Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pindah Ibu Kota, Bukan Hal Baru di Indonesia

28 Agustus 2019   23:33 Diperbarui: 30 Agustus 2019   02:46 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keraton Surakarta Hadiningrat (Collectie Tropen Museum)

Presiden Joko Widodo akhirnya mantap mengumumkan perpindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Ada dua wilayah yang dipilih sebagai ibu kota baru, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Konon, 1,5 juta penduduk akan menempati area seluas 300.000 hektare ini.

Keputusan ini lantas mengundang pro kontra sejumlah kalangan. Meski demikian, Presiden menyebut jika rencana pemindahan ibu kota telah melewati sejumlah studi yang mendalam. Dilansir dari Kompas.com, setidaknya ada empat alasan mengapa ibu kota negara perlu dipindah ke luar Jawa.

Pertama, lebih dari separuh masyarakat Indonesia (56,56 persen) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Rasio ini tidak sepadan dengan pulau lain --minus Sumatera- yang rata-rata berpenduduk kurang dari  10 persen.

Kedua, perlunya kontribusi ekonomi dari daerah luar Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB). Ketiga, makin menipisnya ketersediaan air bersih di Jawa, dan keempat, konversi lahan di Jawa yang begitu mendominasi ketimbang pulau-pulau lainnya.

Kondisi ini masih ditambah lagi dengan padatnya ibu kota plus kondisi udara yang makin tidak sehat. Seperti yang disebutkan dalam Laporan Oxford Economics berjudul "Global Cities 2018" bahwa pada 2035, Jakarta akan menjadi kota dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yakni 38 juta jiwa. Kepadatan penduduk di Jakarta diprediksi bakal melampaui ibu kota negara lainnya di Asia.

Di satu sisi, perpindahan ibu kota dipandang sebagai sebuah langkah yang sia-sia. Muncul anggapan jika perpindahan ibu kota negara melegitimasi kegagalan pemerintah dalam membereskan persoalan-persoalan di dalamnya.

Terlebih pada situasi ekonomi seperti sekarang, anggaran untuk mensejahterakan negara dinilai lebih penting ketimbang memikirkan biaya yang musti dihitung untuk "bedol desa". Namun di sisi lain, perpindahan ibu kota negara atau pusat pemerintahan ke daerah yang lain sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum republik ini berdiri.

Adalah Kerajaan Mataram Islam yang pernah memindahkan pusat pemerintahannya dari Kartasura ke Surakarta. Peristiwa ini terjadi pada 17 Muharram 1670 atau tahun 1745 Masehi.

Perpindahan tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang turun temurun pada masa Jawa Kuna, bahwa keraton yang pernah jatuh ke tangan musuh dianggap sudah rusak, tidak murni dan kehilangan kesakralannya sehingga sudah tidak bagus untuk dipergunakan lagi.

Patokan ini pernah digunakan saat pusat pemerintahan keraton Mataram Kuna dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Saat itu berlangsung krisis politik antara tahun 927-929 Masehi yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan antarpangeran di bawah pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Baliltung Dharmodaya Mahasambu.

Demikian halnya yang terjadi pada Kerajaan Mataram Islam. Pascaserangan yang terjadi di keraton Mataram di kawasan Plered, Sunan Amangkurat II mengutus sejumlah tokoh untuk menentukan lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Tiga daerah diusulkan sebagai calon ibu kota baru: Logender, Tingkir, dan Wanakerta.

Berkat masukan sesepuh Mataram, akhirnya dipilihlan Wanakerta sebagai ibu kota yang baru, dengan catatan agar rancangan keraton baru mengikuti pola keraton Plered.

Ibu kota baru yang kemudian berganti nama menjadi "Kartasura Hadiningrat" itu mampu bertahan selama 23 tahun, sebelum akhirnya kembali dijebol oleh sejumlah pemberontakan. Baru pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana II (1725-1749), keraton Mataram Islam dipindahkan ke Surakarta, tepatnya di Desa Sala.

Keraton Surakarta Hadiningrat (Collectie Tropen Museum)
Keraton Surakarta Hadiningrat (Collectie Tropen Museum)

Penetapan Desa Sala sebagai lokasi keraton baru melalui sejumlah pertimbangan. Dikutip dari "Segi Kultural Relijius Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta" tulisan Sarmino dan Husain Haikal (2001), ada enam alasan mengapa Desa Sala dianggap tepat menggantikan Wanakerta. Selain alasan relijius, tiga di antaranya lebih menitikberatkan pada alasan sosial politik dan ekonomi.

Pertama, Desa Sala terletak dekat dengan bengawan yang berfungsi sebagai penghubung untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. 

Kedua, karena Desa Sala telah menjadi desa, maka tidak diperlukan lagi tenaga untuk "babat alas". Ketiga, Desa Sala sebagai ibu kota baru mudah diakses dari Semarang sebagai pintu gerbang kerajaan Mataram, sehingga kebijakan Batavia yang ditetapkan pada 1705 dapat dilaksanakan dengan mudah.

Pelabuhan Semarang Tempo Dulu
Pelabuhan Semarang Tempo Dulu

Kini, saat Kepala Negara menyodorkan rencana perpindahan ibu kota, ada baiknya kejadian bersejarah di masa lalu menjadi pengingat agar kita tidak mudah tersengat. Pepatah berkata, "masa lalu yang buruk akan memberimu pelajaran untuk menata di masa depan.

Sejarah yang buruk akan memberimu pelajaran bagaimana menata dunia ini". Jika memang Jakarta harus rela menanggalkan predikat sebagai ibu kota negara, sebagai penutup, ada baiknya saya kutipkan tulisan dari Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya, "Nusantara Sejarah Indonesia" sebagai berikut:

"Pada 1732 Batavia mendapat pukulan berat yang menyebabkan keadaannya menurun selama seabad berikut.... Angka kematian naik sampai ke tingkat yang mengerikan, dan tetap tinggi sampai abad berikut.... Dari gejala penyakit tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa wabah itu adalah malaria, tapi tidak bisa dijelaskan mengapa penyakit itu muncul begitu tiba-tiba.... Batavia, yang pernah jadi mutiara diantara permukiman Eropa di Timur, mendapatkan reputasi sebagai salah satu tempat paling tidak sehat di bumi. "Kematian tidak berarti apa-apa di sini," kata James Cook ketika dia tinggal di Batavia pada 1770..... Bisa dimengerti kalau bagian-bagian Batavia lama menjadi makin terabaikan setiap tahun, sampai-sampai seorang profesor Jerman terpelajar pada awal abad ke-19 dapat ilham untuk meramal: "Karena tidak ada kegiatan perbaikan, Batavia tidak akan bertahan lama".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun