Mohon tunggu...
Fadhilah Mursyid
Fadhilah Mursyid Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Masih Belajar mohon berkenan memberikan saran jika ada salah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Awal Mula Halal bi Halal dan Dampak Sosiologisnya bagi Masyarakat Indonesia

16 Juni 2022   06:58 Diperbarui: 16 Juni 2022   07:20 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah halal bi halal tentunya sudah sangat masyhur dikalangan kaum muslim terkhusus di negara Indonesia ini. Seperti yang kita tahu halal bi halal merupakan kegiatan maaf memaafkan dengan cara melakukan jabat tangan dan meminta maaf satu sama lain setelah melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan yang biasanya diadakan setelah menunaikan sholat Idul Fitr. 

Dengan adanya kegiatan ini tentunya dapat menjadi wadah bagi umat muslim sebagai ajang memohon ampunan kepada sanak saudara dan handai tolan. 

Halal bi halal juga biasanya diadakan oleh instansi pemerintah dan sekolah-sekolah di hari pertama masuk, setelah libur panjan Idul fitri. Dari sini dapat kita ketahui bahwasannya mayoritas dari masyarakat Indonesai sangatlah menyakralkan festival halal bi halal ini.

Jika kita menelisik lebih jauh hingga ke era Nabi Muhammad ﷺ, Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Turki Ustmani, kegiatan ini tidak ada sama sekali, dan di masa sekarang ini, tidak ada yang namanya tradisi halal bi halal di negara Arab dan negara muslim lainnya seperti Turki, Iran, dan India. Jadi dari sini kita dapat mengatakan bahwasannya halal bi halal hanya ada di Indonesia.[1]

Pada kesempatan kali ini penulis ingin sedikit menelaah terkait festival Halal bi halal ini, melalui beberapa referensi ilmiah yang mana terjurus pada historitas dan dampak sosilogi yang ditimbulkan dari fastival halal bi halal ini.

Menurut Quraish Shihab, istilah halal bi halal eadalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: sisi hukum dan sisi bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram adalah sesuatu yang dilarang dan menaundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa.[2]

Dalam hakikatnya, Quraish Shihab mengatakan bahwa istilah halal bi halal memiliki tiga arti. Pertama, peninjauan dari segi hukum bahwa kata halal merupakan lawan dari kata haram. Kedua, tinjauan halal bi halal secara bahasa diambil dari akar kata halla atau halala yang memiliki berbagai bentuk makna sesuai dnegan rangkaian kalimatnya. 

Secara bahasa, makna halla adalah menyelesaikan permasalahan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan yang beku atau melepas ikatan yang membelenggu. Ketiga, pemahama makna halal bihalal ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an serta kesan-kesan penhhunaan kata halal dalam al-Qur’an.[3]

Di waktu sekarang ini, tidak ditemukan informasi, dokumen, dan cerita asli dari sejarah festival halal bi halal. Sangat sulit menemukan siapa yang pertama kali mengadakannya, serta kapan dan dimana festival ini diadakan. Di dalam buku The Ensiklopedia Islam, 2000, hanya memberikan secuil informasi terkait festival ini yang mana ia dimulai sebagai acara resmi keagamaan pada akhir tahun 1940an dan berkembang setelah tahun 1950.[4]

Dalam buku Ensiklopedia Islam Nusantara Edisi Budaya, memaparkan bahwa pada tahun 1948, republik yang baru berdiri ini dilanda gejala disintegrasi bangsa. Banyak elit politik yang saling bertikai sehingga sangat sulit mengajak mereka untuk duduk bersama dalam satu forum. 

Padahal sedang terjadi pemberontakan serius yang dilakukan oleh DI/TII maupun Partai Komunis Indonesia. pada pertengahan bulan Ramadan tahun itu, presiden Soekarno mengajak Kiyai Abdul Wahab berdiskusi untuk mencai solusi dari masalah perpecahan para elit politik itu.

Saat itu muncullah ide dari Kiyai Wahhab untuk membuat acara halal bihalal. Menurutnya para politisi itu bisa diberi pengertian bahwa sikap saling menyalahkan di antara mereka itu adalah sesuatu yang salah dan haram. Karena haram, maka harus dibuat halal dengan cara saling bertemu, duduk satu meja, dan saling memaafkan. Maka acara silaturahmi yang digagas itu kemudian disepakati dengan istilah halal bihalal.

