لَا تُحَرِّكْ بِه لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهُ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَه وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
"Jangan engkau (Nabi Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca al-Qur'an) karena hendak tergesa-gesa (menguasai)-nya. Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu) dan membacakannya. Maka, apabila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaannya itu".
Ayat ini menceritakan tentang serius dan antusiasnya Nabi Muhammad saw untuk segera bisa membaca dan menghafal wahyu. Hingga, hal itu membuat Nabi cukup tergesa-gesa untuk mengikuti setiap ayat yang dicontohkan oleh Jibril kepada beliau. Allah swt, melalui firman ini kemudian memberitahu Nabi saw agar tidak perlu tergesa-gesa, sebab la yang menjamin al-Qur'an itu pasti terkumpul, tersimpan dan terpelihara di hatinya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa al-Qur'an diartikan sebagai bacaan. Abdullah Darraz menyebutkan, dinamakan sebagai qur'anan, itu untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur'an sejatinya dipelihara melalui bacaan-bacaan secara lisan, sebagaimana halnya, salah satu nama al-Qur'an adalah al-Kitāb, karena wahyu yang turun juga dipelihara melalui tulisan.
Selain dari makna-makna di atas, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan satu kosakata tersendiri (isim jāmid) yang tidak berasal dari derivasi lafal apapun dalam bahasa arab. Istilah al-Qur'an dengan demikian, menurut pendapat ini memang hanya diperuntukkan sebagai nama dari kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sama seperti nama-nama kitab lain seperti Zabur, Taurat dan Injil. Al-Baihaqi menyebutkan, ini merupakan pendapat al-Syafi'i lalu disetujui oleh al-Suyuthi.
Adapun secara istilah, para ulama mendefinisikan al-Qur'an tidak dengan satu pengertian. Hal ini bukan berarti para ulama tersebut memiliki pandangan yang berbeda mengenai al-Qur'an, melainkan karena ketika memberikan definisi secara istilah, masing-masing dari mereka menekankan pada salah satu segi dari al-Qur'an. Di antara banyaknya definisi secara istilah terhadap al-Qur'an, Nuruddin 'Itr memilih satu definisi yang menurutnya dapat mencakup secara umum dari semua segi definisi yang ada, yaitu:
القرآن هو كلام الله المنزل على النبي محمد صلى الله عليه وسلّم المكتوب
في المصاحف المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته، المعجز ولو بسورة منه. "Al-Qur'an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw, tertulis di lembaran-lembaran, tersampaikan secara mutawatir, ibadah apabila dibaca, merupakan mukjizat meski hanya satu surat darinya".
Pengertian di atas menjelaskan bahwa al-Qur'an setidaknya memiliki enam ciri/karakter pokok yang dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, Kalāmullah. Ciri ini menetapkan bahwa ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Qur'an harus diyakini merupakan firman atau perkataan Allah. Konsekuensinya, semua perkataan lain, selain perkataan Allah tidak bisa disebut bagian dari al-Qur'an, 10 Adapun Nabi saw hanya sebagai penyampai (muballigh) yang tidak memiliki andil apapun baik dari segi pemilihan kata, maupun makna dari setiap kata itu, sebab kata dan maknanya semua bersumber dari Allah swt. Pemahaman ini secara langsung membantah tuduhan beberapa pihak yang menyatakan bahwa al-Qur'an adalah buatan Nabi Muhammad saw yang menyadur isi kitab- kitab terdahulu lalu memodifikasinya menjadi al-Qur'an, atau klaim bahwa al-Qur'an hakikatnya diturunkan dalam bentuk inspirasi ke dalam hati, lalu Rasulullah-lah yang memilih lafal dan ungkapannya." Tuduhan tersebut, selain bertentangan dengan keyakinan umat muslim, juga tidak dimungkinan terjadi, sebab jauh-jauh hari Allah telah menantang semua manusia untuk membuat satu surat saja semisal dengan al-Qur'an, namun hingga sekarang tidak ada satupun yang mampu menjawab tantangan tersebut.
