Sama halnya dengan karya-karya seni lainnya, film memiliki bentuk atau form. Menurut Rabiger & Hurbis-Cherrier (2013), “Bentuk atau form adalah bagaimana produk ataupun konten yang berasal dari sebuah film tampak pada layar dan form tidak semestinya diperlakukan sebagai perangkat yang bersifat fungsional.”
Banyak sekali cara dan kemungkinan yang hamper tidak terbatas dalam mengelola bentuk sebuah film dan seorang sineas biasanya akan membatasi keputusan kreatifnya dengan mempertimbangkan kebutuhan naratif, logika, sudut pandang, dan suasana dari cerita yang nantinya akan mempengaruhi pemilihan genre film. Bordwell & Thompson (2016) menjelaskan bahwa bentuk sebuah film memiliki peran penting pada sebuah film, terutama sekali terhadap bagaimana film tersebut akan berdampak dan dilihat oleh penonton.
Seorang sutradara memberikan suatu pengalaman tontonan yang terstruktur melalui pola-pola tertentu yang kemudian menciptakan sebuah bentuk dari film. Melalui pola-pola yang tercipta tersebut sutradara memperoleh perhatian penonton dan mendorong mereka untuk merangkai bagian-bagian yang terpisah menjadi sebuah bentuk keseluruhan yang utuh dan lebih besar.
Penyajian sebuah film dibatasi dengan durasi waktu tertentu, waktu membedakan sebuah karya film dari fotografi dan seni visual lainnya. Semua film memiliki durasi dan seorang sutradara mempunyai kemampuan untuk mengatur durasi dan berapa lama penonton akan melihat sebuah kejadian dalam film. Film dapat memberi kesan berlalunya waktu serta mengubah pandangan waktu terhadap waktu tersebut.
Elemen waktu inilah yang menjadi perangkat dalam film yang sama pentingnya dengan unsur-unsur lain sebuah mise en scene (segala hal yang ada di depan kamera meliputi desain set, pencahayaan dan pemeran). Tidak hanya isi dari shot yang bersifat penting tetapi juga berapa lama waktu yang dipakai untuk menampilkan sebuah shot dan scene dan kehadirannya dalam sebuah sequence.
Penyajian sebuah film juga akan dipengaruhi oleh gaya (style) menyangkut hal-hal bersifat teknis yang secara konsisten dilakukan oleh seorang sineas. Gaya membentuk tampilan dan rasa pada sebuah film. Bordwell & Thompson (2016) mengatakan seorang sineas memiliki kencenderungan untuk mengulangi Teknik yang sama sepanjang film sehingga layaknya cara bertutur dan bertingkah laku yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Kebiasaan tersebut membentuk sesuatu yang disebut sebagai gaya (style).
Salah satu gaya (style) dalam sebuah film yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah Slow Cinema, muncul sebagai reaksi pasif agraesif terhadap industry Hollywood yang begitu mendominasi pasar. Kemunculan Slow Cinema dipengaruhi juga oleh maraknya budaya kontemporer arus utama seperti globalisasi, digitalisasi, budaya kecepatan dan monotonitas dalam kehidupan sehari-hari yang dirasakan pada masa-masa pergantian abad 20 hingga abad 21. Istilah Slow Cinema pertama kali diperkenalkan oleh Jonathan Romney dalam ulasannya mengenai kecenderungan dalam ranah art cinema pada tahun 2000-an yang memiliki gaya bercerita yang khas dengan memanfaatkan durasi untuk kepentingan suasan dan rasa temporalitas dalam film (Çağlayan, 2014, hlm. 6).
Memahami sebuah film adalah produk kesenian, Slow Cinema menguras ideologi tersebut dengan mengutamakan faktor-faktor artistik ketimbang dengan peristiwa-peristiwa, hal ini dapat kita lihat melalui film-film yang mengusung gaya Slow Cinema seperti Sátántangó karya Bela Tarr, Stalker karya Andrei Tarkovsky dan Uncle Bunmee Who Can Recall His Past Lives karya Apichatpong Weerasethakul dimana pada ketiga contoh film ini mengutamakan hal-hal artistik dalam setiap shot, scene hingga sequence. Meminimilasir dialog, pergerakan kamera yang lebih banyak statis, tidak menggunakan soundtrack ataupun lagu untuk mengisi film dan ciri yang paling khas adalah long take dimana sebuah shot bisa memakan waktu lebih dari 5 menit.
Seperti pada salah satu film Tarr yaitu terdapat satu shot dimana penonton mengikuti tokoh dalam film berjalan tanpa arah di bawah hujan lebat selama lebih dari lima menit. Dalam perspektif film sebagai sebuah karya seni hal ini memberikan ruang untuk penonton agar bisa masuk lebih dalam dan menyeluruh ke dalam cerita film. Dalam hal ini, Slow Cinema dapat dilihat sebagai Gerakan film yang tidak terstruktur yang terdiri dari film dan praktik yang berbeda kemudian dikonseptualisasikan sebagai pengelompokkan berkat gaya mereka yang sama. Meminjam kata Bordwell, jika memang begitu untuk melihat gaya sinematik sebagai gaya yang memobilisasi pilihan tentak kinerja kamera, pencahayaan, penampilan dan pemotongan (2008:260), pilihan apa yang konsisten dalam badan sebuah film yang biasanya diidentifikasi sebagai Slow Cinema dan kenapa mereke dianggap lambat?
Untuk mengidentifikasi fitur gaya film yang gerakkan oleh Slow Cinema yang terpenting adalah mempertimbangkan kelambatan itu dapat dipahami sebagai mode pembukaan temporal dan sebagai kesadaran akan durasi adalah pengalaman subjektif yang fundamental. Selama menyangkut film salah satu sifat dasarnya adalah kemampuan untuk merekam waktu dan memaksakan durasi. Sementara mode tontonan baru yang ditunjukkan oleh perangkat protabel seperti handphone ditentukan oleh fleksibilitas yang semakin besar dalam hal manipulasi temporal, saat menonton dalam kondisi waktu yang ditentukan, film secara ketat menegakkan temporalitasnya sendiri.
Menonton film dengan gaya Slow Cinema adalah pengalaman yang sangat berbeda dibandingkan dengan menonton acara televisi atau film kebanyakan. Perbedaannya ketika kita menonton film lambat kita sebagai penonton harus berusaha lebih. Penonton harus memerhatikan perubahan-perubahan yang halus dan menginterpretasikan gambar yang disajikan dalam film.
Menurut Laura Mulvey (dalam Flanagan, 2012), Slow Cinema bertujuan untuk menemukan cara alternative untuk menanggapi dunia dengan pendekatan “cinema of record, observation and delay,” yaitu sebuah metode observasional yang memberikan informasi dari apa yang diobservasi oleh kamera daripada cara naratif. Kekosongan naratif yang muncul karena pengurangan aksi (decline of action) kemudian digantikan dengan gambar landscape yang kosong atau shot berdurasi panjang yang memberikan kehadiran dari elemen waktu pada film.
Sebagian kritikus menyindir Slow Cinema dengan istilah “slow” yang artinya “lamabat” untuk menyindir film tersebut karena dianggap membosankan dan bertentangan dengan tujuan dari sinema, yaitu menghibur. Sebagian juga menyanjung Slow Cinema dengan menyebutnya “contemporary contemplative cinema” atau sinema kontemplatif temporer, sebagai sebuah cara alternatif dalam membuat film yang menawarkan gaya dan perspektif baru dalam bercerita kepada penonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H