Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal tentang Peninjauan Kembali Perkara Ahok (Beberapa Catatan)

4 Maret 2018   17:06 Diperbarui: 5 Maret 2018   03:15 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: m.bisnis.com

Ada beberapa catatan yang dapat kita telaah terhadap PK tersebut :

Pertama, apakah putusan Buni Yani dapat dijadikan dasar pengajuan PK? Pasal 263 ayat (2) KUHAP menguraikan alasan pengajuan PK antara lain :

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila  dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Jadi inti dari Pasal 263 ayat (2) KUHAP alasan pengajuan PK, yaitu adanya keadaan baru, adanya pertentangan putusan dan kekhilafan hakim. 

Pada beberapa kesempatan tim kuasa hukum Ahok membeberkan alasan pengajuan PK. Ada 2 Alasan yang diajukan, yaitu adanya kekhilafan hakim dan adanya kekeliruan yang nyata dengan merujuk pada putusan Buni Yani yang dianggap tidak selaras dengan putusan Ahok. Baca (Dua Alasan PK Ahok).

Menurut tim kuasa hukumnya, meski secara teks dakwaan keduanya berbeda, tetapi kontekstualisasinya sesungguhnya sama atau paralel. Seharusnya jika Buni Yani diputus bersalah melanggar UU ITE karena telah mengedit dan menyebarluaskan video Ahok di Kepulauan Seribu, maka Ahok sejatinya adalah korban dan sangat tidak patut baginya dianggap bersalah melakukan penistaan agama, mengingat menurut mereka tidak ada saksi yang protes dengan pernyataan beliau saat itu, barulah setelah beberapa hari sesudahnya saat Buni Yani memposting video tersebut dengan captionnya yang menggelitik menimbulkan kegaduhan publik. Baca (Alasan PK Ahok). 

Buni Yani yang divonis bersalah membuka mata Ahok dan tim kuasa hukumnya bahwa dari putusan Buni Yani tersebut telah jelas dan terang benderang akan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata yang dilakukan oleh majelis hakim yang memutus perkara Ahok.

Menurut hemat penulis alasan tersebut tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sebab majelis hakim yang memutus perkara Ahok tidak terikat pada perkara Buni Yani yang nyata-nyata berada pada wilayah dakwaan yang berbeda dengan Ahok, bahkan perkara Ahok jauh lebih dulu diputus pada bulan mei 2017, sedangkan perkara Buni Yani baru diputus pada november 2017. Perlu digarisbawahi bahwa hingga saat ini putusan Buni Yani belum berkekuatan hukum tetap, jadi belum ada acuan dapat dilegitimasikan.

Kedua, apakah putusan Buni Yani dapat menjadi alasan adanya pertentangan putusan? Jika kita telaah bersama memang ada kontekstualisasi yang paralel diantara dua putusan tersebut, akan tetapi adanya disparitas putusan tidak dapat dilihat pada kontekstualisasinya tersebut, melainkan kriteria utamanya adalah adanya perkara yang sama berdasarkan dakwaan yang sama yang menghasilkan disparitas putusan atau dua putusan yang memutus dakwaan yang sama, namun terjadi pertentangan di dalamnya yang dapat merugikan salah satu terpidana, contoh A didakwa mencuri bersama-sama dengan B lalu A diputus bersalah sekian tahun, tetapi B diputus berbeda dengan pertimbangan yang bertentangan. Pada kasus Ahok dan Buni Yani justru berbeda, Ahok didakwa pasal penistaan agama (vide pasal 156 KUHP),  sedangkan Buni Yani didakwa berdasarkan UU ITE. Jadi menurut hemat penulis putusan Buni Yani tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu pertentangan tersebut. 

Ketiga, Kekhilafan hakim lainnya yang diungkapkan oleh tim kuasa hukumnya adalah ada beberapa fakta yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, misalnya pendapat ahli yang diabaikan, kondisi di TKP, yakni para penduduk setempat yang tidak tersinggung, video pernyataan Gus Dur tentang pemimpin non-muslim yang tidak dipertimbangkan, sikap kooperatif Ahok yang tidak dijadikan pertimbangan, untuk hal ini menurut hemat penulis dapat dijadikan alasan adanya kekhilafan hakim, sehingga sah-sah saja,  namun pada akhirnya MA yang akan menilai alasan-alasan tersebut. 

Keempat, dalam menjalani PK, Ahok boleh diwakili oleh penasehat hukumnya saja. Hal ini merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 yang memperluas pasal 263 ayat (1) KUHAP. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun