Yang mendengar kemudian telah berpindah mendekati cermin, memberikan isyarat agar dia ikut berpindah ditempatnya berdiri. Sebuah sengiran tampil di rupanya dan membuat dia bertanya tentang maksud dari senyuman itu.
"Aku bisa tersenyum setiap hari,kapanpun aku mau, tanpa harus terlihat di cermin kan?"
"Tapi jika tak terlihat di cermin, apa gunanya kak?"
"Karena senyum ini akan berubah makna apabila yang melihatnya adalah mereka"
"Pernakah kau mencoba,kak?"
"Aku pernah, dan memperlihatkan diriku hanya untuk menuruti keinginan orang-orang hanya akan membuatku kecewa" dan yang berbicara ini mendapati kebingungan dia sehingga kemudian mencoba untuk membuat dirinya tampil didepan cermin. Namun, barangkali karena ini malam hari dan mungkin orang yang singgah mematut dirinya didepan cermin tak mendapatkan foto terbaik sebab diganggu oleh si yang berbicara, gawai itupun terjatuh dan sekali lagi pukulan telak begitu terasa bagi dia yang untuk pertama kalinya melihat rupa yang tertangkap pada tampilan layar gawai dari orang yang kini lari terbirit-birit.
Mungkin karena sesungguhnya tak ada yang benar-benar ingin melihat rupanya yang tersenyum muncul di cermin dan di dunia dalam gawai. Apalagi, dengan sepasang kaki telanjang yang langkahnya takkan pernah terdengar seperti orang-orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H