Saat itu muncullah ide dari Kiyai Wahhab untuk membuat acara halal bihalal. Menurutnya para politisi itu bisa diberi pengertian bahwa sikap saling menyalahkan di antara mereka itu adalah sesuatu yang salah dan haram. Karena haram, maka harus dibuat halal dengan cara saling bertemu, duduk satu meja, dan saling memaafkan. Maka acara silaturahmi yang digagas itu kemudian disepakati dengan istilah halal bihalal.
Acara halal bihalal pada hari raya saat itu berhasil dilaksanakan. Para politisi yang bertikai bersedia duduk bersama dalam suasana hari raya dan saling memaafkan. Selanjutnya instansi-instansi pemerintah di bawah kekuasaan Bung Karno juga mengadakan acara serupa. Sedangkan di kalangan masyarakat, kiyai Abdul Wahab yang merupakan salah satu tokoh pendiri NU ini mempopulerkan tradisi tersebut di masyarakat.
Dikuti dari website NU Online[5], kono tradisi halal bihalal pertama kali dimulai oleh Mangkunegara I, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.
Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah sholat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem[6] kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.
Halal bi halal juga merupakan momen bermaafan. Halal bihalal semakin menjadi trending topic, di berbagai kalangan. Bahkan diberbagai kalangan halal bi halal dijadikan sebagai momen tahunan dengan saling bermaafan. Besarnya animo masyarakat untuk melaksanakannya melahirkan anggapan bahwa halal bihalal merupakan sebuah ajaran sosial.
Dalam halal bihalal akan lahir keteguhan dalam rasa persaudaraan dan persahabatan yang akan membentuk simbiosis mutualisme dan mutual trust dalam membangun bidak kehidupan yang lebih baik. Sehingga, secara emosional, setiap orang akan ditarik dalam sebuah pusaran nilai bersama untuk saling memelihara persahabatan dan persaudaraan. Karena, jabat tangan yang dilakukan saat seremoin halal bihalal dapat mengigatkan kembali kenangan masa lalu setiap orang.
Selain itu, halal bihalal ini dikontektualisasikan sebagai ajaran sosial yang mengajarkan ekearifan menjadi modal sosial yang lazim dikembangkan sebagai sarana rekonsiliasi kemanusiaan.
Karena, perselisihan maupun konflik yang marak terjadi di berbagai tempat hampir dipastikan selalu bermula dari tipisnya daya perekat yang menyatukan hubungan antara satu dnegan yang lainnya dan abainya setiap orang terhadap nilai kearifan. Baik kearifan yang ada di lingkungan masyarkat, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan, dan berbagai lingkungan lainnya.[7]
Selain itu, Buku Religion Of Java hasil penelitian Clifford Geertz, mengungkapkan tradisi lebaran setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan atau yang disebut tradisi riyaya di Jawa merupakan salah satu pesta keagamaan yang paling meriah dan menggembirakan. Tradisi itu biasa disebut dalam bahasa Arab “halal bihalal” yang diartikan menjadi “menghalalkan satu sama lain” yaitu saling memohon maaf.
Pada kebudayaan Jawa, riyaya ini mencerminkan ketegangan, konflik dan penyesuaian kembali keagamaan yang terwujud dalam simbol perayaan yang paling umum, paling meriah dan paling kolektif kesatuan mendasar orang Jawa, bahkan kesatuan orang Indonesia pada umumnya.[8] Hal ini karena tradisi riyaya atau halal bihalal menekankan kesamaan antara semua orang Indonesia, menekankan toleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan mereka, menekankan kesatuan mereka sebagai bangsa (Geertz 2014).
Daftar Pustaka: