Mohon tunggu...
Fadhel Fikri
Fadhel Fikri Mohon Tunggu... Penulis - Co-Founder Sophia Institute dan Pembisnis Sabda Literasi Palu

Co-Founder Sophia Institute Palu, serta pegiat filsafat dan sains. Selain itu, sedang menghasilkan bisnis online di https://sabdaliterasi.xyz

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Indonesia Miskin?

9 Juli 2019   10:59 Diperbarui: 4 Januari 2021   19:33 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Indonesia miskin? Padahal, jumlah rakyatnya banyak. Banyak yang berbakat, cerdas dan mau bekerja keras untuk mengembangkan diri dan bangsanya. Kekayaan alam pun berlimpah ruah. 

Kita memiliki minyak, gas dan beragam logam sebagai sumber daya alam yang siap untuk diolah. Kita memiliki tanah yang subur yang siap ditanami beragam jenis tanaman. Kita memiliki hutan yang luas yang bisa memberikan udara segar tidak hanya untuk bangsa kita, tetapi untuk seluruh dunia. Akan tetapi, mengapa kita masih miskin, walaupun kita memiliki itu semua? 

Keadaan Kita 

Di satu sisi, banyak orang kesulitan untuk mencari pekerjaan yang layak. Mereka harus menerima fakta, bahwa pekerjaan mereka bersifat sementara. Mereka bisa dipecat sewaktu-waktu. Gajinya pun tidak layak untuk memberikan kehidupan yang layak.

Banyak juga orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Mereka kesulitan mencari makan, sandang dan papan yang layak untuk manusia. Banyak juga keluarga yang hidup di dalam kemiskinan akut. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan ekonomi berat, tetapi juga kerap kali sakit secara fisik. 

Di sisi lain, ada orang-orang yang hidup dengan amat berkelimpahan. Gaji mereka puluhan bahkan ratusan juta setiap bulannya. Mereka hidup di rumah-rumah besar, seperti yang bisa kita lihat di berbagai perumahan mewah di berbagai kota di Indonesia. Mereka menggunakan mobil mewah setiap harinya. 

Mereka berbelanja di mall-mall besar. Mereka berwisata ke "negara-negara mahal" setiap tahunnya. Keadaan ini kontras berbeda dengan keadaan kelompok lainnya yang hidup dalam kemiskinan akut. Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu besar dan begitu terasa di Indonesia. 

Jika ini dibiarkan, maka hidup bersama akan menjadi sulit. Keadaan hidup sehari-hari akan dipenuhi ketegangan, kecurigaan dan rasa takut antar warga. Kriminalitas meningkat. Dan sangatlah mungkin, bahwa kekerasan akan meledak di tingkat politik, misalnya dalam bentuk revolusi berdarah. 

Baca juga dari PikiranKita | Media Penulisan dan Edukasi Pemikiran

1. Coretan Singkat Tentang Manusia

2. Semua Manusia Adalah Kristus

3. Penjelasan Singkat, Apa itu Ekofeminisme?

Lembaga dan Mentalitas 

Yang mendorong suatu negara berkembang adalah kualitas lembaga publiknya, seperti berbagai lembaga pemerintah, penegak hukum, parlemennya, militer dan lembaga pendidikan. Mereka adalah lembaga yang dibiayai dengan uang rakyat, yakni pajak, dan bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Mereka bertanggungjawab untuk kesejahteraan publik rakyat Indonesia. Mereka adalah motor pembangunan. 

Di Indonesia, lembaga-lembaga publik ini tidak bekerja dengan baik. Mayoritas dipenuhi korupsi. Uang rakyat digunakan untuk keperluan pribadi ataupun golongan semata. Akibatnya, banyak program untuk pengembangan kesejahteraan bersama tidak berjalan. 

Lembaga-lembaga ini telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Mereka mengingkari alasan keberadaannya, yakni demi kesejahteraan rakyat. Padahal, pimpinan-pimpinan utama mereka dipilih langsung oleh rakyat. Mengapa ini bisa terjadi? 

Di berbagai negara yang makmur, lembaga publik berkembang lintas generasi. Mereka sudah diciptakan sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak hal telah dipelajari, sehingga kini mereka bisa berfungsi dengan relatif baik. Ada mentalitas dan budaya yang sudah tercipta di dalam berbagai lembaga publik tersebut, yang mendukung proses proses kerja mereka. 

Ini tidak terjadi di Indonesia. Lembaga lembaga publik di Indonesia masih amat muda. Mereka tidak punya tradisi yang berkembang lintas generasi, seperti yang ditemukan di berbagai negara makmur. Mentalitas dan budaya lembaga yang ada hancur, akibat penjajahan selama ratusan tahun oleh Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis dan Jepang, serta juga oleh Orde Baru Suharto. 

Penjajahan telah merusak budaya dan mentalitas di Indonesia. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara Afrika dan Amerika Latin. Jejak jejak penjajahan masa lalu yang dipenuhi kekerasan, perbudakan, penipuan, penghisapan, pembunuhan massal serta penghancuran tata nilai masih mempengaruhi kehidupan saat ini. Kehancuran budaya dan mentalitas ini pula yang membuat banyak lembaga publik di Indonesia dan di berbagai negara tersebut cacat. 

Penjajahan Asing 

Sejujurnya, penjajahan asing belum berakhir di Indonesia. Infrastruktur ekonomi dan budaya kita masih amat tergantung sama asing. Mayoritas perusahaan besar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia masih dimiliki oleh asing. Perjanjian kerja yang dibuat antara pemerintah dan berbagai perusahaan asing tersebut juga kerap kali tidak adil. 

Banyak perusahaan asing mendirikan pabrik dan kantor di Indonesia. Mereka memanfaatkan standar gaji dan perlindungan pekerja yang rendah di Indonesia. Di beberapa tempat, mereka menggunakan kekerasan untuk menekan para pekerja. Para penegak hukum Indonesia disuap untuk diam, dan bahkan mendukung kekerasan yang terjadi. 

Beragam pengolahan sumber daya alam juga masih dikuasai oleh pihak asing. Manajemen puncak masih dipegang oleh orang orang asing. Mayoritas pekerja Indonesia hanya menjadi manajer rendah atau pesuruh belaka, walaupun kemampuan mereka setingkat dengan para pekerja asing, atau bahkan lebih baik. Perjanjian kerja yang dibuat antara beragam perusahaan asing dan pemerintah Indonesia pun kerap kali juga tidak adil. 

Yang lebih mengherankan lagi adalah soal struktur mata uang. Mengapa orang Eropa bisa dengan mudah liburan ke Indonesia, sementara kita sulit sekali untuk liburan ke Eropa? Yang jelas, mereka tidak lebih cerdas ataupun rajin, jika dibandingkan dengan orang Indonesia. Ini terjadi, karena struktur mata uang dunia yang tidak adil. 

Saya masih heran sampai sekarang dengan struktur mata uang tersebut. Jika diperhatikan dengan jeli, ini adalah sistem warisan masa penjajahan dahulu, ketika bangsa-bangsa Eropa secara agresif menyerbu berbagai negara lain di dunia. Sistem mata uang dunia adalah sistem yang secara inheren tidak adil dan berbau penjajahan serta penindasan. Ini memberikan kerugian yang amat besar untuk Indonesia, sekaligus keuntungan yang berlimpah ruah untuk negaranegara Eropa dan Amerika Serikat. 

Tata nilai kita juga kabur, akibat dominasi asing yang begitu kuat. Di satu sisi, banyak orang yang lebih bangga bergaya hidup Amerika dan Eropa, daripada menghayati nilai budaya tempat asalnya. Di sisi lain, banyak orang yang meniru budaya Arab, supaya kelihatan lebih saleh dan suci, walaupun sebenarnya dipenuhi kemunafikan. Kebingungan identitas antara budaya lokal Indonesia, budaya Arab Timur Tengah serta budaya AS dan Eropa ini berdampak luas, terutama dalam soal tata nilai yang menjadi dasar dari tindakan sehari-hari kita di Indonesia. 

Tersangka koruptor tiba-tiba menggunakan jilbab, ketika disidang. Ayat-ayat agama digunakan untuk menindas dan merugikan orang lain. Orang tergila-gila dengan merk asing, walaupun harganya sangat tidak masuk akal, dan mutunya biasa-biasa saja. Orang rela jadi budak asing, supaya dapat uang receh, suap ataupun cipratan hasil korupsi. 

Kerancuan tata nilai tersebut menciptakan kebingungan di banyak bidang, termasuk lembaga lembaga publik kita. Tekanan suap dari pihak asing dan dominasi budaya yang dipenuhi kemunafikan membuat beragam lembaga publik kita tersendat. Tak heran, kita tetap "miskin", walaupun sebenarnya kita kaya, amat sangat kaya. Kemiskinan akut di tengah "surga" dengan kekayaan melimpah bernama Indonesia, ironis bukan? 

Mengapa Kita "Miskin"? 

Sebagai bangsa, kita tetap "miskin", karena lembaga publik kita tidak memiliki mentalitas dan budaya yang cocok untuk melayani rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang bayang asing, baik dalam tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah). Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang Indonesia setara dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik dalam banyak hal. Jika kita bisa "memaksa" lembaga publik kita untuk menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dan bersikap kritis terhadap beragam pengaruh asing yang masuk, maka jalan menuju keadilan dan kemakmuran bersama di Indonesia terbuka luas. 

Tunggu apa lagi? 

Sumber : buku Tentang Manusia

Karya : Reza A.A Wattimena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun