Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pindah Ibu Kota, Bukan Hal Baru di Indonesia

28 Agustus 2019   23:33 Diperbarui: 30 Agustus 2019   02:46 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keraton Surakarta Hadiningrat (Collectie Tropen Museum)

Demikian halnya yang terjadi pada Kerajaan Mataram Islam. Pascaserangan yang terjadi di keraton Mataram di kawasan Plered, Sunan Amangkurat II mengutus sejumlah tokoh untuk menentukan lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Tiga daerah diusulkan sebagai calon ibu kota baru: Logender, Tingkir, dan Wanakerta.

Berkat masukan sesepuh Mataram, akhirnya dipilihlan Wanakerta sebagai ibu kota yang baru, dengan catatan agar rancangan keraton baru mengikuti pola keraton Plered.

Ibu kota baru yang kemudian berganti nama menjadi "Kartasura Hadiningrat" itu mampu bertahan selama 23 tahun, sebelum akhirnya kembali dijebol oleh sejumlah pemberontakan. Baru pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana II (1725-1749), keraton Mataram Islam dipindahkan ke Surakarta, tepatnya di Desa Sala.

Keraton Surakarta Hadiningrat (Collectie Tropen Museum)
Keraton Surakarta Hadiningrat (Collectie Tropen Museum)

Penetapan Desa Sala sebagai lokasi keraton baru melalui sejumlah pertimbangan. Dikutip dari "Segi Kultural Relijius Perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta" tulisan Sarmino dan Husain Haikal (2001), ada enam alasan mengapa Desa Sala dianggap tepat menggantikan Wanakerta. Selain alasan relijius, tiga di antaranya lebih menitikberatkan pada alasan sosial politik dan ekonomi.

Pertama, Desa Sala terletak dekat dengan bengawan yang berfungsi sebagai penghubung untuk berbagai kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer. 

Kedua, karena Desa Sala telah menjadi desa, maka tidak diperlukan lagi tenaga untuk "babat alas". Ketiga, Desa Sala sebagai ibu kota baru mudah diakses dari Semarang sebagai pintu gerbang kerajaan Mataram, sehingga kebijakan Batavia yang ditetapkan pada 1705 dapat dilaksanakan dengan mudah.

Pelabuhan Semarang Tempo Dulu
Pelabuhan Semarang Tempo Dulu

Kini, saat Kepala Negara menyodorkan rencana perpindahan ibu kota, ada baiknya kejadian bersejarah di masa lalu menjadi pengingat agar kita tidak mudah tersengat. Pepatah berkata, "masa lalu yang buruk akan memberimu pelajaran untuk menata di masa depan.

Sejarah yang buruk akan memberimu pelajaran bagaimana menata dunia ini". Jika memang Jakarta harus rela menanggalkan predikat sebagai ibu kota negara, sebagai penutup, ada baiknya saya kutipkan tulisan dari Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya, "Nusantara Sejarah Indonesia" sebagai berikut:

"Pada 1732 Batavia mendapat pukulan berat yang menyebabkan keadaannya menurun selama seabad berikut.... Angka kematian naik sampai ke tingkat yang mengerikan, dan tetap tinggi sampai abad berikut.... Dari gejala penyakit tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa wabah itu adalah malaria, tapi tidak bisa dijelaskan mengapa penyakit itu muncul begitu tiba-tiba.... Batavia, yang pernah jadi mutiara diantara permukiman Eropa di Timur, mendapatkan reputasi sebagai salah satu tempat paling tidak sehat di bumi. "Kematian tidak berarti apa-apa di sini," kata James Cook ketika dia tinggal di Batavia pada 1770..... Bisa dimengerti kalau bagian-bagian Batavia lama menjadi makin terabaikan setiap tahun, sampai-sampai seorang profesor Jerman terpelajar pada awal abad ke-19 dapat ilham untuk meramal: "Karena tidak ada kegiatan perbaikan, Batavia tidak akan bertahan lama".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun