Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ke Dunia, Kusuarakan Indonesia

19 Agustus 2017   14:49 Diperbarui: 19 Agustus 2017   16:16 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (berdiri, berbatik hijau), bersama utusan negara-negara Asia Tenggara. (Foto: Dokumen Pribadi)

Tidak pernah terbayang, dan tidak ada bayangan dalam benak saya untuk mengusung nama Indonesia dalam pergaulan di kancah internasional. Awalannya sederhana saja. Pada medio 2013, saya terkesima dengan seorang diaspora Indonesia yang mengibarkan namanya di benua biru sana. Sebelumnya saya juga pernah mendengar namanya, namun tak mencermati sepak terjangnya yang melegenda. Di negeri ini, ia dipanggil Anggun C. Sasmi. 

Namun di luar negeri sana, ia lebih populer dengan nama depannya saja: Anggun. Malahan ada juga yang menulisnya "Angunn" atau "Anguun". Berulangkali membaca kisah titian karirnya hingga menoreh prestasi yang tidak bisa, berulangkali pula saya menggumam kagum: "Dia Indonesia! Dia bisa!"

Dari sanalah saya ingin mencoba peruntungan sepertinya. Tak muluk-muluk, minimal bisa bertemu dengan kawan dari negara-negara di Asia. Saya mulai rajin mengirimkan tulisan berbahasa Inggris yang menceritakan keindahan kultur Indonesia ke berbagai kementerian, seperti Denmark, Swedia, maupun Belanda. Kagumnya, email-email itu tidak ada yang luput dari public relationmereka. Saya seringkali mendapatkan balasan ucapan terima kasih, serta informasi seputar beasiswa yang bisa saya raih untuk belajar di negara mereka. Wow!

Sambutan ramah ini mendorong saya untuk lebih jauh menelusur seluk beluk ranah mancanegara. Gayung bersambut, saya berulangkali diminta hadir dalam seminar internasional yang dihadiri cendekiawan negeri tetangga. Rasa bangga dan terhormat saya berada di ubun-ubun ketika duduk berdiskusi bersama dengan Sita van Bemmelen, seorang dari negeri Belanda yang punya perhatian tinggi pada Indonesia. (Bagaimana saya tidak bangga? Ia memberi saya ucapan selamat ulang tahun tepat pada hari dirgahayu saya!)

Beberapa bulan kemudian tawaran datang untuk menghadiri forum Trip to Historical Site for ASEAN Unity. Saya diminta sebagai ketua delegasi Indonesia. Ini pertama kalinya saya berbicara di forum internasional. Tak cuma berdiskusi dengan sejumlah delegasi Asia Tenggara, saya juga tampil bernyanyi di hadapan tamu-tamu tersebut. 

Dan kesan yang saya tangkap: jangan pernah ragu memulai pembicaraan dengan warga negara asing. Seburuk apapun kemampuanmu berbahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya), mereka tetap menaruh respectyang tinggi. Dari perbincangan dengan berbagai utusan negara-negara se-Asia Tenggara itu, kami punya hubungan baik sampai hari ini. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai dosen Arkeologi di Silpakorn University Thailand, Kementerian Pariwisata di Kamboja, serta Kementerian Pelancongan di Malaysia. Perbincangan dengan mereka selalu saja menarik. Ada topik-topik terbaru yang bisa kami bincangkan. Pelestarian cagar budaya, adat di berbagai negara, sampai situasi politik terkini. 

Melalui pergaulan dengan banyak rekan-rekan baru di Asia Tenggara ini setidaknya membuat saya harus membuka lebih banyak sejarah masa lampau. Sebab, di fase globalisasi seperti sekarang, kabar-kabar miring dan berita dusta mudah beredar tanpa konfirmasi. Termasuk hingar bingar saling klaim yang sempat mengemuka. Batik, misalnya. Produk intangible heritageini pernah memicu amarah bangsa saat Malaysia pernah menyebut batik berasal dari negaranya. Mungkin ini saatnya kaum muda kembali membuka catatan perjalanan bangsa dan menjadikan idiom "buku jendela dunia" tak lagi sebagai sesanti semata. Tahukah, pada tahun 1950-an, di saat batik merajai industri di Indonesia, batik mulai diekspor besar-besaran ke berbagai negara, tak terkecuali Malaysia. 

Di negara Petronas itu, batik bukan sekadar hadir dalam wujud fisik, namun juga dalam wujud perajin. Walhasil, dalam hipotesis saya, akan muncul pula pengembangan motif dan pola yang disesuaikan dengan budaya setempat. Jangankan batik di Malaysia. Batik yang diproduksi di wilayah pesisir dan wilayah keraton juga memiliki perbedaan motif dan warna. Kisah lain, saya mengambil contoh Thailand. Ibu Praon, dosen arkeologi di sana, sempat terperanjat ketika mencermati cagar budaya peninggalan masa Hindu-Buddha di Trowulan. Menurutnya, apa yang pernah diproduksi kerajaan di Nusantara pada masanya, memiliki kesamaan dengan Thailand. 

Dalam hal ragam hias, corak, maupun bentuk, tentu antara Indonesia dengan Thailand bisa saja memiliki kemiripan karena sama-sama mempunyai akar budaya yang sama. Itu sebab, dalam pergaulan internasional, penting untuk mengambil jarak dengan ego pribadi dan mengutamakan pengayaan wawasan.

Say Hi dengan Benua Lainnya

Selepas berdialog dengan teman-teman baru dari Asia Tenggara, saya kembali mencoba peruntungan baru untuk duduk satu meja dengan warga belahan dunia lainnya. Kesempatan berikutnya datang dari World Craft Council Asia-Pacific. Bersama dengan Sangam (platform pelestarian seni dunia khususnya tekstil), mereka menyelenggarakan diskusi seputar batik di Indonesia. Saya bersyukur karena bisa memenuhi undangan tersebut. Dalam kesempatan itu, saya berjumpa dengan designer asal Australia yang wara-wiri di Paris Fashion Week, Carla van Lunn dan Sara Thorn. Plus,Direktur World Craft Council Asia Pacific saat itu, Kevin Murray. 

Dari pertemuan ini, yang membuat saya terkesan adalah, bagaimana mungkin warga negara asing amat mencintai batik dan bersemangat menginovasi batik melalui ragam produk yang tak monoton. Dari Lunn, saya banyak memperoleh masukan bermanfaat untuk mensosialisasikan produk-produk lokal Indonesia ke mancanegara melalui website atau blog. Apa yang disampaikan bukan sekadar keindahannya, namun juga cerita di baliknya serta proses pembuatannya. Sebab, produk budaya di Tanah Air selalu memiliki nilai filosofi yang tinggi. Tentu kita tak ingin nilai-nilai yang baik ini hilang tanpa bekas.

Bersama Carla van Lunn (tengah) dan Sara Thorn. (Dokumentasi Pribadi)
Bersama Carla van Lunn (tengah) dan Sara Thorn. (Dokumentasi Pribadi)
Perjalanan mengenal kawan-kawan baru dari berbagai negara pun berlanjut. Saya ingin merajut kehangatan dengan negeri dari benua biru. Saya yang menyukai detail fashionmencoba membuat akun baru di Asos Fashion Finder yang berbasis di UK. Dari sana saya mempunyai kawan-kawan baru yang memiliki minat di bidang yang sama. Dari Italia, dari Inggris, maupun Perancis. Berangsur-angsur saya makin mudah memiliki teman baru dari negeri-negeri itu. Karena saya suka menulis, maka saat ini saya juga bersahabat dengan seorang yang memiliki minat sama di bidang kepenulisan, namanya Kevin Burke. Ia warga negara Inggris. 

Di malam-malam yang semestinya memasuki jam tidur orang Indonesia, kami beberapa kali menanyakan "sejauh mana perkembangan tulisan terbarumu?". Perbedaan waktu yang cukup tajam antara Indonesia dengan negara-negara lain cukup membuat saya ekstra kuat menahan kantuk!

Selain Kevin Burke, saya mencoba menuangkan ide saya melalui blog asal Perancis. Di Atelier des Medias RFI, saya bergabung. Saya pernah mengulas album baru Anggun, serta mengabarkan situasi Indonesia pascaledakan bom Sarinah. Uniknya, kawan saya yang berasal dari Italia, Paoloi Marongiu, ternyata sangat updatedengan kabar-kabar terbaru dari mancanegara termasuk Indonesia. Alhasil, saya sempat dibuat malu gara-gara ulah oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang menyebabkan kebakaran hutan. Dia menanyakan soal kabut asap kepada saya!

Selain Kevin dan Paolo, saya bersyukur, bangsa kita tidak dipandang sebelah mata oleh teman-teman warga negara lainnya. Sebagaimana termahsyurnya Indonesia dengan sopan santun dan keramahtamahannya, itu pula yang saya lakukan manakala bergaul dengan mereka. Ada cultural shock, namun guncangan itu tak berlangsung lama. Sebab bangsa kita sudah lama terkenal sebagai bangsa yang akomodatif dan mau menerima perbedaan tanpa riak-riak yang berarti. 

Saya masih ingin mengenalkan keindahan bumi pertiwi kepada lebih banyak negara. Saat ini saya bergabung dengan Inkitt, sebuah platform asal Berlin, Jerman, yang mengakomodasi tulisan-tulisan seperti cerita pendek dan penerbitan novel. Bersamanya, saya ingin membawa keindahan kultur negeri ini dalam bingkai sebuah cerita. Barangkali ini cita-cita besar saya di usia Indonesia yang ke-72. Selain Inkitt, tercatat Almond Press asal Skotlandia yang masuk dalam daftar penerbit impian saya. Mimpi-mimpi saya itu semoga tidak sekadar menjadi mimpi, mengingat canggihnya era teknologi di masa kini.

Saya punya misi yang sepertinya agak aneh bagi orang kebanyakan. Saya tidak ingin pergi ke luar negeri tanpa membawa karya. Karya yang menunjukkan indahnya Indonesia. Karya yang mampu memahat senyum bagi mereka yang membacanya. Dari sini, akan kusuarakan megahmu, Indonesiaku!

- Hey, orang Perancis pun penasaran saat saya pameri nasi Padang plus rendang. Itu makanan kegemaran kami, bung. Hahaha!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun