Gejolak Hati
Manusia adalah mahkluk hidup ciptaan Tuhan yang sempurna. Tuhan memberikan akal kepada manusia agar dapat berpikir dalam bertindak dan melakukan sesuatu. Dan Tuhan juga menitipkan segumpal daging yang dapat menentukan baik dan buruknya manusia. Segumpal daging itu adalah hati. Hati yang suci, jiwa yang bersih akan menampilkan kepribadian yang baik. Sebaliknya, hati yang buram, jiwa yang keruh akan menjadikan kepribadian seseorang menjadi buruk. Memang hakikatnya manusia diciptakan dengan karakter yang berbeda-beda.
Lihat gadis mungil yang duduk termenung sendiri di teras rumah kecil itu, Kerudung biru yang menutupi kepalanya, kemeja pink yang menyelimuti tubuhnya, dan rok biru yang menambah keindahan dirinya. Ia bernama Fafa, dengan nama lengkap Alfissyifa Qolby. Fafa adalah gadis yang cantik, hidungnya mancung, kulitnya yang cerah menambah kecantikan wajahnya. Ia berumur 17 tahun, baru saja menyelesaikan pendidikan di SMAN 3 Yogyakarta. Ia adalah gadis yang ramah dan lemah lembut. Keceriaan selalu menyelemuti hatinya dan menghiasi hari-harinya.
Hari itu wajah cerianya tertutupi awan mendung, ia terlihat bingung, sedih, tidak ada sedikit senyum yang terlukis di bibirnya. Titik demi titik gerimis itu turun membentuk bendungan mungil di bawah kakinya. Lelaki yang sebaya dengannya menghampiri dan duduk di sampingnya. Dia adalah abang Alfin, ia adalah saudara sulung Fafa. Ia adalah tempat untuk menumpahkan duri- duri yang menancap dalam pikirannya. “Hai adik cantik, ada apa denganmu? Jangan sedih lah, cantiknya luntur tuh” sapa bang Alfin. Ia pun meluapkan semua beban pikirannya kepada abang kesayangannya. “Abang, bagaimana kalau nanti aku rindu keluarga disini?, bagaimana kalau aku tidak kerasan disana?”. Senyum kecil tergambar di wajah abang alfin, ia mendakati Fafa dan memeluknya. ”Fafa, adiknya abang, semua memang terasa sulit kalau belum dikerjakan, semua yang kamu pikirkan sekarang akan berbeda dengan apa yang kamu rasakan nanti. Disana kamu tidak akan sendiri, kamu akan mendapatkan teman baru, saudara baru, keluarga baru dan tentunya juga pengalaman baru. Kejar cita- citamu, itu impianmu sejak kecil bukan?. Jika di ibaratkan kamu harus mengarugi samudera, saat ini Fafa ada di tengah- tengah samudera itu , hanya ada dua pilihan mau lanjut atau balik. Raihlah kesuksesan itu, arungi samudera itu meskipun badai akan melintang dan buatlah keluarga disini bersorak karenamu”.
Hari itu tiba, hari dimana Fafa harus meninggalkan kota kelahirannya demi meraih cita-citanya. Matanya yang berkaca-kaca tidak mampu membohongi keadaan hatinya yang di selimuti kain hitam, namun ia berusaha menyembunyikan semua itu. Tepat pukul 09.23 WIB ia dan ayah tercinta duduk dalam bis yang akan mengantarkan ke kota tujuannya. Wajahnya yang selalu menghadap arah jendela, air matanya terus mengalir tak terbendung, menemani deras hujan yang turun. Namun dengan cepat ia mengusap air matanya tiap kali mengalir, karena ia tak mau ayahnya mengetahui ia menangis.”nak, kamu mau permen?”ayahnya membuka obrolan.”tidak yah, terima kasih”jawab Fafa. Obrolan yanng terjadi sepanjang jalan, sedikit mencabut beberapa duri di pikirannya. Suasana yang dingin dan obrolan yang panjang membuatnya terlelap di bahu ayahnya.
Kota metropolitan itu tujuannya. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di Kota itu. Terik matahari sore menemani perjalanan kakinya mencari tempat kos yang dekat dengan universitasnya. Cucuran keringatnya membuahkan hasil, ia berhasil menemukan tempat kos dengan kamar berukuran 3 X 4 meter persegi. ”kamar ini lumayan luas ya nak?, tempatnya bersih, cukup nyaman kan nak buat kamu? Ya meskipun tidak senyaman dirumah”. “ iya yah nyaman kok, eh ayah masih bermalam disini menemani aku kan? Atau ayah disini aja dulu sampai minggu depan yah” kata fafa dengan merengek seperti anak kecil. Ayahnya menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Dengan wajah yang kusut iya beranjak mandi dan salat berjemaah dengan ayahnya.
