1928.
Hiruk pikuk semangat intelektualisme sedang mewabah para pemuda saat itu. Konsekuensi logis implementasi politik etis oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada inlanders (pribumi saat itu, bukan pribumi saat ini, atau pribumi kekinian ala Pak Gubernur) menjadi titik awal revolusi intelektual dan globalisasi persepsi terhadap realitas kolonial.Â
Pendidikan membentuk revolusi sikap, mental, cara pandang terhadap dunia, seperti kata Soekarno, "weltanschauung"(pandangan dunia, saat itu merujuk kepada keinginan para founding fathersuntuk merumuskan suatu dasar negara sebagai suatu perjanjian luhur, cara pandang kehidupan dan kepribadian bangsa).Â
Semangat untuk merdeka adalah sebuah hasil dari proses pendidikan yang membuka jalan fikiran pemuda saat itu bahwa manusia seutuhnya memiliki hak-hak dasar dalam hal hak untuk hidup, hak untuk merdeka dari penjajahan, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk menentukan nasib bangsa itu sendiri.
Realitas masa itu sesungguhnya menunjukkan suatu realitas ketimpangan sosial (socialdiscrepancy). Bahwa kebijakan politik etis di bidang pendidikan hanya diperuntukkan bagi inlanders yang memiliki status sosial yang tinggi.Â
Di satu sisi, mereka yang dapat mengenyam pendidikan memiliki kesempatan untuk menyejajarkan diri dengan Bangsa Eropa (saat itu inlanders dianggap memiliki status sosial yang sangat rendah.
Bahkan dalam beberapa literatur semisal, "Max Havelaar" karya monumental Multatuli, inlanders dianggap tidak sederajat dengan orang-orang Eropa), disisi lain pendidikan membuka jalan bagi Bangsa Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan.Â
Adanya jurang pemisah terasa begitu menyesakkan bagi mereka yang melalui pendidikan mulai memahami gejala-gejala sosial tersebut. Mereka mulai memahami esensi dari kolonialisme dan imperialisme yang sangat destruktif bagi kehidupan bangsa yang menjadi inangnya.Â
Esensi kehidupan bangsa, yaitu kebahagiaan hidup telah mengerut dan tak bersinar, karena terhisap oleh kolonialisme berubah menjadi keputusasaan. Maka tak ayal mereka yang mengenyam pendidikan, mereka pula yang menjadi asa bagi revolusi bangsa.Â
Pemuda hari itu adalah penentu kemajuan bangsanya. Liberalisme pendidikan Eropa bagi para pemuda ternyata tidak mampu mencetak pribadi manusia yang individual, akan tetapi justru menumbuhkan semangat integrasi bangsa.Â
Integrasi yang lahir dari suatu kesamaan historis, kultural dan biologis dan kesamaan penderitaan akan tanah yang terjajah memaksa para pemuda terpelajar selaku kaum intelektual dan agent of change untuk menyatukan pikiran dan perbuatan sebagai jalan untuk menyatukan bangsa.Â
Sumpah Palapa adalah instrumen pembenar tentang kesatuan nusantara, maka persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebuah keniscayaan.
Berkumpulnya para pemuda terpelajar menjadi bukti shahih implementasi persatuan dan kesatuan bangsa.Â
Perbedaan suku dan budaya menyatu atas nama Indonesia yang terkristal dalam suatu Sumpah Pemuda sebagai legitimasi falsafah pergerakan nasional menuju suatu era baru yang cerah untuk menjadi bagian dari bangsa-bangsa di dunia.
Masa Kini (Kekinian)
Sesungguhnya revolusi bukanlah suatu hasil yang final, melainkan suatu proses yang bergerak dinamis terus menerus. Pemuda adalah bagian dari pelaku revolusi, begitupula dengan kemerdekaan sebagai suatu proses dinamis dan merupakan proses pembangunan karakter manusia-manusia di dalamnya.Â
Tidak ada skema yang final dari suatu proses pembangunan. Realitas sosial terus bergerak untuk membangun persepsi baru yang akan terus merubah tatanan, terutama dalam setiap proses interaksi sosial.Â
Pemuda masa kini merupakan pembaharu dalam dinamika politik, sosial, dan budaya. Pembaharu berkonotasi dikotomis, menjadi pembaharu kemajuan bangsa dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kepribadian bangsa atau menjadi pembaharu yang kapitalistik.Â
Konsumerisme menandai perkembangan perekonomian suatu bangsa lewat kemampuan daya beli yang semakin menggila atau dapat pula menandai ketimpangan produksi dalam negeri ditambah gengsivitas yang berlebihan terhadap produk lokal.Â
Konsumerisme adalah candu yang melenakan bak virtualisasi kepuasan, sedang produksi lokal adalah sarana perbandingan kualitas melawan gengsivitas.Â
Lihatlah dominasi trending topic di twitter yang disesaki oleh aktivitas sosial media dalam negeri, padatnya jumlah penduduk sosmed berkewarganegaraan Indonesia di facebook dan instagram, atau hebohnya grub-grub chatting yang menjamur di setiap layar aplikasi Line dan WA.Â
Sungguh sebuah dominasi kependudukan Bangsa Indonesia di dunia sosmed ibarat kolonialisasi gaya baru Bangsa Indonesia terhadap produk asing atau justru kitalah yang tengah dalam situasi kolonialisasi gaya baru.
Pemuda hits dan kekinian seolah merujuk pada para pemuda yang terbelenggu pada arus eksistensialisme. Status sosial mengalami revolusi defenitif mengenai siapa yang nge-hits dialah juaranya, bahkan jika hal itu harus memaksanya menerobos nilai-nilai kepribadian bangsa demi poros globalisasi dan liberalisasi.Â
Eksistensi mengalami pergeseran letak realitas baru ke arah virtualisasi eksistensialisme. Eksistensi tidak lagi dipersepsikan pada suatu realitas faktual, melainkan bertransmigrasi ke dalam realitas virtual, inilah generasi milenial.
Pada akhirnya dibutuhkan suatu kristalisasi nilai-nilai kepribadian bangsa yang oleh konstitusi disebut sebagai "Pancasila", untuk merestorasi cara pandang para "pemuda zaman now" dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Semangat "pemuda zaman now" adalah menjadi generasi pemenang, terutama bagi perkembangan perekonomian bangsa. Menjadi pusat perkembangan ekonomi bangsa, melalui kreativitas dan keberanian. Pemuda merupakan pembaharu ekonomi dan pembuka lapangan pekerjaan baru.
"Pemuda zaman now" memiliki tanggungjawab dalam perkembangan teknologi bagi kemajuan bangsa, terutama dalam menciptakan berbagai aplikasi-aplikasi menarik yang menjadi kebutuhan bangsa dan dunia.Â
"Pemuda jaman now" adalah pemuda yang konsisten dalam membumikan nilai-nilai kepribadian bangsanya sebagai akumulasi dari nilai-nilai religius, kemanusiaan dan keadilan, persatuan bangsa, kemajemukan dan nilai-nilai mufakat, serta semangat gotong royong dan pemerataan kesejahteraan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H