Mohon tunggu...
Fadhil Asqar
Fadhil Asqar Mohon Tunggu... profesional -

Ayah Rumah Tangga Penuh Waktu. Blogger, graphic designer, & penulis paruh waktu. Kadang-kadang jadi trainer, kalau ada waktu.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ketika Berfikir tentang Indonesia di Masa Dulu Saya

22 April 2011   05:02 Diperbarui: 14 Agustus 2015   16:31 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Selamat Hari Kartini " sepotong status muncul di dinding Facebook saya. Dan tak lama seorang teman menggugat dalam statusnya, soal mengapa hanya Kartini saja. Baginya Kartini terlalu dibesar-besarkan, karena banyak pahlawan wanita lain yang juga memiliki pencapaian besar, namun tak diperingati hari khusus. Mulailah nama Tjut Njak 'Dhien, Nyi Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, dll bermunculan. Dan ditambah argumen pro dan kontra pada R.A Kartini. Sama seperti tahun-tahun kemarin. Dan biasanya selang seminggu kemudian hal ini pun memudar lagi, untuk kemudian dibahas (lagi) tahun depan.

Usai ber'FB' ria, saya mengambil buku '5 cm' karyanya Dhoni Dhirgantoro. Meluangkan waktu membacanya dan kemudian jadi merenung. Buku yang sarat motivasi dan nasionalisme ini seketika mengingatkan saya pada kenangan lama. Kenangan tentang Indonesia dimasa-masa SMP dan SMA. Saat itu memang masih Orde Baru, Daerah Operasi Militer (DOM) yg meninggalkan luka mendalam bagi banyak orang Aceh, masih berlaku.

Kenangan yg awal melintas adalah upacara bendera, dan jujur saya tidak pernah menikmatinya. Tapi saat itu rasanya punya nilai berbeda dalam memandang kata 'Bangsa Indonesia'. Rasanya ada bangga, rasanya nasionalime itu kuat. Apalagi kalau kebagian jadi yang membacakan Pembukaan UUD 1945, rasanya begitu kuat nilai kebanggaan bagi bangsa ini.

Walaupun entah mengapa, setiap pulang sekolah, ketika melintas dilapangan yg kosong, menyaksikan bendera merah putih berkibar, sendirian dipucuk tiang bendera. Seolah Sangsaka Merah Putih itu kesepian.

Lalu kenangan lainnya adalah pawai obor, pawai dimalam 16 agustus. Dimana setiap sekolah, SMP & SMA, berbaris dengan obor. Berderap seperti lomba baris-berbaris, melintas dijalan protokol kota, dengan menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu-lagu nasional. Lagi-lagi, saat itu nasionalisme berkumandang.

Disekeliling kami seolah ada gambar dari masa lalu ketika para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan. Walaupun tak memungkiri disitu juga menjadi ajang, mengertak sekolah lain. Saya ingat sebuah lagu yg dinyanyikan oleh SMA tetangga ...

minggir dong, minggir dong, minggir dong
sma negeri (sensor) mau lewat
orangnya kuat-kuat, tampangnya mantap-mantap
karena tiap hari makan coklat

Lagu yang lalu dijawab oleh barisan kami dengan lagu lain, hasil pengajaran seorang teman yg kebetulan tinggal di asrama/perumahan militer, besar kemungkinan lagu ini di'culik' dari sana ...

kuambil buluh sebatang, kujadikan penyamaran
wajah yang tampan, dirubah jadi buram
agar tak mudah dikenal
berlari, bertempur, SMA negeri (sensor) pantang mundur
walau beribu peluru yang menghambur
cukup dengan goyang pinggul

hehehehehehe, kenangan dan pengajaran dari teman bernama Sabar D. H. S :) Saling bersahutan, mengejek dan membela sekolah masing-masing. Namun suasana nasionalisme tetap kuat membumbung.

Dan banyak kenangan lainnya. Pelatihan Kepemimpinan Nasional yg disediakan semuanya, dari transport sampai pakaian dalam. Lomba Paduan Suara lagu nasional antar sekolah. Pawai 17 Agustus. Dan banyak lagi. Semuanya berujung pada kebanggaan menjadi bangsa ini.

Namun sekarang, banyak yg terlupakan. Bahkan banyak yang menyedihkan.

Dengan alasan reformasi dan kebebasan, bangsa dicerai-beraikan. Demi kepentingan, yang memanfaatkan Reformasi (dulu diperjuangkan dengan tekad dan nyawa beberapa mahasiswa), sekelompok politisi dan aktifis lembaga, mengacak tatanan hidup beragama dengan kedok persatuan.

Bukan menganggap beliau lebih baik, tapi dulu dimasa pak Harto korupsi itu hanya dilakukan segelintir orang. Amplop menghilang di bawah meja. Tapi sekarang, dari pintu depan sampai ruang eksekutif semua bebas menagih biaya, dan bukannya amplop menghilang di bawah meja...bahkan meja-mejanya ikut hilang!

Bangsa ini besar, dan berpotensi menjadi lebih besar. Bangsa ini kaya, dan mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Andai saja kita mau kembali menghargai bangsa kita. Membuang sikap buruk dan akar busuk dari batang tubuh bangsa. Dan itu bisa kita lakukan, bukannya tak bisa.

Dalam setiap training yang saya isi, selalu dan selalu saya ucapkan. Berjuanglah menjadi orang yang memberikan yang terbaik, bukan meminta yang terbaik.

Biarlah, bila ada sekelompok orang mencita-citakan diri jadi koruptor kelas kakap. Bukankah kita bisa menargetkan diri kita sebagai oposan, pihak oposisi bagi mereka.

Sungguh, saya ingin, bila bertemu mereka dari negara lain. Bisa berkata dengan bangga, Saya Orang Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun