Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

PKPU No. 20 Tahun 2018: Rule Breaking ala KPU

27 Juli 2018   21:07 Diperbarui: 4 September 2018   08:05 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://makassar.terkini.id

 

Konsep Rule-Breaking

Masih terngiang di benak para murid sang maha guru, Satjipto Rahardjo tentang sebuah konsep rule-breaking sebagai antitesis dari visualisasi teks per teks undang-undang. Undang-undang sebagai sebuah entitas dalam dimensi teks bahasa yang kaku turut menghambat perkembangan pembangunan hukum disaat dinamisasi masyarakat berbanding lurus dengan perkembangan kejahatan khususnya tindak pidana korupsi (tipikor).

Dalam khazanah beliau sebagai empunya hukum progresif. Hukum dalam dimensi teks cenderung tertatih dengan aspek realitas yang dinamis, sehingga bagi para pemegang otoritas, kekakuan teks tersebut dileburkan oleh berbagai macam instrumen dalam menjawab responsifitas yang melanda realitas, maka muncullah istilah diskresi dalam dunia pemerintahan sebagai pelebur teks undang-undang, istilah freies ermessen yang memberi legitimasi bagi para administratur negara dan ruang interpretasi hakim dalam dunia kehakiman untuk menjawab suatu peristiwa yang muncul mendahului perkembangan undang-undang.

Instrumen-instrumen tersebut berangkat dari sebuah pijakan yang sama tentang konsepsi rule-breaking sebagai sebuah konsep peleburan kekakuan teks undang-undang. Meskipun bagi penganut mazhab legisme hal tersebut terasa menggelikan namun, justru sejarah tidak dapat menafikan peran rule-breaking sebagai sebuah jawaban terhadap berbagai permasalahan hukum yang mendera bangsa ini.

Dalam perspektif pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat dipahami sejauh ini mayoritas pandangan publik memberi legitimasi persepsi tipikor sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Tentu hal ini termasuk pula dalam lingkup kejahatan terorganisir (organized crime). Pada aspek ini kita membaca alur pemikiran Satjipto Rahardjo yang menegaskan bahwa pemberantasan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) harus dengan cara-cara pemberantasan yang luar biasa pula (extra-ordinary measures).

Persepsi terhadap konsepsi rule-breaking tidak melulu jika hal tersebut dikonotasikan sebagai suatu tindakan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk menerobos aturan hukum yang sudah baku. Di sini pandangan tersebut dapat pula diartikan sebagai suatu tindakan pejabat yang berwenang dalam melakukan terobosan-terobosan sebagai suatu usaha kreatif dalam membangun atau menyempurnakan sistem yang belum optimal berjalan, sepanjang tindakan tersebut bukan merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Napi Koruptor yang Terhormat

Berdasarkan situs resmi Indonesia Corruption Watch (ICW), mengutip data Global Corruption Barometer 2017 yang diterbitkan Transparansi Internasional menyebutkan bahwa sebanyak 54 persen responden menilai DPR sebagai lembaga representasi dari partai politik merupakan lembaga terkorup. Hal ini dilihat dari berbagai skandal yang menimpa lembaga legislatif tersebut.

Data tersebut sesungguhnya untuk memberikan penilaian terhadap lembaga yang terhormat tersebut. Namun, substansi pokok yang dapat kita petik adalah DPR merupakan representasi dari partai politik yang artinya semua anggota DPR adalah anggota partai politik. Hal ini menjadi pukulan telak bagi partai-partai politik yang dalam waktu dekat akan mengikuti kontestasi menuju kursi-kursi kehormatan.

Partai politik merupakan wadah kaderisasi sekaligus rumah pendidikan karakter bagi calon politisi yang akan menduduki kursi tertinggi dalam kekuasaan legislatif. Tentunya dibutuhkan keluaran kader-kader terbaik yang akan menduduki kursi para teknokrat undang-undang.dalam menyerap aspirasi rakyat untuk kemudian diartikulasikan dan dikonstruksikan ke dalam aturan hukum yang representatif dan validatif.

