Mohon tunggu...
Fadillah Noor Rahmat
Fadillah Noor Rahmat Mohon Tunggu... Administrasi - mahasiswa

Kun Fayakun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran-Pemikiran Max Weber dan HLA Hart

30 Oktober 2024   00:22 Diperbarui: 30 Oktober 2024   00:40 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Fadillah Noor Rahmat 

Nim     : 222111128

Kelas   : 5D HES 

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

Judul Artikel Jurnal : Menggugat relasi Filsafat Positivisme dengan ajaran hukum Doktrinal 

Jurnal ini membahas pemikiran Max Weber dan HLA Hart dalam konteks hukum dan positivisme. Max Weber mendefinisikan hukum sebagai fakta-fakta sosial yang muncul dari hubungan sebab-akibat dalam masyarakat, menekankan bahwa hukum adalah bagian dari gejala sosial yang dapat dipahami melalui pendekatan empiris. Dalam pandangannya, hukum tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya, sehingga sosiologi hukum berfungsi untuk menjelaskan masyarakat dengan instrumen hukum. Di sisi lain, HLA Hart, sebagai penganut positivisme, menekankan bahwa hukum harus konkret dan dituliskan oleh pihak yang memiliki otoritas, yaitu negara. Hart berargumen bahwa hukum positif tidak perlu terkait dengan moralitas, menunjukkan bahwa hukum dapat berdiri sendiri tanpa pertimbangan moral.  pemikiran Weber dan Hart memberikan wawasan yang berbeda namun saling melengkapi dalam memahami hubungan antara hukum, masyarakat, dan prinsip-prinsip positivisme.

1. Pokok-Pokok Pemikiran Max Weber

Max Weber adalah seorang sosiologi dan ekonom politik yang terkenal dengan beberapa pemikiran kunci, antara lain:

- Etika Protestan dan Kapitalisme: Weber mengemukakan bahwa etika Protestan, terutama nilai-nilai seperti kerja keras dan disiplin, berkontribusi pada perkembangan kapitalisme di Barat. Ia berargumen bahwa keyakinan agama mempengaruhi perilaku ekonomi individu.

- Tipe Otoritas: Weber mengidentifikasi tiga tipe otoritas yang mendasari legitimasi hukum: otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas rasional-legal. Otoritas rasional-legal, yang berbasis pada hukum dan aturan, menjadi dominan dalam masyarakat modern.

- Birokrasi: Ia menekankan pentingnya birokrasi sebagai struktur organisasi yang efisien untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi. Birokrasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengelola administrasi publik.

2. Pendapat tentang Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart dalam Masa Sekarang

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart tetap relevan dalam konteks hukum dan masyarakat saat ini.

- Relevansi Weber: Pemikiran Weber tentang birokrasi dan otoritas rasional-legal sangat penting. Banyak negara, termasuk Indonesia, masih berjuang dengan isu-isu birokrasi yang efisien dan transparan. Pemahaman tentang bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi hukum juga sangat relevan, terutama dalam konteks pluralisme budaya di Indonesia.

- Relevansi Hart: Pemikiran Hart tentang positivisme hukum dan perbedaan antara hukum dan moralitas memberikan kerangka untuk memahami tantangan dalam penerapan hukum. Dalam konteks Indonesia, di mana hukum positif sering kali bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat, pemikiran Hart membantu menjelaskan pentingnya legitimasi hukum dan bagaimana hukum dapat berfungsi secara efektif dalam masyarakat.

3. Analisis Perkembangan Hukum di Indonesia

Menggunakan pemikiran Weber dan Hart, kita dapat menganalisis perkembangan hukum di Indonesia dengan beberapa cara:

- Interaksi Budaya dan Hukum: Pemikiran Weber menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak hanya merupakan produk dari aturan formal, tetapi juga dipengaruhi oleh tradisi dan nilai-nilai lokal. Misalnya, hukum adat masih memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa di beberapa daerah, menciptakan interaksi antara hukum positif dan hukum adat.

- Legitimasi Hukum: Dari perspektif Hart, legitimasi hukum di Indonesia sering kali dipertanyakan. Ketika hukum positif tidak mencerminkan nilai-nilai masyarakat, hal ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan penolakan terhadap hukum tersebut. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan hukum yang tidak hanya sah secara formal tetapi juga diterima secara sosial.

- Positivisme Hukum dan Hukum Doktrinal: Dalam konteks filsafat positivisme, hukum doktrinal di Indonesia sering kali berfokus pada penerapan aturan yang ada tanpa mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan yang lebih inklusif dalam pengembangan hukum, yang mempertimbangkan aspirasi dan nilai-nilai masyarakat.

Kesimpulan

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart memberikan kerangka yang berguna untuk menganalisis perkembangan hukum di Indonesia. Dengan memahami interaksi antara budaya, tradisi, dan hukum positif, kita dapat lebih baik memahami tantangan yang dihadapi dalam menciptakan sistem hukum yang adil dan efektif. Reformasi hukum yang berkelanjutan dan penyesuaian terhadap nilai-nilai masyarakat akan menjadi kunci untuk mencapai keadilan sosial dalam sistem hukum Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun