Hujan kerap menjadi tanda bahwa rindu sedemikian bermakna.
Ketika gerimisnya menusuk jantung-jantung ruang hampa bagai akupuntur pembuat awet muda meluruh bersama angin, disana seolah gaung hikayat sabil bersenandung dalam gejolak perang.
Semakin deras hingga alirannya menganak sungai menjadi oase bagi panasnya sabana yang mulai dirasa seluruh penjuru dunia.
Sambaran petir bagaikan blitz kamera yang tak ingin ketinggalan menangkap setiap moment kehidupan meski dalam scene penuh airmata sekalipun.
Dentuman halilintar apa kabar? Tetap sama seperti dahulu, kini dan nanti meski mungkin ia telah menghapus rindu yang mengalir bersama rintik-rintik yang tak lagi mampu diraba.
Â
Hujan dan malam selalu menyisakan pekat dan gelap.
Seperti secangkir kopi tanpa gula, pekat dan gelap meski aromanya selalu saja menggoda untuk diaduk.
Laksana pesta yang telah usai bersama kursi patah dan piring pecah.
Dan, berupa abu demi abu dari puing-puing kapal yang dibakar Thariq bin Ziyad.
Â