PKPU No. 20 Tahun 2018

Lahirnya PKPU No. 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota merupakan jawaban atas setiap pertanyaan-pertanyaan masyarakat tentang komitmen negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, di sisi lain PKPU tersebut dinilai menerobos ketentuan undang-undang yang sudah baku berjalan sekaligus menderogasi hak asasi para caleg yang pernah merasakan udara di balik jeruji besi.

Jika kita cermati bersama, terdapat norma yang menderogasi hak politik caleg yang berkualifikasi sebagai mantan terpidana, salah satunya narapidana koruptor. Bagi penganut paham legisme, hal ini dianggap berpotensi merusak tatanan sistem yang sudah pakem. KPU bukanlah lembaga legislasi yang memiliki kewenangan membentuk suatu norma yang menderogasi hak asasi terutama hak politik seseorang.

Pandangan tersebut sesungguhnya benar, tetapi dalam konteks pemberantasan korupsi pandangan tersebut harus direkonstruksi dalam mengakomodir upaya-upaya pencegahan bagi masuknya kembali narapidana koruptor yang telah terkontaminasi oleh virus korupsi.

Dalam konteks kelembagaan, DPR sebagai suatu lembaga negara yang berperan strategis dalam pembangunan perilaku hukum masyarakat di Indonesia harus diisi oleh orang-orang yang telah teruji secara integritas melalui beberapa prosedur administrasi yang terintegrasi dengan aspek pencegahan virus-virus koruptif yang destruktif.

Maka, KPU yang diberikan kewenangan oleh negara dalam proses filterisasi tersebut berupaya secara optimal membangun sistem yang integratif dengan komitmen antikorupsi. Upaya rekrutmen adalah pintu masuk bagi para caleg menduduki kursi-kursi terhormat, sehingga dalam ruang kontestasi politik dibutuhkan pilihan-pilihan bagi masyarakat terhadap penentuan kandidat-kandidat yang berintegritas dan berkualitas.

Dalam konteks demokrasi, DPR ibarat pabrik yang memproduksi aturan-aturan hukum sebagai hasil dari penyerapan aspirasi dan keterwakilan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Proses input tersebut diformulasi sedemikian rupa oleh ratusan anggota DPR menjadi aturan hukum yang representatif. Bukan main jika seandainya budaya koruptif justru masih mewabah di gedung terhormat itu maka, output yang dihasilkan tidak hanya hanya akan merugikan negara dan rakyat, akan tetapi juga dapat mendegradasi kepercayaan rakyat terhadap eksistensi DPR.

PKPU No. 20 Tahun 2018 merupakan terobosan yang patut kita dukung bersama sebagai suatu upaya-upaya kreatif, responsif dan progresif dalam memberi angin segara terhadap kabut tebal korupsi yang telah merenggut akal sehat kita. Upaya Kemenkumham dalam mengundangkan PKPU tersebut telah melegitimasi validitas keberlakuannya bagi para caleg, sekaligus juga untuk dapat menguji validitasnya kepada Mahkamah Agung.

KPU mengajarkan kepada kita bahwa PKPU merupakan perlawanan terhadap sulitnya mereformulasi tatanan sistem yang sudah pakem oleh corak-corak konservatisme yang mengakar kuat di benak anggota DPR. Hal ini harus menjadi cambuk bagi periode baru ke depan untuk mengakomodir reformasi di bidang pemilu pada tempat yang seharusnya.

Maka, PKPU tersebut berusaha untuk tidak terjebak pada kungkungan teks perundang-undangan tetapi juga seperti dalam pandangan Friedman, substansi hukum dibangun untuk menciptakan struktur hukum yang baik dan diselaraskan dengan pembangunan perilaku hukum sebagai jiwa bekerjanya sistem hukum yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun