A. Pendahuluan
Manusia dianugrahi akal oleh Tuhan guna untuk memahami dan memikirkan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dari hal ini lahirlah sebuah tindakan. Pemahaman yang baik akan membawa kepada tindakan yang baik pula, dan begitu pula pemahaman yang kurang baik, yaitu pemahaman yang tidak sempurna dan bersifat spontan akan menggiring kepada tindakan yang spontan pula. Sebuah tindakan seperti ini akan sulit untuk dikontrol, bahkan lebih dekat kepada merusak dan membahayakan.
Begitu pula dalam memahami agama. Pemahaman agama yang belum sempurna hanya akan melahirkan tindakan yang sangat susah dikendalikan, bahkan oleh agama sendiri. Pemahaman yang tidak sempurna ini dapat melelapkan keberadaan dan peran akal, lambat laun keberadaan dan kebenaran yang dicapai oleh akal akan terpental dengan sendirinya, sebab sudah termakan oleh pemahaman yang belum utuh atau sempurna.
Dalam peradaban Islam, khasanah pemikiran Islam terus melakukan perkembangan, salah satunya adalah sumbangan dari pemikir muslim kontemporer Muhammad Abid al-Jabiri yang mencetuskan tentang 3 metodologi pemikiran filsafat Islam yakni bayani, irfani, dan burhani. Ciri menojol yang membedakan ketiganya satu sama lain ialah model metode berpikir yang berbeda-beda. Bayani sendiri mengandalkan teks sebagai dasarnya, sedangkan irfani mengandalkan pengalaman langsung dan yang terakhir yaitu bayani, model metodologi yang satu ini tidak menggunakan keduanya (teks maupun pengalaman) melainkan atas dasar keruntutuan logika.
B. Epistemologi Bayani
Bayani (Arab) berarti penjelasan, menyingkap, dan menjelaskan sesuatu, yakni mejelaskan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan kata yang paling baik. Menurut al-Jabir, corak epistemologi bayani secara historis sendiri adalah sistem epistemologi yang pertama kali muncul dalam kalangan Arab.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung maupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi tanpa ada lagi pemahaman dan langsung dipraktikkan, secara tidak langsung berarti memahanmi teks secara mentah tanpa memerlukan tafsir dan penalaran. Kendati demikian, bukan berarti akal atau rasio bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Konsep dasar sistem bayani adalah menggabungkan metode fiqih yang dikembangkan oleh Imam Syafi'i dengan metode retorika yang al-Jahiz. Estimologi ini didukung oleh pola pikir fiqh dan kalam. Estimologi bayani bukan tidak memiliki kelemahan dalam pengembangan Islamic studies, menurut Amin Abdullah hal ini akan sangat terlihat apabila tradisi berpikir tekstual keagamaan ini harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa, dan masyarakat yang beragama lain.
C. Epistemologi Irfani
Secara etimologi irfani berasal dari bahasa Arab 'arafa yang semakna dengan kata makrifat, berarti pengetahuan. Secara terminologi sendiri irfani dapat diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik, apa yang ada dibalik teks.
Pengetahuan irfani merupakan kelanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas Tuhan. Menurut Jabir. Pengalaman kasyf tidak dihasilkan melalui proses penalaran intelektual melainkan melalui mujahadah dan riyadah. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu: persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.