Ibarat makan buah simalakama, demikian peribahasa yang cocok disematkan untuk Pilkada Serentak 2020. Jika digelar berpotensi menyumbang klaster baru pengidap Covid 19 dan jika ditunda akan kehilangan momentum memperbaiki sendi ekonomi, sosial, politik bahkan aspek peningkatan kesadaran kesehatan masyarakat.Â
Dilematis ya, tetapi pertimbangan pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu melanjutkan gelaran pesta demokrasi lokal patut dihormati. Ketegasan pemerintah untuk terus melanjutkan tahapan pemilukada perlu didukung meskipun masih banyak elemen bangsa yang menolak.Â
Wajar, sebab gelaran Pilkada kali ini tidak seperti Pilkada sebelumnya. Pilkada serentak 2020 barangkali merupakan yang pertama kali digelar di tengah kondisi wabah penyakit yang mudah menular dan mematikan.Â
Apalagi, aturan main yang dikeluarkan penyelenggara pemilu (KPU) berupa peraturan yang memaksa peserta pemilu tunduk pada protokol kesehatan dinilai kurang berenergi dan berkekuatan super tangguh untuk menghentikan berbagai pelanggaran di lapangan.Â
Di tambah minimnya inovasi dari tim sukses paslon dalam berkampanye dan menyampaikan visi misi calon yang diusung, praktis hanya berkutat pada bentuk tatap muka langsung dengan masyarakat, konser, rapat akbar ataupun arak-arakan. Â
Sehingga, keraguan sejumlah elemen bangsa akan kesuksesan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemik semakin menguatkan argumentasi untuk segera ditunda. Belum lagi kekhawatiran angka golput yang diprediksi bakal meningkat lantaran minimnya jaminan keamanan atas penularan Covid.Â
Pilkada Sukses, Masyarakat Sehat
Pilkada serentak 2020 telah memasuki tahapan masa kampanye, terhitung sejak 26 September hingga 5 Desember 2020 mendatang daerah yang menggelar pemilihan akan ramai dan disesakkan aktifitas sosialisasi visi misi pasangan calon.
Tahap ini termasuk paling krusial selain pencoblosan di TPS, karena dinilai akan terjadi pengepushan massa besar-besaran untuk mendukung aktifitas tersebut. Alhasil, potensi pelanggaran protokol kesehatan sebagai ujung tombak pencegahan penularan Covid akan semakin terbuka lebar.Â
Untuk itulah perlu ada sanksi tegas, tidak multitafsir dan berefek jera bagi peserta pemilukada dalam rangka mengurangi dampak penyebaran Covid 19. Peraturan KPU (PKPU) nomor 11 dan 13 Tahun 2020 dirasa masih lemah dalam hal memberikan sanksi kepada peserta pemilu yang melanggar protokol kesehatan karena hanya bersifat imbauan. Begitu juga Maklumat Kapolri soal penanganan Covid di masa Pilkada Serentak 2020.Â
Ketidaktegasan aturan main ini dikwatirkan akan berdampak terulangnya pelanggaran di lapangan. Alhasil, bukan hanya menyumbang penyebaran Covid tetapi juga ikut melemahkan aturan yang dibuat oleh penyelenggara pemilu.
Sinergitas dan koordinasi seluruh stakeholder yang berkepentingan memang sudah diatur dalam penanganan Pilkada Serentak di masa sulit ini. Tetapi lemahnya penindakan di lapangan membuat aturan yang dikeluarkan seolah-olah tak berarti.Â
Kerumunan massa, disiplin bermasker dan jaga jarak masih saja diabaikan peserta pemilu. Dilematis juga, sebab sanksi penindakan tegas berupa diskualifikasi tidak diatur oleh payung hukum yang ada. Maklum ini pertama kali Pilkada dalam keadaan pandemik.Â
Pemidanaan bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan juga dirasa sulit dilakukan lantaran tarik menarik kepentingan yang cukup besar. Boro-boro mempidanakan peserta pemilukada, justeru Polri bisa dituduh ikut terlibat dalam tarik-tarikan itu.Â
Karenanya, butuh kesadaran mutlak dari peserta pemilu untuk selalu menerapkan protkes ketat saat mengikuti tahap demi tahap proses pemilukada.Â
Argumentasi Pilkada Berlanjut
Penyebaran Covid 19 di tanah air terus mengalami peningkatan signifikan setelah terdeteksi pada awal Maret 2020 lalu. Hingga kini, virus yang berasal dari Wuhan-Cina itu telah menginfeksi sekitar 300.000 orang yang tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara.
Meskipun terus mengalami grafik peningkatan, pemerintah mengaku masih pada tahap terkendali dan memutuskan untuk tetap menggelar Pilkada serentak di 270 lokasi.Â
Reaksi penolakanpun muncul dari berbagai elemen bangsa dengan argumentasi yang bermacam-macam. Alasan kemanusian menjadi pokok argumen. Dengan menggelar Pilkada potensi ancaman kesehatan bahkan nyawa semakin besar lantaran Pilkada dinilai akan memunculkan kerumunan orang yang menjadi salah satu episentrum penyebaran Covid.Â
Menilai hal tersebut, penulis berpendapat argumentasi kemanusian, ancaman kesehatan dan nyawa terbantahkan ketika pemerintah bersama steakholder pemilukada mampu menjalankan aturan protokol kesehatan yang baik di lapangan.Â
Argumen ini bukan berarti mengabaikan keselamatan masyarakat, tetapi lebih kepada ikhtiar yang tepat daripada berdiam diri dalam ketidakpastian berakhirnya Covid 19.
Dengan pelaksanaan aturan berikut penindakan yang tegas juga pemerintah dan penyelenggara Pilkada telah memberi rasa aman bagi pemilih untuk datang ke TPS dan melakukan pencoblosan pada hari H. Itung-itung akan menekan angka Golput karena faktor psikologis.Â
Selanjutnya, faktor momentum yang perlu dimanfaatkan bagi peserta dan pemilih. Pilkada serentak kali ini harus menjadi momentum bagi pemilih untuk memilih pemimpin yang betul-betul memiliki kapabilitas yang kuat dalam hal menuntaskan masalah terkini.Â
Dalam konteks itu, pemilih tidak hanya butuh figur pemimpin yang jujur, aspiratif dan merakyat, tetapi juga pemimpin yang mampu menuntaskan persoalan Covid berikut dampaknya.Â
Terakhir, Pilkada Serentak menjadi wadah sosialisasi yang masif kepada akar rumput terkait protokol kesehatan guna memutus mata rantai penyebaran Covid 19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H