Dengan kata lain, media sosial seringkali bukan menjadi cermin dari pengalaman nyata, melainkan sebuah ruang di mana kita membentuk identitas berdasarkan apa yang kita pilih untuk tampilkan. Seperti yang dikatakan Baudrillard, kita terjebak dalam "hyperreality", di mana yang tampak di layar jauh lebih penting daripada apa yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata.
Fenomena FOMO (fear of missing out) adalah contoh klasik dari alienasi digital ini. Seperti yang dijelaskan Sartre dalam Being and Nothingness, individu sering merasa terasing ketika mereka merasa dipandang sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki kebebasan.
Baca Juga: FOMO dan Filsafat Stoisisme: Menemukan Ketenangan di Tengah Derasnya Arus Informasi
Media sosial memperburuk perasaan ini karena kita sering membandingkan hidup kita dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih sempurna, lebih bahagia, atau lebih sukses. Hal ini membuat kita merasa bahwa hidup kita tidak cukup berarti, yang pada gilirannya menimbulkan kecemasan dan perasaan terasing dari kenyataan yang kita jalani.
Lebih lanjut, media sosial memperkuat isolasi intelektual kita melalui apa yang disebut filter bubble. Algoritma yang menyaring informasi dan hanya menunjukkan apa yang sesuai dengan pandangan kita, mempersempit wawasan kita tentang dunia.
Dalam hal ini, media sosial bisa menjadi sarana untuk memperburuk alienasi intelektual, dengan membatasi kita dari sudut pandang yang berbeda. Ini mirip dengan kritik Marx terhadap ideologi yang hanya memperkuat status quo dan menghalangi kita melihat kenyataan sosial yang lebih luas.
Jika menariknya lebih jauh, Perubahan yang dibawa oleh media sosial terhadap interaksi sosial kita sangat besar di masa sekarang. Komunikasi yang terjadi di dunia maya, sering kali hanya berbentuk teks, gambar, ataupun video tanpa ada interaksi tatap muka yang sesungguhnya.
Hal itu menciptakan dunia di mana perasaan dan emosi sulit diekspresikan secara autentik. Camus pernah mengatakan bahwa manusia hidup dalam ketegangan antara dunia yang absurd dan pencarian makna yang tak pernah berhenti. Media sosial, meski menghubungkan banyak orang, justru sering menciptakan ketegangan lebih dalam, karena semakin banyak interaksi yang kurang bermakna.
Salah satu masalah besar yang muncul adalah fenomena cyberbullying, yang semakin banyak terjadi karena berkembangnya media sosial. Seperti yang dijelaskan Erich Fromm dalam The Art of Loving, hubungan yang sehat harus didasarkan pada rasa saling menghormati dan kasih sayang, bukan pada kekuasaan atau dominasi.
Cyberbullying menghancurkan rasa saling menghormati ini, memperburuk perasaan terasing yang sudah ada, dan semakin memperburuk komunikasi yang terdistorsi. Dalam dunia digital yang terpecah belah, interaksi sosial menjadi semakin kosong dan mudah disalahgunakan.
Baca Juga: Kritik Eksistensialisme terhadap Perkembangan Informasi Modern yang Memanipulasi Diri
Kesimpulan
Media sosial, pada akhirnya, bisa dipandang sebagai alat untuk membangun koneksi di dunia yang semakin terfragmentasi. Namun, seperti yang diajarkan filsuf-filsuf besar seperti Sartre, Camus, dan Marx, kita harus tetap waspada terhadap potensi bahwa alat ini justru memperburuk alienasi kita. Dengan segala kemampuannya, media sosial membawa ancaman besar yang tidak kalah serius-mengarah pada isolasi emosional, sosial, dan intelektual.
Sebagai pengguna media sosial, kita harus bijaksana dalam memanfaatkannya. Koneksi yang ditawarkan media sosial mungkin hanyalah sebuah ilusi, jika tidak diiringi dengan usaha nyata untuk membangun hubungan yang lebih dalam di dunia nyata.