PKPU No. 20 Tahun 2018
Lahirnya PKPU No. 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota merupakan jawaban atas setiap pertanyaan-pertanyaan masyarakat tentang komitmen negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, di sisi lain PKPU tersebut dinilai menerobos ketentuan undang-undang yang sudah baku berjalan sekaligus menderogasi hak asasi para caleg yang pernah merasakan udara di balik jeruji besi.
Jika kita cermati bersama, terdapat norma yang menderogasi hak politik caleg yang berkualifikasi sebagai mantan terpidana, salah satunya narapidana koruptor. Bagi penganut paham legisme, hal ini dianggap berpotensi merusak tatanan sistem yang sudah pakem. KPU bukanlah lembaga legislasi yang memiliki kewenangan membentuk suatu norma yang menderogasi hak asasi terutama hak politik seseorang.
Pandangan tersebut sesungguhnya benar, tetapi dalam konteks pemberantasan korupsi pandangan tersebut harus direkonstruksi dalam mengakomodir upaya-upaya pencegahan bagi masuknya kembali narapidana koruptor yang telah terkontaminasi oleh virus korupsi.
Dalam konteks kelembagaan, DPR sebagai suatu lembaga negara yang berperan strategis dalam pembangunan perilaku hukum masyarakat di Indonesia harus diisi oleh orang-orang yang telah teruji secara integritas melalui beberapa prosedur administrasi yang terintegrasi dengan aspek pencegahan virus-virus koruptif yang destruktif.
Maka, KPU yang diberikan kewenangan oleh negara dalam proses filterisasi tersebut berupaya secara optimal membangun sistem yang integratif dengan komitmen antikorupsi. Upaya rekrutmen adalah pintu masuk bagi para caleg menduduki kursi-kursi terhormat, sehingga dalam ruang kontestasi politik dibutuhkan pilihan-pilihan bagi masyarakat terhadap penentuan kandidat-kandidat yang berintegritas dan berkualitas.
Dalam konteks demokrasi, DPR ibarat pabrik yang memproduksi aturan-aturan hukum sebagai hasil dari penyerapan aspirasi dan keterwakilan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Proses input tersebut diformulasi sedemikian rupa oleh ratusan anggota DPR menjadi aturan hukum yang representatif. Bukan main jika seandainya budaya koruptif justru masih mewabah di gedung terhormat itu maka, output yang dihasilkan tidak hanya hanya akan merugikan negara dan rakyat, akan tetapi juga dapat mendegradasi kepercayaan rakyat terhadap eksistensi DPR.
PKPU No. 20 Tahun 2018 merupakan terobosan yang patut kita dukung bersama sebagai suatu upaya-upaya kreatif, responsif dan progresif dalam memberi angin segara terhadap kabut tebal korupsi yang telah merenggut akal sehat kita. Upaya Kemenkumham dalam mengundangkan PKPU tersebut telah melegitimasi validitas keberlakuannya bagi para caleg, sekaligus juga untuk dapat menguji validitasnya kepada Mahkamah Agung.
KPU mengajarkan kepada kita bahwa PKPU merupakan perlawanan terhadap sulitnya mereformulasi tatanan sistem yang sudah pakem oleh corak-corak konservatisme yang mengakar kuat di benak anggota DPR. Hal ini harus menjadi cambuk bagi periode baru ke depan untuk mengakomodir reformasi di bidang pemilu pada tempat yang seharusnya.
Maka, PKPU tersebut berusaha untuk tidak terjebak pada kungkungan teks perundang-undangan tetapi juga seperti dalam pandangan Friedman, substansi hukum dibangun untuk menciptakan struktur hukum yang baik dan diselaraskan dengan pembangunan perilaku hukum sebagai jiwa bekerjanya sistem hukum yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H