan karakter dianggap bukan merupakan tugas perguruan tinggi. Oleh karena itu implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui tantangan tersendiri. Schwartz (2000) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui kendala karena adanya pendapat yang keliru yaitu :Â
1. Karakter seseorang sudah terbentuk sebelum masuk ke perguruan tinggi dan merupakan tanggung jawab orangtua untuk membentuk karakter anaknya.Â
2. Perguruan tinggi, khususnya dosen, tidak memiliki kepentingan dengan pembentukan karakter, karena mereka direkrut bukan untuk melakukan hal tersebut.
3. Karakter merupakan istilah yang mengacu pada agama atau idiologi konservatif tertentu, sementara itu perguruan tinggi di barat secara umum melepaskan diri dari agama atau idiologi tertentu.Â
Keengganan perguruan tinggi di barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus masalah moral antara lain karena masalah moral merupakan wilayah pribadi dan mereka dipengaruhi oleh idiologi liberal yang telah menjadi gaya hidup. Selain itu, ada empat alasan perguruan tinggi, khususnya di Inggris yang tidak menaruh perhatian pada pembentukan moral mahasisiwa : Â
1) takut dengan tuntutan berbagai macam karakter dan perilaku mahasiswa untuk mendapatkan pembinaan.
2) menjalankan pendidikan sesuai dengan kebijakan politik pemerintah.
3) mahasiswa diarahkan menjadi warga negara yang demokratis.
Daftar Pustaka
Creighton, T. (2009). Character Education : An Hystorical Review. The International Journal of Educational Leadership Preparation, Â Volume 4, Number 1 (January - March, 2009).
Melinda,CB., Berkowitz MW. (2005). What Work in Character Education ? Leadership For Students Activities, October 2005, vol 34, no 2, page 1-7Â
Schwartz, AJ. (2000). It’s Not to Late to Teach College Student about Values. The Chronicle of Higher Education. Vol 46. No 40.pg A68Â
Siswanto, HW. (2011). Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Implementasinya di Satuan Pendidikan. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemendiknas. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H