Bayangkan sebuah dunia yang tidak pernah mengenal media sosial-tanpa Facebook, Instagram, atau Twitter. Dapatkah dunia itu ada? Di dunia modern ini, media sosial telah berkembang menjadi arena di mana orang-orang berinteraksi, berbagi, dan mencari jati diri mereka.
Seperti teknologi lainnya, media sosial tampaknya menawarkan sebuah jalan bagi manusia untuk saling terkoneksi, tetapi ada pertanyaan yang jauh lebih dalam: apakah media sosial benar-benar menghubungkan kita, atau justru menjauhkan kita satu sama lain? Filsuf-filsuf modern telah lama memperingatkan bahaya alienasi dalam kehidupan sosial kita, dan seringkali, media sosial menjadi contoh nyata dari peringatan tersebut.
Sartre, seorang filsuf yang menonjol dalam aliran eksistensialisme, mengajarkan kita tentang bagaimana individu sering kali merasa terjebak dalam pandangan orang lain. Melalui apa yang ia sebut sebagai "pandangan orang lain" atau the look, individu menjadi objek yang terperangkap dalam cara orang lain memandang mereka. Media sosial, dengan segala kemampuan untuk membagikan citra dan cerita pribadi, dapat dipandang sebagai bentuk eksternal dari pandangan ini.
Baca Juga:Â Belajar dari Stoisisme: Menghadapi Konflik
Di satu sisi, ia memfasilitasi hubungan global, namun di sisi lain, ia juga memperburuk perasaan terasing dan menjadi objek yang dipandang dari luar. Di sini kita dihadapkan pada sebuah paradoks-apakah media sosial benar-benar mempererat hubungan antar manusia, atau justru menjauhkan kita lebih dalam?
Media Sosial Sebagai Jalan Koneksi
Media sosial seakan-akan menawarkan sebuah jalan komunikasi tanpa batas. Dunia yang dulu terasa begitu luas, kini seolah menjadi lebih kecil, di mana kita dapat berhubungan dengan orang dari segala penjuru dunia. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menulis bahwa meskipun kehidupan ini tampak absurd, manusia tetap berusaha untuk menemukan makna dan keterhubungan.
Melalui media sosial, kita dapat menghubungi orang yang sebelumnya sangat jauh, baik secara fisik maupun sosial. Dalam konteks ini, media sosial bisa dilihat sebagai alat untuk mencari makna dalam dunia yang penuh dengan absurditas. Camus tidak akan mengatakan bahwa media sosial adalah sebuah solusi yang sempurna, tetapi lebih kepada bagaimana kita sebagai individu menciptakan makna melalui pengalaman kita sendiri.
Sebagai contoh, media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas-komunitas yang dibangun atas dasar minat bersama. Platform seperti Reddit atau grup Facebook memberi ruang bagi orang untuk berbagi cerita dan pengalaman tentang topik tertentu-mulai dari kesehatan mental hingga politik, atau hobi spesifik.
Baca Juga: Harari: Akankah Manusia Mengalahkan Kematian?Â
Dalam kehidupan nyata, mencari orang dengan minat yang serupa bisa sangat sulit, tetapi media sosial memungkinkan kita untuk menjalin hubungan tersebut secara langsung. Ini bisa dilihat sebagai langkah menuju solidaritas yang lebih besar, yang sejalan dengan ide Marx tentang pentingnya solidaritas sebagai respons terhadap alienasi dalam masyarakat kapitalis. Media sosial, dalam hal ini, memungkinkan kita untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Namun, meskipun demikian, muncul pertanyaan besar: apakah koneksi ini benar-benar membawa pemahaman yang lebih dalam, atau hanya sekadar permukaan yang mengalihkan perhatian kita dari kesepian yang lebih dalam yang mungkin kita rasakan dalam kehidupan nyata?
Koneksi lewat layar, meski menciptakan kedekatan, bisa jadi tidak lebih dari ilusi-menggantikan komunikasi langsung yang lebih mendalam, dan hanya menciptakan ilusi kedekatan tanpa pengalaman emosional yang sesungguhnya.
Sisi Gelap Media Sosial: Alienasi yang Terbentuk
Meskipun media sosial dapat mempertemukan kita dengan orang lain, sisi gelap dari dunia ini seringkali memperburuk perasaan terasing. Jean Baudrillard, dalam karya Simulacra and Simulation, berbicara tentang dunia yang kita lihat melalui media sosial sebagai dunia simulakra-kenyataan yang telah terdistorsi menjadi citra-citra yang kosong, tanpa makna yang lebih dalam.
Dengan kata lain, media sosial seringkali bukan menjadi cermin dari pengalaman nyata, melainkan sebuah ruang di mana kita membentuk identitas berdasarkan apa yang kita pilih untuk tampilkan. Seperti yang dikatakan Baudrillard, kita terjebak dalam "hyperreality", di mana yang tampak di layar jauh lebih penting daripada apa yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata.
Fenomena FOMO (fear of missing out) adalah contoh klasik dari alienasi digital ini. Seperti yang dijelaskan Sartre dalam Being and Nothingness, individu sering merasa terasing ketika mereka merasa dipandang sebagai objek, bukan sebagai subjek yang memiliki kebebasan.
Baca Juga: FOMO dan Filsafat Stoisisme: Menemukan Ketenangan di Tengah Derasnya Arus Informasi
Media sosial memperburuk perasaan ini karena kita sering membandingkan hidup kita dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih sempurna, lebih bahagia, atau lebih sukses. Hal ini membuat kita merasa bahwa hidup kita tidak cukup berarti, yang pada gilirannya menimbulkan kecemasan dan perasaan terasing dari kenyataan yang kita jalani.
Lebih lanjut, media sosial memperkuat isolasi intelektual kita melalui apa yang disebut filter bubble. Algoritma yang menyaring informasi dan hanya menunjukkan apa yang sesuai dengan pandangan kita, mempersempit wawasan kita tentang dunia.
Dalam hal ini, media sosial bisa menjadi sarana untuk memperburuk alienasi intelektual, dengan membatasi kita dari sudut pandang yang berbeda. Ini mirip dengan kritik Marx terhadap ideologi yang hanya memperkuat status quo dan menghalangi kita melihat kenyataan sosial yang lebih luas.
Jika menariknya lebih jauh, Perubahan yang dibawa oleh media sosial terhadap interaksi sosial kita sangat besar di masa sekarang. Komunikasi yang terjadi di dunia maya, sering kali hanya berbentuk teks, gambar, ataupun video tanpa ada interaksi tatap muka yang sesungguhnya.
Hal itu menciptakan dunia di mana perasaan dan emosi sulit diekspresikan secara autentik. Camus pernah mengatakan bahwa manusia hidup dalam ketegangan antara dunia yang absurd dan pencarian makna yang tak pernah berhenti. Media sosial, meski menghubungkan banyak orang, justru sering menciptakan ketegangan lebih dalam, karena semakin banyak interaksi yang kurang bermakna.
Salah satu masalah besar yang muncul adalah fenomena cyberbullying, yang semakin banyak terjadi karena berkembangnya media sosial. Seperti yang dijelaskan Erich Fromm dalam The Art of Loving, hubungan yang sehat harus didasarkan pada rasa saling menghormati dan kasih sayang, bukan pada kekuasaan atau dominasi.
Cyberbullying menghancurkan rasa saling menghormati ini, memperburuk perasaan terasing yang sudah ada, dan semakin memperburuk komunikasi yang terdistorsi. Dalam dunia digital yang terpecah belah, interaksi sosial menjadi semakin kosong dan mudah disalahgunakan.
Baca Juga: Kritik Eksistensialisme terhadap Perkembangan Informasi Modern yang Memanipulasi Diri
Kesimpulan
Media sosial, pada akhirnya, bisa dipandang sebagai alat untuk membangun koneksi di dunia yang semakin terfragmentasi. Namun, seperti yang diajarkan filsuf-filsuf besar seperti Sartre, Camus, dan Marx, kita harus tetap waspada terhadap potensi bahwa alat ini justru memperburuk alienasi kita. Dengan segala kemampuannya, media sosial membawa ancaman besar yang tidak kalah serius-mengarah pada isolasi emosional, sosial, dan intelektual.
Sebagai pengguna media sosial, kita harus bijaksana dalam memanfaatkannya. Koneksi yang ditawarkan media sosial mungkin hanyalah sebuah ilusi, jika tidak diiringi dengan usaha nyata untuk membangun hubungan yang lebih dalam di dunia nyata.
Dalam menghadapi absurditas hidup, kita harus belajar untuk tidak hanya terhubung secara virtual, tetapi juga untuk tetap menjalin hubungan emosional dan fisik dengan orang-orang di sekitar kita. Hanya dengan cara itu kita dapat menemukan keseimbangan antara koneksi dan alienasi di dunia digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H