Acara halal bihalal pada hari raya saat itu berhasil dilaksanakan. Para politisi yang bertikai bersedia duduk bersama dalam suasana hari raya dan saling memaafkan. Selanjutnya instansi-instansi pemerintah di bawah kekuasaan Bung Karno juga mengadakan acara serupa. Sedangkan di kalangan masyarakat, kiyai Abdul Wahab yang merupakan salah satu tokoh pendiri NU ini mempopulerkan tradisi tersebut di masyarakat.

Dikuti dari website NU Online[5], kono tradisi halal bihalal pertama kali dimulai oleh Mangkunegara I, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. 

Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah sholat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem[6] kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.

Halal bi halal juga merupakan momen bermaafan. Halal bihalal semakin menjadi trending topic, di berbagai kalangan. Bahkan diberbagai kalangan halal bi halal dijadikan sebagai momen tahunan dengan saling bermaafan. Besarnya animo masyarakat untuk melaksanakannya melahirkan anggapan bahwa halal bihalal merupakan sebuah ajaran sosial.

Dalam halal bihalal akan lahir keteguhan dalam rasa persaudaraan dan persahabatan yang akan membentuk simbiosis mutualisme dan mutual trust dalam membangun bidak kehidupan yang lebih baik. Sehingga, secara emosional, setiap orang akan ditarik dalam sebuah pusaran nilai bersama untuk saling memelihara persahabatan dan persaudaraan. Karena, jabat tangan yang dilakukan saat seremoin halal bihalal dapat mengigatkan kembali kenangan masa lalu setiap orang.

Selain itu, halal bihalal ini dikontektualisasikan sebagai ajaran sosial yang mengajarkan ekearifan menjadi modal sosial yang lazim dikembangkan sebagai sarana rekonsiliasi kemanusiaan. 

Karena, perselisihan maupun konflik yang marak terjadi di berbagai tempat hampir dipastikan selalu bermula dari tipisnya daya perekat yang menyatukan hubungan antara satu dnegan yang lainnya dan abainya setiap orang terhadap nilai kearifan. Baik kearifan yang ada di lingkungan masyarkat, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan, dan berbagai lingkungan lainnya.[7]

Selain itu, Buku Religion Of Java hasil penelitian Clifford Geertz, mengungkapkan tradisi lebaran setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan atau yang disebut tradisi riyaya di Jawa merupakan salah satu pesta keagamaan yang paling meriah dan menggembirakan. Tradisi itu biasa disebut dalam bahasa Arab “halal bihalal” yang diartikan menjadi “menghalalkan satu sama lain” yaitu saling memohon maaf. 

Pada kebudayaan Jawa, riyaya ini mencerminkan ketegangan, konflik dan penyesuaian kembali keagamaan yang terwujud dalam simbol perayaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif kesatuan mendasar orang Jawa, bahkan kesatuan orang Indonesia pada umumnya.[8] Hal ini karena tradisi riyaya atau halal bihalal menekankan kesamaan antara semua orang Indonesia, menekankan toleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan mereka, menekankan kesatuan mereka sebagai bangsa (Geertz 2014).

Daftar Pustaka: 

Anggraeni, S. (2021). Tradisi Halal Bihalal Dalam Menjaga Silaturahmi Pada Masa Pandemi Covid-19 di Desa Bandar Jaya Barat Lampun Tengah. Lampung.

 

Ghufron, F. (2016). Modal Sosial Halal Bihalal. Kedaulatan Rakyat.

 

Hakam, S. (2015). Halal Bi Halal, A Festival of Idul Fitri and It's Relation With The History Of Islamization In Java. LIPI.

 

Haryanto, A. R. (2020). Penguatan Toleransi dan Identitas Sosial Melalui Halalbihalal Lintas Agama pada Masyarakat Kampung Gendingan, Yogyakarta. Jurnal SMaRT .

 

RI, T. D. (2018). Ensiklopedia Islam Nusantara Edisi Budaya. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam.

 

Shihab, Q. (1996). Wawasan al-Qur'am. Bandung: Mizan.

 

https://www.nu.or.id/post/read/60965/kh-wahab-chasbullah-penggagas-istilah-ldquohalal-bihalalrdquo (diakses pada 10 Mei 2022)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun