Pengertian Akad Syariah
 Akad syariah adalah kesepakatan yang mengikat secara hukum berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam transaksi muamalah. Akad ini harus memenuhi rukun dan syarat tertentu, seperti adanya pihak yang berakad, objek akad yang jelas, dan ijab kabul (shighat) yang menunjukkan kesepakatan. Dalam konteks lembaga keuangan syariah, akad digunakan sebagai dasar hukum dan operasional dalam transaksi keuangan. Misalnya, akad mudharabah merupakan kerja sama antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib) untuk usaha produktif, sedangkan akad musyarakah adalah kemitraan antara dua pihak atau lebih yang sama-sama memberikan kontribusi modal untuk usaha tertentu.Â
Pengertian Deposito Berjangka dalam Bank Syariah.
Deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank. Dalam konteks perbankan syariah, deposito berjangka biasanya menggunakan akad mudharabah, di mana nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan bank sebagai pengelola dana (mudharib). Keuntungan yang diperoleh dari investasi dana tersebut dibagi berdasarkan nisbah (rasio bagi hasil) yang telah disepakati. Namun, deposito ini tidak dapat dicairkan sebelum jatuh tempo kecuali dengan konsekuensi denda atau penalti.Â
Mekanisme Akad Mudharabah dalam Deposito Syariah
Dalam akad mudharabah, nasabah menyerahkan dana kepada bank untuk dikelola dalam kegiatan usaha yang sesuai dengan prinsip syariah. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan dana tersebut dibagi antara bank dan nasabah berdasarkan nisbah bagi hasil yang disepakati di awal perjanjian. Sebaliknya, jika terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian finansial, kecuali jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan bank. Selain itu, mekanisme akad mudharabah pada bank syariah di Indonesia dijalankan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan kehati-hatian dalam mengelola dana nasabah. Hal ini mencakup pemilihan investasi yang sesuai dengan prinsip syariah, pengawasan yang ketat, dan transparansi dalam pelaporan kepada nasabah. Dengan demikian, bank syariah berupaya untuk menjaga kepercayaan nasabah dan memastikan bahwa pengelolaan dana dilakukan secara profesional.
Permasalahan
implementasi akuntansi syariah di lembaga keuangan bukan berarti tanpa kendala permasalahan utamanya adalah kurangnya SDM yang mumpuni dalam bidang akuntansi syariah. Minimnya tenaga profesional yang memahami prinsip-prinsip syariah dan akuntansi secara mendalam mengakibatkan penerapan standar akuntansi syariah tidak optimal. Selain itu, sistem pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah yang belum optimal menambah kompleksitas dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.Â
ketergantungan pada suku bunga konvensional juga menjadi hambatan karena beberapa di antaranya masih menggunakan suku bunga konvensional sebagai acuan dalam menentukan margin atau nisbah bagi hasil. Praktik ini menimbulkan kontroversi karena dianggap menyimpang dari prinsip syariah yang seharusnya bebas dari unsur riba. Beberapa pihak berpendapat bahwa penggunaan suku bunga sebagai patokan dalam penentuan margin di bank syariah hanya merupakan kamuflase istilah, di mana hakikatnya tetap menggunakan konsep bunga yang diharamkan dalam Islam. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap kesesuaian praktik tersebut dengan prinsip syariah yang seharusnya diterapkan secara murni dalam operasional bank syariah.Â
Dasar fatwa ulama
Fatwa ulama melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan penting dalam memberikan panduan bagi operasional lembaga keuangan syariah. Fatwa-fatwa ini berdasarkan kajian mendalam terhadap Al-Quran, Hadis, dan ijtihad ulama, sehingga menjadi pedoman hukum yang kuat. fatwa ulama juga berguna untuk memastikan semua transaksi yang ada dalam lembaga keuangan syariah sesuai tuntunan agama. beberapa fatwa yang relevan dalam konteks akuntansi dan operasional lembaga keuangan syariah:Â
Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah: Menjelaskan bahwa keuntungan harus dibagi berdasarkan hasil usaha yang sebenarnya, bukan berdasarkan pokok modal.
Fatwa DSN-MUI No. 115/DSN-MUI/IX/2017: Mengatur tentang mekanisme bagi hasil yang sesuai dengan syariat, melarang penggunaan suku bunga sebagai dasar perhitungan nisbah.
 fatwa-fatwa tersebut memberikan panduan tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam transaksi keuangan syariah.
standar akuntansi syariah
Akad mudharabah dalam konteks keuangan syariah diatur dalam PSAK 105 (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah tentang Akuntansi Mudharabah). PSAK ini menjelaskan prinsip-prinsip pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan terkait transaksi mudharabah. Standar ini mengatur bagaimana keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan nisbah antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib), serta bagaimana kerugian dibebankan sesuai peran masing-masing pihak, kecuali terjadi kelalaian atau penyimpangan. PSAK 105 juga menegaskan bahwa pencatatan harus transparan dan mencerminkan kinerja usaha secara akurat.
Deposito syariah, yang sering menggunakan skema akad mudharabah, juga diatur melalui PSAK 105 karena prinsipnya melibatkan kerja sama bagi hasil antara deposan dan bank syariah. Selain itu, standar lain seperti PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah memberikan panduan umum untuk pelaporan dana nasabah. Dalam praktiknya, penerapan standar ini sering mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), seperti Fatwa DSN-MUI No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito Syariah dan Fatwa DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah, yang menegaskan pentingnya menghindari riba dan menjaga prinsip keadilan dalam pembagian hasil usaha.
Analisis
Akad mudharabah dan deposito syariah merupakan instrumen penting dalam keuangan Islam, yang mendasarkan operasionalnya pada prinsip bagi hasil. Dalam PSAK 105, diatur bahwa keuntungan dalam akad mudharabah harus dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sementara kerugian sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik modal, kecuali jika disebabkan oleh kelalaian pengelola. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan dan transparansi yang menjadi inti dari keuangan syariah. Namun, implementasi di lapangan sering kali masih menghadapi tantangan, seperti kurangnya pemahaman terhadap konsep ini oleh sebagian besar masyarakat dan praktik bank yang masih bergantung pada benchmark suku bunga konvensional.
Ketergantungan pada suku bunga konvensional sebagai acuan dalam penentuan nisbah bagi hasil menimbulkan kontroversi. Praktik ini dianggap menyimpang dari esensi syariah yang melarang riba, meskipun beberapa pihak berargumen bahwa suku bunga hanya digunakan sebagai alat perbandingan. Ketidakkonsistenan ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap keuangan syariah. Selain itu, transparansi dalam penghitungan dan pelaporan bagi hasil sering kali menjadi masalah, terutama jika informasi yang diberikan kepada nasabah tidak mencerminkan prinsip keterbukaan sebagaimana diatur dalam PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah.
Untuk meningkatkan implementasi yang sesuai dengan syariah, lembaga keuangan syariah harus mengembangkan metode penentuan nisbah bagi hasil yang mandiri, tanpa bergantung pada sistem konvensional. Edukasi kepada masyarakat juga sangat penting untuk meningkatkan literasi keuangan syariah, sehingga nasabah memahami prinsip-prinsip syariah yang membedakan dengan sistem konvensional. Selain itu, regulator seperti OJK perlu mengawasi penerapan standar akuntansi syariah secara ketat dan konsisten. Dengan langkah-langkah ini, akad mudharabah dan deposito syariah dapat menjadi instrumen yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan dan transparansi dalam keuangan Islam.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi tantangan dalam implementasi akad mudharabah dan deposito syariah, diperlukan beberapa langkah strategis. Lembaga keuangan syariah perlu mengembangkan metode penentuan nisbah bagi hasil yang mandiri dan sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah, tanpa bergantung pada suku bunga konvensional. Selain itu, edukasi dan literasi keuangan syariah harus ditingkatkan agar masyarakat memahami perbedaan mendasar antara sistem syariah dan konvensional, termasuk keuntungan dan risiko dalam akad bagi hasil. Regulator seperti OJK juga harus memperkuat pengawasan dan memastikan konsistensi penerapan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK 105 dan PSAK 101) di seluruh lembaga keuangan syariah. Transparansi dalam pelaporan keuangan juga harus ditingkatkan, dengan menyediakan informasi yang mudah dipahami oleh nasabah. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan syariah dan memperkuat perannya dalam perekonomian.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H