Lelah rasanya sejak pulang dari kampus siang tadi. Panas sekali udara pada saat matahari dititik paling tinggi siang ini. Tak sabar orang-orang menjadi berlari, capek berhenti, menunggu pun menjadi makan hati. Memang udara akhir-akhir ini semakin panas. Temperatur semakin meninggi, bahkan kampus yang terkenal hijau dengan "Green Campus" saja tak kuasa menahan Helios yang senang menyinari bumi.
Walaupun begitu, tetap ada waktu yang sangat nyaman bagiku untuk menikmati hari. Pukul 4.30--6.15 sore. Karena pada saat itu, suasana begitu nyaman, matahari tidak terlalu terik, angin berhembus sepoi-sepoi, dan tentunya orang-orang sekitar sudah tidak jenuh lagi. Tak mungkin bagiku melewati hari tanpa melalui 4.30--6.15 sore.
Setelah pulang kuliah, hanya tidur, duduk dan tidur lagi saja yang aku lakukan. Mahasiswa tingkat akhir, apa juga yang mau aku kerjakan. Hanya menunggu revisi dari dosen, dan ajakan teman saja yang tiba-tiba memintaku untuk menemani makan. Tetapi aku nyaman saja seperti itu, karena lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Tiba-tiba tercetus dipikiran untuk menghabiskan 4.30--6.15 sore tidak di kamar kos tetapi di sebuah kafe. Sepertinya ide yang menarik, pikirku.
Tak berpikir panjang, aku pun mengambil tas dan memasukkan buku yang sedang aku baca mengenai biografi perjuangan seorang pemberontak di negara amerika latin. Ada kafe baru di dekat tempat aku tinggal, menurut ulasan dari internet, sangat bagus sekali. Dengan ornamen klasik dan hampir semua furnitur kayunya juga dengan desain klasik, kafe tersebut langsung menjadi primadona warga kota kecil ini. Tentu saja akan ramai pikirku, tapi sudahlah, keramaian pun akan menjadi indah apabila dinikmati.
Aku mengambil tempat duduk dekat jendela yang langsung menghadap ke jalan. Sesuai perkiraan, ramai sekali kafe ini. Untuk dapat tempat duduk saja sudah beruntung. Minuman dan makanan yang aku pesan pun datang, sambil membaca buku yang aku bawa, terdengar juga perbincangan orang-orang sekitar.
"Presiden itu jangan seperti ini dong, masa mengurus yang besar saja, rakyat kecil bagaimana? kapan kita bisa maju?" ,
"Iya jangan pesimis lah, karena kita mahasiswa kita harus bisa membawa perubahan lebih baik di masa depan!", empat orang aktivis mahasiswa sedang berbincang mengenai negara dan idealisme mereka yang akan dipertahankan untuk menghadapi kehidupan. Tentu saja dengan jaket badan eksekutif mahasiswa kebanggaan mereka yang terpasang dibadannya.
"Iya bro, parah banget kan, anjing emang dia, gue udah bilang jangan make terus, eh gak mau dikasih tau sih", "terus lo apain?" "Ya anjir gak gue tolong lah, mati gue kena juga nanti, dia juga gak santai sih makenya" "HAHAHA bukan masalah santai, nyimpennya aja tolol dia"
Mahasiswa tingkat awal, baru pertama kali keluar rumah yang ditinggali bersama orang tua. Pertama kali mendapat uang untuk hidup sendiri. Bagi yang sudah terbiasa jauh dari orang tua menjadi semakin gila, yang baru pertama kali ikut menjadi gila. Barang berbahaya bagi hukum merupakan tantangan dan penerimaan status sosial bagi beberapa dari mereka.
Sudah sampai aku pada halaman 165, tepat pada Si Pemberontak tertangkap di tempat persembunyiannya, yaitu di pedalaman hutan ratusan kilometer dari kotanya. Ternyata salah satu orang kepercayaannya adalah agen pemerintah. Kecewa sekali Si Pemberontak, ingin rasanya membalas pengkhianatan itu, tetapi siapa yang akan membalas apabila esok si pemberontak sudah tak ada.
"Permisi, boleh saya duduk di sini?", suara seorang perempuan menanyakan.
