Sejarah perjalanan bangsa ini tidak bisa lepas dari peranan mahasiswa, Mengapa ? Fakta-fakta sejarah membuktikan. Sebelum kemerdekaan, mahasiswa sebagai kaum terpelajar mempelopori terbentuknya organisasi Budi Utomo. Mereka jugalah pelopor penyelenggaraan kongres Pemuda pada tahun 1928 yang menghasilkan sumpah pemuda. Mahasiswa juga berperan mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Pasca reformasi mahasiswa sebagai kaum intelektual tak ubahnya sebagai pepesan kosong. Mahasiswa dihadapkan pada kompleksitas masalah yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Reformasi melahirkan sistem demokrasi baru di Indonesia. Lahirnya era reformasi di Indonesia yang bersamaan dengan datangnya arus globalisasi memberikan harapan akan kemajuan kehidupan namun disatu sisi menawarkan  kehidupan hedonisme, konsumerisme, dan matrealisme. Realitas kehidupan demikian menjadi medan wacana pertarungan nasib mahasiswa kedepan.
Seiring dengan lahirnya fase-fase baru, peranan mahasiswa di era kini seperti pepatah "Tong kosong nyaring bunyinya". Sorotan kritis terhadap mahasiswa tidak hanya pada aspek pergerakan (demonstrasi) melawan kebijakan pemerintah, tetapi peran dari para aktivis mahasiswa, Â yaitu fungsi mahasiswa sebagaiagent of intellectual.
Intelektual medioker, begitulah potret mahasiswa sekarang. Medioker adalah sebuah istilah untuk menggambarkan sesuatu yang tidak memiliki kelebihan. Jadi, inteletual medioker berarti kondisi dimana kaum intelektual tidak memiliki prestasi yang patut dibanggakan.
Sedangkan, Indonesia kedepan ditentukan oleh potret realitas mahasiswa sekarang. Eksistensi Indonesia masa depan sangat tergantung pada bagaimana mahasiswa pada masa kini berperan sebagai subyek intelektual dalam memainkan posisinya yang strategis bagi pembangunan bangsa Indonesia.
Kerapuhan karakter mahasiswa akibat budaya hedonisme yang masuk dalam dunia kampus, menjadikan mahasiswa krisis karakter, keagamaan identitas, konsumen. Mahasiswa sama sekali tidak mendapatkan konsekuensi yang layak dalam hal kemajuan.
Potret mahasiswa yang demikian berdampak pada proses perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pengkaderan dibeberapa tempat kini mengalami kemunduran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Ada banyak persoalan yang dihadapi HMI saat ini baik secara organisasi maupun individu kader. Persoalan HMI sekarang dapat disimpulkan dalam tiga aspek. Pertama, masalah rekruitmen kader yang menurun. HMI harus mampu menjadi "kampus kedua" bagi mahasiswa, sehingga mampu melahirkan kader intelektual tidak hanya melahirkan politikus.
Kedua, manajemen kepengurusan. Tidak solidnya kepengurusan mengakibatkan pengkaderan tidak berjalan.
Dan ketiga, politik praktis. Ada kecendrungan pengurus HMI cenderung berafiliasi terhadap partai politik, sehingga tugas organisasi tidak lagi independen dan cenderung pada kebutuhan politik dan kekuasaan. Sehingga tugas kita sebagai kader HMI harus mampu menerjemahkan tiga persoalan tersebut dalam sistem kerja organisasi.
Kini HMI mulai keluar dari garis khittahnya. HMI tidak mampu berperan sebagai intelektual organisasi, tapi masalah sebaliknya HMI cenderung mengabdikan dirinya kepada ambisi pragmatis.
HMI tanpa filosofi, gamang, terombang-ambing. Pengkaderan tanpa strategi, berharap keajaiban skill para pengurusnya yang medioker. HMI tanpa ruh, berlindung pada konglomerat mendandani pengurus HMI yang hanya fasih mengejar kekuasaan dan mengolah proyek.
Para aktor HMI sudah saatnya melakukan intropeksi arah gerakan secara serius. Apakah ada yang salah dengan HMI? Apakah sistem kaderisasi HMI tidak lagi kontekstual pada zamannya atau memang orang yang bergabung dalam HMI tidak mempunyai kompetensi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah segera ditemukan jawabannya.
HMI harus kembali pada khittah organisasi, yaitu sebagai organisasi kader yang memiliki tujuan yaitu terbinanya insan akademis pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah.
Dan HMI juga harus kembali mensinergiskan nilai-nilai keislaman dalam lanskap ke-Indonesiaan. Dengan demikian, HMI bisa menjadi solusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu bisa dilakukan jika para aktor organisasi HMI mampu bersikap independen baik secara etis maupun organisatoris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H