Mohon tunggu...
Fadiatur Rahmi
Fadiatur Rahmi Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan Aceh kelahiran Kota wisata Sabang. Sedari kecil sampai sekarang ia percaya bahwa Kakek buyutnya berasal dari India. saat ini tinggal dan menetap di Banda Aceh menggeluti hobinya cuap-cuap untuk memenuhi sistem kredit satuan sembari terkadang menarikan jemarinya diatas tuts-tuts keyboard hingga melarikan diri pada game-game asyik yang begitu mengusik untuk ditelisik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mengapa Rindu selalu Bertahta Ketika Hujan Mulai Menyapa?

28 Maret 2016   00:31 Diperbarui: 28 Maret 2016   01:27 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Ilustrasi: kaysalady.wordpress.com"][/caption]Hujan acapkali tersemat bersama rindu

Pada tiap-tiap tetesannya seumpama undangan untuk menghadiri makan malam bagi perut-perut kerontang yang belum diisi sejak kemarin siang.

Bulir-bulirnya laksana panah Sa’ad bin Abi Waqqash yang tepat menuju sasaran,

Hingga alam tak berkutik oleh dinginnya melodi malam dan riuhnya tarian hujan ala jelmaan pangeran tampan dalam dogeng pengantar tidur menjadi pelepas dahaga bagi kering kerongkongan.

 

Hujan menanti rindu, pun rindu menunggu hujan,

Seumpama kapal berlabuh setelah berlayar lima purnama.

Bak bidadari bertemu syuhada dalam bilik syurga.

Pun juga, saat seperti ikrar suci terucap dari lisan sang pencinta.

 

Hujan kerap menjadi tanda bahwa rindu sedemikian bermakna.

Ketika gerimisnya menusuk jantung-jantung ruang hampa bagai akupuntur pembuat awet muda meluruh bersama angin, disana seolah gaung hikayat sabil bersenandung dalam gejolak perang.

Semakin deras hingga alirannya menganak sungai menjadi oase bagi panasnya sabana yang mulai dirasa seluruh penjuru dunia.

Sambaran petir bagaikan blitz kamera yang tak ingin ketinggalan menangkap setiap moment kehidupan meski dalam scene penuh airmata sekalipun.

Dentuman halilintar apa kabar? Tetap sama seperti dahulu, kini dan nanti meski mungkin ia telah menghapus rindu yang mengalir bersama rintik-rintik yang tak lagi mampu diraba.

 

Hujan dan malam selalu menyisakan pekat dan gelap.

Seperti secangkir kopi tanpa gula, pekat dan gelap meski aromanya selalu saja menggoda untuk diaduk.

Laksana pesta yang telah usai bersama kursi patah dan piring pecah.

Dan, berupa abu demi abu dari puing-puing kapal yang dibakar Thariq bin Ziyad.

 

Hujan dan rindu selalu saja seirama meski tak diinginkan bersama, seperti penyair yang kehilangan kata-kata, atau penulis yang kehabisan tinta.

Hujan dan rindu seringkali digandeng dalam satu cerita, seperti Rama dan Shinta yang menjadi legenda, atau seperti romeo dan juliet yang tak pernah bersama hingga kematian menyapa.

 

Lalu, apakah yang tersisa dari hujan semalam?

Hanya aku, kamu dan kenangan tentang rindu yang mungkin pernah kita dan juga mereka rasa.

 

hujan di malam penghujung Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun