d. Skill training. Program yang dibentuk adalah mendukung dan bahkan mengajarkan secara langsung ketrampilan sosial-emosional, seperti ketrampilan interpersonal-intrapersonal dan lain-lain.Â
Pendidikan karakter di perguruan tinggi : masihkah diperlukan ?
Perguruan tinggi, menurut Flexner (dalam Syukri 2009) merupakan tempat pencarian ilmu pengetahuan, pemecahan berbagai masalah, tempat mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Senada dengan Flexner, Syukri (2009) menyatakan dunia perguruan tinggi merupakan tempat menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam dan luas. Sayangnya perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pembentukan karakter mahasiswa. Bahkan Arthur (dalam Syukri, 2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjanjikan pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa seperti yang terjadi di Inggris, semua itu hanya retorika institusi universitas modern. Â Sementara itu, Â menurut Syukri (2009) masyarakat Indonesia masih menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai tempat latihan dan pendidikan putra putrinya menjadi kaum intelektual yang memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji. Â Ironisnya tak ada perguruan tinggi yang menjamin lulusannya memiliki moral etika yang baik.Â
Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009), sehingga secara eksplisit pembentukan karakter dianggap bukan merupakan tugas perguruan tinggi. Oleh karena itu implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui tantangan tersendiri. Schwartz (2000) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui kendala karena adanya pendapat yang keliru yaitu :Â
1. Karakter seseorang sudah terbentuk sebelum masuk ke perguruan tinggi dan merupakan tanggung jawab orangtua untuk membentuk karakter anaknya.Â
2. Perguruan tinggi, khususnya dosen, tidak memiliki kepentingan dengan pembentukan karakter, karena mereka direkrut bukan untuk melakukan hal tersebut.
3. Karakter merupakan istilah yang mengacu pada agama atau idiologi konservatif tertentu, sementara itu perguruan tinggi di barat secara umum melepaskan diri dari agama atau idiologi tertentu.Â
Keengganan perguruan tinggi di barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus masalah moral antara lain karena masalah moral merupakan wilayah pribadi dan mereka dipengaruhi oleh idiologi liberal yang telah menjadi gaya hidup. Selain itu, ada empat alasan perguruan tinggi, khususnya di Inggris yang tidak menaruh perhatian pada pembentukan moral mahasisiwa : Â
1) takut dengan tuntutan berbagai macam karakter dan perilaku mahasiswa untuk mendapatkan pembinaan.
2) menjalankan pendidikan sesuai dengan kebijakan politik pemerintah.
3) mahasiswa diarahkan menjadi warga negara yang demokratis.