Aku agak bingung dengan melihat sekeliling, memang sudah tidak ada tempat lagi. Karena aku hanya membaca buku, tidak ada salahnya dia duduk di depanku.
"Silahkan" , ujarku. Parasnya cantik, rambutnya pendek hanya sebahu, tinggi mungkin sekitar 163 cm, pakaian yang dipakai berwarna hitam dan membawa handbag berwarna merah, mungkin model kampus pikirku. Karena memang mukanya masih seumuran denganku.
Aku lanjut membaca kisah si pemberontak, dua halaman telah aku baca lagi, ternyata si pemberontak diajak untuk masuk ke dalam pemerintahan oleh Sang Presiden. Dengan janji, membenahi bersama dari dalam. Tentu dengan beberapa fasilitas yang dijanjikan oleh Sang Presiden. Entah apa yang pemberontak ini harus ambil, bekerja sama dengan orang yang sudah sangat dia benci karena ada kemungkinan berhasil atau tetap menolak tawarannya. Dia sudah berjuang untuk melawan pemerintahan Sang Presiden hampir 10 tahun. 10 tahun tanpa tidur yang tenang, hidup tak nyaman, kehilangan yang selalu datang. Apakah dia akan menyerah begitu saja?
"Sudah lama di sini?", perempuan tadi menanyakan.
"Iya, kira-kira sekitar 40 menit mungkin", jawabku.
"Oh iya, namaku Senja, kita belum berkenalan kan? Aku sudah langsung minta duduk depanmu saja tadi", sambil tersenyum dia memperkenalkan dirinya. Senja pikirku, saat ini sore hari menuju senja, dan ada seseorang bernama Senja didepanku. Aneh sekali.
"Aku Adi" , setelah bersalaman dia mulai bertanya mengenai diriku."Sering datang ke tempat ini?"
"Baru pertama kali kok", jawabku.
"Lihat bagus ya kafe ini, semua furnitur dan aksesorisnya menarik, oh kamu mahasiswa atau sudah kerja?"
"Iya bagus memang, langsung terkenal gara-gara instagram hahaha, Aku masih mahasiswa, kamu?"
Ternyata Senja adalah mahasiswi tingkat akhir dari Fakultas Ekonomi, dia juga terkadang menjadi model di beberapa majalah, atau online-online shop. Ya memang hal itu sedang terkenal sekarang ini. Pantas saja, terlihat dari perawakannya. Mungkin aku pernah melihatnya di sebuah majalah lokal kota ini. "Seharusnya hidup itu seperti ini ya, lihat mereka, bersemangat menceritakan ide-idenya untuk negeri, lucu ya. Pasti masih mahasiswa baru", ternyata dia juga memperhatikan orang sekitar pikirku.
Ada beberapa orang yang pertama kali bertemu dan mengajak berbicara lawan bicaranya tidak begitu lancar. Antara aneh, awkward, bingung, atau cuman basa-basi saja. Apalagi harus duduk disatu meja. Pasti mau tidak mau harus mengajak berbicara. Tetapi tidak dengan Senja, dia dengan lancar bisa mengalirkan pembicaraan antara aku dan dia.
Kemudian, Senja melihat ke jendela depan yang menghadap jalan. Ada beberapa kursi juga bagi para pengunjung kafe yang ingin menghabiskan waktu di luar. "Kenapa tadi tidak duduk di luar saja? Ini kan jam 5 sore, matahari sedang indah-indahnya, angin juga bertiup dengan lembut.", Senja bertanya kepadaku sesuatu yang memang dari tadi aku pikirkan. Ternyata dia juga menyukai waktu yang sama sepertinya. Waktu 4.30--6.15 sore. "Iya tadi inginnya di luar saja, tapi penuh banget kan."
"Iya juga sih, tapi not bad juga kan di sini. Sebenarnya, kalau apapun kita jalani tak usah dipikir panjang sih nggak bakal kepikiran nggak enak juga kan", Senja menjelaskan sembari tersenyum melihat jalan, dan memperhatikan orang-orang yang duduk di bagian depan dari kafe ini. Senja orang yang menarik, selalu tersenyum dan sepertinya menikmati sekali dengan apapun yang ia lakukan. Iri juga melihatnya. Aku orang yang selalu berpikir dan penuh pertimbangan. Apapun aku pertimbangkan, dan akhirnya tidak dilakukan.
Kami pun melanjutkan pembicaraan, mulai dari skripsi Senja yang tak kunjung usai karena dosen pembimbingnya selalu keluar kota, Kegiatanku yang suka mengambil foto-foto alam, musik yang kami suka, film terakhir yang kami tonton dan akhirnya sampai sejarah negara kami. Bahkan kami berbicara hal-hal yang tidak penting, seperti bertanya furnitur kafe ini kenapa harus memakai kayu, kayu yang dipakai berapa harganya, pasti mahal. Semua tak terasa hingga matahari hampir terbenam. Pembicaraan yang menyenangkan dipenuhi tawa. Anehnya, kami baru saja berkenalan.
"Lihat, ini foto aku unuk majalah A-Z. Tau kan majalah itu? waktu itu seru banget, dan pas temanya kalau tidak salah tentang Wild West. Akhirnya aku dan tim majalah pergi ke suatu tempat yang seperti gurun. Pokoknya mirip seperti film-film cowboy, dan banyak kuda juga"Â dengan semangat Senja memperlihatkan foto-fotonya. Bagus sekali dan karena memang Senja menarik jadi fotonya memang bagus. Kemudian, Senja meminta untuk melihat foto-foto alam yang sudah aku ambil. Aku berjanji untuk menunjukkannya kalau kami bertemu lagi. Karena memang semuanya aku simpan di dalam hard disk yang tersimpan di kosan. Pembicaraan kami pun berlanjut, ternyata Senja juga menyukai Harry Potterdan Lord of the Ring.Kami mempunyai pikiran yang sama kalau seharusnya The Hobbitstidak perlu menjadi 3 parts dan Harry Potter and the Deathly Hallowstak perlu menjadi 2 parts. Karena malas untuk menonton dan mengantri walaupun kami fans berat.
"Sudah hampir maghrib nih, tidak terasa ya, matahari sudah mau terbenam", aku berkata kepada Senja sambil melihat jendela. Matahari terlihat hampir terbenam. "Wah, iya, aku harus pergi. Ada janji dengan teman aku di kampus, lupa nih, nggak enak kalau telat." Senja dengan cepat mengambil tas dan mengeluarkan dompet untuk membayar pesanannya. "Aku titip kamu saja ya, sudah pas kok" sambil tersenyum Senja bersiap-siap.
Aku teringat sesuatu, "Senja, pernah nggak sih orang tua kita bilang kalau Maghrib jangan pergi keluar rumah, katanya kan setan berkeliaran." Senja hanya tersenyum, "Iya Di, aku tau kok, kamu masih ingat juga ya, aku juga masih ingat kok. Kan kalau dijalani saja tanpa dipikirkan, not bad kok Di." Senja mengulang perkataannya yang pada awal kami bertemu. Dijalani saja dan tak usah banyak pikir, It will be fine.
"Hahaha, iya, kamu masih ingat juga, hati-hati ya di jalan, oh nanti kapan-kapan kita bertemu lagi di kafe yang lain ya, nanti aku bawa foto-fotonya" Senja kembali tersenyum dan menanyakan nomor teleponku yang bisa dihubungi. "Oke, lain kali aku chatkamu ya Di, aku harus cepat-cepat nih, tidak enak sudah janji." Senja kemudian terdiam sambil melihat jendela yang menghadap ke jalan. Aku pun bingung, apa sebenarnya yang ia lihat. "Senja, katanya harus pergi, kenapa melamun?"
"Oh iya, nggak kok, cuman melihat langit saja, bagus ya warnanya agak kemerah-merahan, pertama kali aku benar-benar memperhatikan waktu matahari berpindah, sepertinya matahari dan bulan sedang berganti menjaga kita." Senja kemudian mengucapkan sampai bertemu lagi kepadaku. "Memang bagus sih, langitnya", pikirku sambil melihat langit yang kemerahan.
Aku kembali kepada buku tentang pemberontak amerika latin yang aku baca, tak terasa niatnya membaca buku tetapi bertemu perempuan yang menarik seperti Senja, buku yang aku suka akhirnya harus diabaikan. Sambil meminum teh yang aku pesan, aku mulai membaca lagi buku tersebut. Si Pemberontak ternyata berhasil dibebaskan oleh para pengikutnya. Para pengikutnya meledakkan penjara tempat Si Pemberontak dikurung. Walaupun dengan risiko beberapa orang lain di penjara tersebut juga dapat terbebas karena ledakan tersebut. Bisa jadi beberapa orang tersebut juga musuh Si Pemberontak, tetapi pengikut Si Pemberontak percaya bahwa yang mereka lakukan akan membawa kebaikan lebih daripada mereka hanya terdiam membiarkan Si Pemberontak mati tanpa perjuangan.
Suara ban mobil berdecit kencang, orang-orang di depan kafe berteriak, dan suara sesuatu yang ditabrak oleh mobil berkecepatan tinggi terdengar sampai dalam kafe. Aku langsung melihat ke jendela dan berdiri untuk melihat lebih jelas.
Handbag berwarna merah, dan baju berwarna hitam yang terpasang pada sebuah badan tergeletak di jalan penuh darah. Aku hanya bisa duduk kembali, dan terdiam. Orang-orang kebingungan dan ada beberapa yang menutupi jalan mobil yang menabrak untuk mencegah tabrak lari. Seorang anak laki-laki lari menuju ibunya karena takut mendengar teriakan orang-orang. Semuanya menjadi berubah, tepat pada saat langit menjadi gelap, matahari hampir pulang. Senja tertabrak oleh mobil. Maghrib mengambil Senja.
Karena tidak percaya, aku tidak bisa menggerakkan kakiku, hanya bisa terdiam di tempat dudukku saja. Padahal, tadi kami berbincang tentang maghrib sudah datang, setan berkeliaran. Tetapi itu hanya bercanda, karena tidak ada dari aku dan Senja yang berpikir akan terjadi sesuatu. Seharusnya, aku benar-benar memperingatkan Senja kalau jangan pergi dulu karena memang tidak baik. Aku hanya menunduk kaget, tak percaya dengan apa yang terjadi.
Orang-orang yang di dalam kafe pun sudah keluar, melihat apa yang terjadi. Ada yang berusaha memanggil dokter, polisi, ambulans. Ada yang hanya terdiam melihat, dan mengabadikannya dengan kamera ponsel. Ada yang memukuli pengemudi yang menabrak. Suasana di luar sudah tidak terkendali, hari sudah menjadi gelap. Jam menunjukkan pukul 6.16 sore.
Aku pun melihat tempat duduk Senja, tak percaya beberapa menit yang lalu ia masih di depanku. Matahari senja sudah tidak menerangi tempat duduk Senja. Senja seseorang yang baik dan ramah. Jarang sekali aku betemu perempuan seperti Senja. Dengan mudah ia mengajakku berbicara, dengan mudah juga ia memalingkan perhatianku dari buku yang aku baca. Bahkan aku masih ingat cara dia berbicara dan nada bicaranya. Aku masih tak percaya.
Kafe sudah menjadi gelap, karena si pemilik kafe juga keluar untuk membantu Senja, dia lupa untuk menyalakan lampu. Aku melihat sekeliling, kafe ini sudah sepi, mungkin aku harus berdiri untuk menenangkan kondisi di luar, mungkin juga hanya aku yang mengenal Senja di sini. Pada saat akan berdiri, aku melihat seseorang di belakang tempat duduk Senja, berdiri, pria berbadan tinggi. Badannya tinggi besar, tetapi aku tak bisa melihat wajahnya. Dia menggunakan jubah hitam yang sangat panjang sampai menutupi kakinya. Kepalanya tertutupi penutup kepala dari jubahnya. Mendekat, ia semakin mendekat kepadaku. Aku hanya bisa terdiam, tak bisa menggerakkan kaki bahkan seluruh badanku, tak mampu aku bediri lagi. Napasku mulai terengah-engah dan detak jantung semakin meninggi. Sekarang di depanku bukan lagi tempat duduk Senja, Pria itu tepat berdiri di depanku, tinggi besar, menutupi segalanya. "Apa Maghrib datang untukku juga?"
Jakarta, 19 September 2015.
Cerpen ini juga terdapat pada https://medium.com/@fachryhabib/senja-pun-datang-kepadaku-2d6889bfb884Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H