Fahri, nama yang cukup sederhana namun bermakna.
Hatiku berdegup kencang saat dia menyapaku, apa makna semua itu?. Suaranya yang begitu merdu mebuatku diam membisu, itulah ciptaan-Mu yang sempurna.
Oh Allah, apakah perbuatan tadi adalah dosa, Jika iya ampuni hamba-Mu yang khilaf ini. Hamba berusaha menjaga hati ini agar tidak terhanyut dalam dunia ini, namun hamba belum tahu cara menghindari semua ini.”
Allah, jika sampai saatnya nanti, berikanlah jodoh yang sholeh, mampu membimbing hamba dan keluarga ke surga-Mu. Amin.”
Sejak kejadian itu Fafa dan Fahri mulai akrab, saling berbagi ilmu, informasi, dan sepertinya juga bertukar hati. Namun siapa yang bisa menebak hati?, hanya mereka sendiri dan ilahi yang bisa mengerti dan memahami isi hati. Keakraban dan kedekatan mereka diketahui pula oleh Meidi “ Fafa, akhir-akhir ini aku sering liat kamu bareng kak fahri deh. Kalian pacaran ya?. Fafa, kamu tahu kan aku suka sama kak Fahri , Apa kamu juga suka sama kak Fahri?.” Fafa merasa tersentak dengan semua perkataan Meidi “ apa pacaran? ya tidak lah Meidi, Kamu tahu sendiri kan aku tidak dekat sama siapa-siapa. Aku suka sama kak Fahri?, ya gak lah, tenang aja aku tidak akan ambil yang telah menjadi keinginanmu” dengan tegas Fafa menjawab namun hatinya berteriak “ astaghfirullah, ampuni hamba-Mu ini, Hamba tidak bermaksud membohonginya ya Allah, hamba suka kak Fahri, namun hamba tidak tahu suka sebagai apa?. Hamba tidak ingin menyakiti hati Meidi ya Allah, ampunilah Hamba”. Meidi percaya jawaban Fafa, dan mereka membuat perjanjian apabila Fafa suka sama Fahri maka salah satu diantara mereka harus pindah kamar. Perjanjian itu sempat ditolak oleh Fafa namun untuk tidak menambah kecurigaan Meidi , Fafa menyetujui perjanjian itu.
Hari demi hari dilewati seperti biasa hingga sampai pada suatu malam yang indah bertabur bintang, Fafa dan Fahri berada di suatu tempat, wajah mereka tampak serius . “Fafa, sadarkah kau Allah menciptakan kamu begitu sempurna?” Fafa terperanga, ia merasa senang Fahri memujinya seperti itu, di sisi lain jantungnya kembali berdetak kencang, dan perasaannya tidak karuan. “Pertama aku melihatmu, aku merasa kau telah membawa hati dan pikiranku. Kau cantik, pintar, dan baik . Mungkinkah Allah menciptakanmu untukku?. Aku suka kamu fa, aku senang bisa selalu di dekatmu. Fa, Dengan izin Allah maukah kamu jadi bunda bagi putra putriku?”. Seketika keadaan hening, perlahan air mata Fafa menetes, apa yang sebenarnya Fafa pikirkan bukankah ia juga suka Fahri, lalu kenapa ia menangis?. “Fa kamu kenapa, ada apa denganmu? Kenapa kamu menangis?. Aku tau mungkin ini berat bagimu, tapi itulah isi hatiku Fa”. Fafa masih terdiam, wajahnya terus menunduk, air matanya masih mengalir, Fafa menghela nafas panjang “ Kak, sebenarnya ciptaan Allah yang sempurna adalah kak Fahri. Kakak tampan, baik, saleh, pintar dan ngajinya bagus. Wanita manapun pasti bahagia jika bersanding dengan kakak”. Tanpa mereka sadari ternyata ada Meidi yang mengetehaui keberadaan mereka dan Meidi juga mendengar semua obrolan mereka, dengan hati yang kecewa Meidi pergi meninggalkan mereka. “ Aku tidak sempurna, masih banyak cacat dalam diri ini yang belum kakak ketahui, Maaf kak saat ini aku belum bisa kak, aku masih terlalu muda untuk itu. Aku kira ini hanya cinta nafsu kak. Kakak orang baik, InsyaAllah akan dapat orang baik juga. Percayalah kak, jika memang aku diciptakan oleh Allah untuk kakak , suatu saat kita akan bersama kak, seperti nabi adam dan siti hawa yang dulunya bersatu, lalu dipisahkan. Dengan izin Allah , mereka dipersatukan kembali. Maaf kak saya harus pulang. Assalamualaikum”.
Kertas putih dengan coretan hitam menyabut Fafa, keadaan sunyi menemani malamya. Seketika kabut hitam muncul, hatinya bagai disambar petir saat ia membaca surat itu
Assalamualaikum Fafa
Aku sudah tau semuanya, mungkin kau mengira aku tak mengerti sandiwara ini, tidak ada yang perlu disesali, kau menyukai Fahri bukan?,kau telah menancapkan jarum dalam hatiku, apa ini yang dimaksud pagar makan tanaman? sesuai perjanjian yang telah kita buat, salah satu kita harus pergi, dan aku mengalah, aku pergi, biarkanlah aku obati lukaku sendiri
Sahabatmu
Meidi