Begitu juga, karena ia merupakan firman Allah, ayat-ayat al- Qur'an haruslah dipandang memiliki kedudukan, keluhuran dan kemuliaan yang jauh berbeda dibanding perkataan lainnya, sebagaimana kedudukan Allah sebagai pencipta yang tentu saja berbeda dari perkataan makhluk seperti manusia. Hal ini tampak dari ungkapan Allah di dalam salah satu firmannya Q.S. Luqman: 27,
وَلَوْ أَنَّ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامُ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ الْحُرِ مَّا نَفِدَتْ كَلِمْتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta) ditambah tujuh lautan lagi setelah (kering)-nya, niscaya tidak akan pernah habis kalimatullah (ditulis dengannya). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Kedua, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ciri kedua ini membedakan al-Qur'an sebagai wahyu Allah dengan wahyu-wahyu sebelumnya yang diturunkan kepada selain Nabi saw, seperti Taurat dan Injil. Namun bukan berarti, antara al-Qur'an dan kitab-kitab sebelumnya terpisah tanpa ada hubungan apapun. Semuanya memiliki hubungan sebagai bagian dari wahyu Allah meski menjadi kitab-kitab tersendiri. Al- Qur'an sendiri pun disebut risalah penutup (al-risälah al-khātimah) yang menurut al-Qaradhawi menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah penyempurna dari risalah-risalah yang telah diwahyukan duluan. Karenanya, al-Qur'an, terhadap kitab-kitab lain memiliki fungsi salah satunya adalah al-işlāh, yaitu memperbaiki isi-isi kitab terdahulu dari berbagai penyimpangan dan pergantian yang telah dilakukan oleh manusia. 15
Ketiga, Tertulis di lembaran-lembaran. Corak atau karakter yang ketiga ini hakikatnya tidak disepakati oleh Sebagian kalangan. Sebab, menurut kalangan tersebut, karakteristik ini lebih tepat ditujukan kepada mushaf sebagai bentuk dan sarana mengakses al-Qur'an, yang mana akan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan, al-Qur'an itu sendiri tidak hanya ditulis, tetapi juga dihafal secara lisan, Meski demikian, Nuruddin 'Itr tetap memasukkannya sebagai salah satu ciri pokok dari al-Qur'an karena menurutnya ciri ini termasuk dari segi kelebihan dan keistimewaan al-Qur'an di mana sejak masa Nabi saw penghafalan dan penulisan wahyu itu dilakukan secara beriringan. Bahkan, pada perkembangannya, para Sahabat sangat menekankan pemeliharaan al-Qur'an melalui tulisan, dimana pasca keberhasilan mereka dalam mengumpulkan dan meresmikan al-Qur'an, mereka menjadikan mushaf resmi tersebut sebagai acuan standar untuk menghindarkan pemalsuan al-Qur'an. Hal ini seperti yang dikutip oleh Nuruddin 'Itr,
ثم لما قام الصحابة بجمع القرآن في المصحف وكتبت المصاحف في عهد عثمان أجمع الصحابة على تجريد المصحف من كل ما ليس قرآنا، وقالوا : جردوا المصاحف فمن ادعى قرآنية شيء ليس في المصاحف فدعواه باطلة كاذبة، وهو من المفترين على الله وعلى
Tatkala para sahabat berhasil mengumpulkan al-Qur'an satu mushaf, dan tertulislah al-Qur'an itu di beberapa mushaf di masa Usman, para Sahabat kemudian bersepakat untuk menyendirikan dan memisahkan mushaf dari apa yang bukan bagian dari al-Qur'an. (Para sahabat) menghimbau: "pisahkanlah lembaran-lembaran al-Qur'an yang resmi ini dari selainnya. Siapa saja yang mengklaim sesuatu itu adalah al-Qur'an sementara bukan bagian dari lembaran-lembaran resmi ini, itu berarti klaim mereka tidak benar dan merupakan kedustaan, dan mereka yang mengklaim itu termasuk golongan orang-orang yang berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya"
Keempat, disampaikan secara mutawatir. Maksud dari mutawatir adalah informasi disampaikan dari sejumlah (banyak) orang ke sejumlah banyak) orang secara berantai tanpa terputus di mana dengan jumlah yang banyak tersebut, tidak dimungkinkan terjadinya kesepakatan untuk membuat dan menyampaikan kebohongan. Dengan demikian, ciri yang keempat ini hakikatnya memberikan penguatan pada ciri-ciri sebelumnya. Diantaranya adalah, kata al-manqül, mengisyaratkan secara jelas bahwa wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah saw sifatnya hanya mengulangi apa yang beliau terima tanpa andil dari beliau untuk menambahi, mengurangi apalagi merekayasa ayat-ayat al-Qur'an. Selain itu, ayat yang disampaikan secara mutawatir menegaskan bahwa ayat- ayat tersebut merupakan sesuatu yang pasti dan benar adanya (qat'i al- wurüd). Berbeda dengan hadis Nabi -termasuk hadis qudsi- yang tidak semua mencapai kepastian dari segi penginformasiannya. Ciri yang keempat ini juga memastikan bahwa secara historis, periwayatan al-Qur'an sejatinya dapat dibuktikan hingga hari ini. Sebab, tradisi pengajaran hafalan al-Qur'an sejak masa Nabi saw memiliki rekam sejarah yang dapat dilacak berdasarkan ilmu sejarah. Kemungkinan ini dapat diterima, karena madrasah-madrasah yang meriwayatkan hafalan al-Qur'an senantiasa mempertahankan satu sistem di dalam transfer dan pengajaran al-Qur'an, yaitu pemberian ijazah sanad hafalan al-Qur'an. Ijazah ini hanya diberikan bagi siapa saja santri yang telah lulus melewati serangkaian pengujian hafalan sehingga ia mendapat pengakuan dari gurunya sebagai penghafal yang dapat dipercaya (mutqin). Ijazah sanad tersebut berisikan rantai sanad pengajaran hafalan al-Qur'an yang sampai kepada Rasulullah saw.19 Kelima, dianggap ibadah Ketika membacanya. Ciri pokok ini menegaskan bahwa tujuan dari turunnya al-Qur'an itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilā Allah).20 Oleh karenanya, Islam memandang pembacaan al-Qur'an itu memiliki dimensi spiritual karena setiap ayat yang dilantunkan harus dihormati sebagai sebuah ibadah yang bersifat sakral. Unsur ibadah ini meniscayakan agar semua muslim, tatkala mendengarkan al-Qur'an dibaca, hendaknya mendengarkan dan memperhatikan dalam nuansa peribadatan. Selain itu, dirnensi ibadah dari pembacaan ayat al-Qur'an juga meniscayakan adanya pahala yang besar bagi siapa saja yang membacanya.
Adanya unsur ibadah dalam membaca al-Qur'an ini tentu saja mempersyaratkan keimanan atas al-Qur'an sebagai kalāmullah yang mulia. Dengan begitu, orang yang membaca al-Qur'an namun ia tidak beriman kepada al-Qur'an maka bacaannya tidak dianggap ibadah. Sebagai contoh, seorang peneliti, ilmuan atau akademisi non muslim yang membaca al- Qur'an dalam rangka penelitian, bacaannya tidak dianggap ibadah karena ia hanya memandang al-Qur'an sebagai teks yang menjadi objek semata, seperti ia memandang teks-teks lainnya. Hal ini tentu berbeda dengan seorang muslim yang membaca al-Qur'an, meskipun ia mengkaji ayat- ayatnya dalam konteks meneliti, ia tetap dianggap ibadah karena Ketika mengkaji, ia meyakini ayat-ayat tersebut merupakan firman Allah.23 Di samping itu juga, karakter ibadah ini juga menjadi pembeda antara al-Qur'an dengan hadis qudsi dan jenis hadis lainnya yang apabila dibaca tidak serta merta dianggap ibadah.
Keenam, merupakan mukjizat meski hanya satu surat. Bagi al- Qaradhawi, al-Qur'an adalah mukjizat terbesar diantara mukjizat-mukjizat yang ada. Hal ini Kembali menguatkan bahwa al-Qur'an tidak mungkin dibuat oleh manusia, termasuknya Nabi Muhammad saw. Bahkan lebih dari itu, kemukjizatan al-Qur'an diakui sebagai mukjizat terbesar yang pernah Allah berikan. Hal ini, menurut al-Qaradhawi bisa dilihat dari dua faktor. Pertama, kemukjizatan al-Qur'an bersifat mu'abbad, yaitu tidak terikat oleh waktu Nabinya. Jadi, meskipun Nabi saw telah wafat. al-Qur'an sebagai mukjizat masih ada dan berlaku. Hal ini berbeda dengan mukjizat-mukjizat lain yang hilang dengan wafatnya Nabi yang memiliki mukjizat tersebut. Kedua, al-Qur'an memiliki fungsi hidayah yang sangat besar dibanding mukjizat lain. Meski al-Qur'an secara zahir tidak tergambar super power seperti mukjizat lain -misalnya tongkat Musa yang bisa berubah menjadi ular dan membelah lautan, atau Nabi Isa yang mampu mengobati kebutaan bahkan menghidupkan yang telah mati- akan tetapi pihak yang mendapatkan hidayah melalui al-Qur'an jauh lebih besar dan lebih banyak dibanding mukjizat-mukjizat tersebut. 25 Mengenai dimensi kemukjizatan al-Qur'an, akan dijelaskan secara lebih terperinci pada babnya tersendiri.
Inilah enam ciri pokok dari al-Qur'an berdasarkan pengertian yang di atas. Selain ke-enam ini ada lagi satu karakter yang juga dapat dimasukkan sebagai ciri al-Qur'an, yaitu sebuah kitab yang diawali dengan surat al- Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas (al-mabdū bi surah al-fatihah wa al-makhtüm bi surah al-nās). 26 Ciri ini, meskipun tidak dimasukkan dalam definisi yang terpilih seperti pada kitab al-Burhān, al-Itqān dan kitab induk ilmu al-Qur'an lainnya, tetapi juga penting kiranya disebutkan. Hal ini karena, ulama sepakat susunan al-Qur'an yang dimulai dari al-Fatihah dan ditutup dengan al-Nas adalah susunan yang disepakati oleh seluruh sahabat (ijma' al-şahābah) yang memang bersumber dari isyarat Nabi saw. Terkait hal ini, akan dijelaskan secara lebih detail pada pembahasan sejarah al-Qur'an.