Mentari pagi telah bersinar memancarkan wajah cerianya, namun awan hitam kembali menyelimuti wajah Fafa, Ia nampak sedih dan tidak bersemangat karena pagi itu ayahnya akan kembali ke kampung halamannya. Fafa memeluk ayahnya “ ayah, Fafa sayang ayah dan semua keluara disana. Fafa akan berusaha yang terbaik di sini. Hati-hati di jalan yah.” Fafa mencium pipi dan tangan ayahnya. Lambaian tangan dan senyuman ia persembahkan untuk ayahnya. Ayahnya telah menghilang dari pandangannya, ia balik ke kamar dan mengunci pintu kamanya. Ia kembali mengukir bendungan kecil dibawah kakinya. Tiba-tiba terdengar suara salam. Gadis dengan tinggi sekitar 159 cm, memakai kerudung abu-abu, kemeja coklat, celana Jeans abu-abu dan koper biru berdiri di depan pintu “hai, sudah lama datangnya?. O ya, aku Meida Isfy, kamu bisa panggil aku Meidi, aku dari Mojokerto, aku jurusan akuntansi”. “ emm jadi kamu yang nempatin kamar ini . Aku Alfissyifa Qolby, bisa di panggil Fafa. Aku dari Yogyakarta, aku jurusan perpajakan, salam kenal ya, semoga kita bisa akur dan menjadi teman yang baik”.
Seiring waktu berlalu, Fafa memiliki banyak teman, awan hitam itu pun tidak nampak di wajahnya. Jadwal kuliah yang padat membuatnya terlihat sibuk hingga kesehatannya pun tidak terlalu dijaga, wajahnya pucat, dan sepertinya pelajaran kuliahnya menggrogoti daging-daging tubuhnya. Tepat pukul 9.50 WIB kuliah hari ini selesai, ia telah ditunggu Meidi di depan kelasnya, sepertinya ada yang akan diceritakan oleh Meidi, wajahnya terlihat senang dan berambisi “ Fafa, kamu tau nggak, aku tadi ketemu kak Fahri, dia manis banget, ramah, baik , calon suami idaman banget deh , Andai aku bisa jadi …”. “ kak Fahri?” cegat Fafa “ kak Fahri, kayak apa orangnya?, sampai kamu tergila- gila kayak orang gak waras gitu”. Tiba- tiba ada seseorang laki-laki dengan tinggi sekitar 173 cm dengan tidak sengaja membentur Fafa hingga kepala Fafa terbentur tembok sangat keras “maaf aku buru – buru, kamu tidak apa-apa?, Astaghfirullah hidungmu berdarah”. Dengan cepat Fafa lari meninggalkan Meidi dan laki- laki itu. “kak Fahri kan?” sapa Meidi. Laki- laki itu adalah Fahri, dengan postur tubuhnya tegap, wajahnya tampan, ya dia cukup ramah, pantas saja Meidi tergila- gila padanya. Dengan rasa khawatir bercampur bahagia Meidi balik ke tempat kos.
Meidi menceritakan bahwa laki- laki yang menubruk fafa adalah Fahri, ia pun bercerita tentang Fahri dan tidak lupa ia juga menyampaikan salam maaf Fahri kepada Fafa. Fafa melamun dan dalam hatinya bergumam “ pantas saja Meidi tergila- tergila, kak Fahri memang tampan, baik, dan perhatian. Emm kak Fahri bisa ngaji gak ya ? kalau bisa ngaji pasti, tampannya nambah 100 kali lipat. Astaghfirullahal adzim” seketika ia menghentikan lamunannya. Ia kembali memperhatikan cerita Meidi “ eh Fa, kita ada jadwal pengajian kan malam ini di kampus? Sekalian kita solat maghribnya di kampus ya?”. “Tumben rajin banget, ingat ya, niat pengajian hanya ingin mencari ridho Allah, bukan mau cari perhatian apalagi ketemuan sama lawan jenis”. “iya – iya ustadzah” ketus Meidi jawabnya.
Adzan maghrib berkumandang, Fafa dan Meidi melangkahkan kakinya menuju ruamh Allah di kampus tercinta mereka. Mereka solat dengan khusyuk dan dilanjutkan dengan ceramah agama dan kegiatan rutin lainnya. Mereka mengikuti semua kegiatan dengan senang hati. Pukul 21: 00 WIB semua kegiatan selesai, Fafa dan Meidi beranjak pulang, laki-laki dengan baju putih dan sarung maroon menghampiri mereka “Assalamualaikum”. “waalaikum salam, eh kak fahri, tadi yang jadi imam solat siapa ? suaranya bagus, bacaannya tepat, mantap deh pokoknya” jawab Meidi. Fahri tersenyum “ Meidi, kakak mau ngobrol sama teman kamu boleh?”. “oh iya kak silakan, Fa, aku tunggu di bawah ya, Assalamualaikum”. “waalaikum salam” jawab Fafa dan Fahri. Jantung Fafa berdegup kencang, wajahnya mulai memerah menambah keanggunan wajahnya. Obrolan terjadi sekitar lima menit di antara mereka berdua, perkenalan pun terjadi dalam obrolan itu “ ya udah gitu aja dek Fafa, sekali lagi maaf ya”. Fafa memberikan senyum manisnya “tidak apa-apa kak. O ya Suara kakak bagus, ngajinya juga bagus. aku suka mendengarnya kak. Permisi kak. Assalamualaikum”. Semua yang terjadi hari ini tidak ingin Fafa lewati begitu saja. Ia mendokumentasikan hari ini dalam buku hariannya.
“ Allah, siang tadi engkau mempertemukan kami dengan cara yang cukup menyakitkan, namun malam ini Engkau pertemukan kami dengan cara yang begitu indah. Allah betapa sempurnanya ciptaan Engkau, dia tampan, baik,dan juga sholeh.