Mohon tunggu...
Fadhilah Mursyid
Fadhilah Mursyid Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Masih Belajar mohon berkenan memberikan saran jika ada salah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Isu Gender dan Lingkungan Relasi Perempuan dan Laki-laki di Kalangan Pesantren

27 November 2020   09:17 Diperbarui: 27 November 2020   09:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Topik persoalan kesetaraan gender sampai sekarang ini masih menggebu-ngebu diperbincangkan. Dalam ranah Islam sendiri, konsep gender dianggap liberal sehingga tidak sesuai dengan pemahaman agama Islam, Di Indonesia sendiri yang mayoritas Muslim, gender dianggap sebagai konsep dari barat dan identik dengan liberlisme.

Dalam membahas diskursus relasi antara perempuan dan laki-laki dalam konteks agama Islam, ada beberapa kelompok keagamaan yang memiliki pemahaman yang selayaknya dipahami oleh semua kalangan. Dalam hal ini, kelompok yang dituju oleh penulis ialah mereka dari kalangan pesantren. Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan yang merupakan eksistensi dari warisan budaya serta menjadi andalan bagi masyarakat Islam. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sebagai lembaga pendidikan keagamaan peran kependidikan pesantren bukan hanya pada kajian keagamaan saja, tetapi berkembang hingga memaskui wilayah kesadaran sosial terkait isu-isu kekinian yang universal.

Di kalangan pesantren sendiri pembahasan tentang isu relasi antara perempuan dan laki-laki menjadi pembahasan salah satu topik yang dibahas, dipelajari, dan diperdebatkan. Salah satunya itu melalui kajian kitab kuning 'Uqud al Lujjaiyn, yang memuat pembahasan tentang relasi antara suami dan istri.

Meskipun sumber pembahasan tentang relasi perempuan dan laki-laki masihlah sama, yaitu Al-Qur'an, Hadis, maupun kitab kuning. Namun, dapat menimbulkan berbagai macam persepsi yang berbeda. Zanden dalam Winurini (2004) berpendapat bahwa persepsi merupakan proses di saat individu dapat merasakan dan mengartikan informasi yang diperoleh dari lingkungan.

Pesantren sendiri sebagai lembaga pendidikian keagamaan memiliki cara yang unik dalam mendidik para santrinya, keunikan tersebut terletak pada tradisi, metode pembelajaran, dan sistem asramanya. Dengan keunikan ini mereka memungkinkan untuk mendidik para santrinya selama 24 jam, termasuk dalam mempraktikkannya dalam ritme kehidupan santri sendiri.

Pada umumnya tiap-tiap pesantren memiliki metode pendidikan yang berbeda dengan pesantren yang lainnya. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan lembaga independen. Sehingga sudah sewajarnya santrinya memiliki ideologi dan intepretasi yang berbeda-beda tergantung masing-masing individu.

Berangkat dari hal di atas dapat dilihat ditarik kesimpulan bahwa persepsi relasi antara perempuan dan laki-laki akan memiliki perbedaan walaupun pada prinsipnya Al-Qur'an sendiri mengajarkan tentang kesetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu akan sangat menarik untuk mengetahu persepsi kalangan pesantren tentang relasi antara perempuan dan laki-laki, serta latar belakang ideologi dan teks-teks apa saja yang mempengaruhi terbentuknya persepsi tersebut.

Konsep Relasi Perempuan dan Laki-Laki Dalam Kitab

Studi yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap Al Quran menunjukkan adanya kesetaraan gender, yang dapat dilihat dalam lima variabel, yaitu: a) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat, misalnya dalam Quran Surat (QS). Al-Hujurat (49): 13 dan An-Nahl (16): 97; b) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam QS. Al-Baqarah (2): 30 dan Al-An'am (6): 165; c) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti terlihat dalam QS. Al-A'raf (7): 172; d) Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam QS. Al-Baqarah (2): 35 dan 187, Al-A'raf (7): 20, 22, dan 23; dan e) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat dalam QS. Ali Imran (3): 195, Al-Nisa' (4): 124, Al-Nahl (16): 97, dan Al-Mu'min (40): 40 (Umar, 1999: 248-269).

Selain memperlajari Al-Qur'an dan Hadis, pesantren juga menggunakan kitab kuning dalam pembelajaran mereka. Kitab kuning sendiri merupakan ciri khas dari model pendidikan pesantren. Salah satu kitab kuning yang membahas tentang relasi antara perempuan dan laki-laki adalah kitab 'Uqud al Lujjaiyn, karangan Imam An-Nawwawi Al-Bantany Al-Jawy (1230/1813-1316/1898). Kitab ini menurut Nuriyah (2001) sarat dengan ketimpangan kesetaraan gender, terutama dalam pola relasi perempuan dan laki-laki sebagai suami dan istri. kitab-kitab seperti ini dirasa perlu telaah lebih dalam lagi.

Persepsi Pesantren Terhadap Relasi Perempuan Dan Laki-Laki

Persepsi pengajar dan santri dapat dilihat dari diskusi mengenai beberapa pertanyaan turunan seperti bagaimana persepsi mengan Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 34 dikaitkan dengan konsep kepemimpinan dalam ruang publik dan rumah tanggaa; kesetaraan dalam menuntut ilmu/pendidikan; pandangan/stereotipe terhadap perempuan; dan relasi suami-isteri dalam rumah tangga.

Sesuai dengan sumber rujukan yang digunakan penulis, ada dua kelompok persepsi. Yang pertama merupakan kelompok aliran yang menganggap relasi antara perempuan dan laki-laki harus sesuai kodrat dan fitrahnya. Sedangkan kelompok yang kedua lebih bersifat terbuka terhadap relasi perempuan dan laki-laki.

Relasi Terkait Kepemimpinan

Jika membahas isu gender dalam Islam pasti tak akan pernah lepas dari surah An-Nisa ayat 34 yang memiliki arti: Kaum laki-laki itu adalah qowwam/pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang shalih, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Titik berat pembahasan ini terletak pada kata "qowwam".

Menurut kelompok pertama, kata qowwam sendiri memiliki arti "imam atau pemimpin", maksudnya laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan di ruang publik. Sedangkan kelompok kedua mengartikan kata qowwam dengan arti "pelindung", maksudnya laki-laki sebagai orang yang bertanggung jawab melindungi perempuan di dalam keluarga maupun di tengah masyarakat.

Dari kedua kelompok ini dapat diambil benang merah bahwa dalam kepemimpinan rumah tangga di samping suami berperan sebaga pemimpin atau pelindung, sesungguhnya ada kesetaraan diantata suami dan istri. Mereka memiliki peranan masing-masing dalam berrumah tangga, tidak ada yang lebih utama diantara keduanya karena jika terjadi kesenjangan antara keduanya maka niscaya rumah tangga akan runtuh. Mereka juga memiliki hak yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus ditunaikan. Jika salah satu sedang berhalangan atau ketika terjadi perselisihan ada baiknya diselsaikan dengan cara yang baik, seperti yang telah ternash dalam sumber-sumber rujukan dalam Islam.

Terkait persepsi kepemimpinan dalam masyarakat terdapat tiga persepsi dalam sumber rujukan penulis, yaitu:

Persepsi pertama, perempuan tidak dapat menjadi pemimpin, seperti halnya dalam konteks imam sholat.

Persepsi kedua, perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin hanya di keadaan yang bersifat kolekfit, seperti menjadi pemimpin tempat kerja.

Persepsi ketiga, perempuan bisa menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Persepsi ini berdalih bahwa perempuan atau laki-laki yang menjadi pemimpin harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti: shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh.

Relasi Dalam Pendidikan

Dalam hal pendidikan berbagai pesantren sendiri sepakat bahwasannya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam memperoleh ilmu. Tidak ada perbedaan bagi kedua pihak dalam menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Hal ini juga telah ternash di dalam hadis.

Tujuan utama perempuan menuntut ilmu adalah karena mereka yang kelak akan menjadi "madrasah" pertama bagi anak-anak mereka kelak. Hal ini sangat penting karena anak-anak adalah generasai penerus bangsa, sehingga harus dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Menurut sebagian kelompok ada baiknya bagi perempuan untuk menyebarkan ilmunya ke lingkungan terbatas saja, seperti lingkungan sekitar.

Penutup

Simpulan

Secara umum, al-Qur'an dan kitab-kitab kuning mengajarkan banyak sekali nilai-nilai kesetaraan. Dalam hal ini termasuk juga relasi perempuan dan laki-laki, baik sebagai suami istri, pemimpin, dan penuntut ilmu. Namun semua itu masihlah bergantung pada persepsi setiap individu masing-masing.

Adanya perbedaan persepsi ini muncul dikarenakan pembentukan persepsi seseorang tentang suatu hal dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan pemikirannya masing-masing. Meskipun ada faktor stimulus yang sama, tetapi persepsi setiap orang tentang dapat berbeda-beda. Demikian pula dalam menginterpretasikan makna dari ayat Al Quran atau hadis, sangat tergantung dengan perspektif, pengalaman hidup, pengetahuan, dan pengaruh lingkungan dari ahli tafsir/ulama. Pada saat mengajarkan tafsiran tersebut juga dipengaruhi dengan persepsi dari pengajar, kemudian disampaikan ke santri akan dipengaruhi dengan pemikiran dan pengalaman hidup santri

Saran

Penafsiran Al Quran dan hadis harus dilakukan dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan kondisi tertentu, serta sosial budaya. Harus diperhatikan pula fakta-fakta dan fenomena masyarakat yang terus berubah. Penafsiran terhadap teks tidak dapat dipaksakan harus selalu sama dengan penafsiran awalnya, melainkan terus disesuaikan dengan situasi kemasyarakatan yang berkembang. Perlu diciptakan suatu sistem sosial yang adil dan dapat mengakomodir perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Para ulama/ kyai/pengasuh/pengajar di pesantren hendaknya dapat menggunakan forum-forum diskusi dan kajian, untuk menelaah suatu teks ayat Al Quran atau hadis; yang berpotensi menimbulkan persepsi ketidakberpihakan terhadap suatu kelompok jenis kelamin.

Daftar pustaka

Martiany, Diany. 2017. Perseprsi Kalangan Pesantren Terhadap Relasi Perempuan dan Laki-Laki. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.

Towaf, Siti Malikhah. Peran Perempuan, Wawasan Gender dan Implikasinya Terhadap Pendidikan di Pesantren.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun