Ada beberapa orang yang pertama kali bertemu dan mengajak berbicara lawan bicaranya tidak begitu lancar. Antara aneh, awkward, bingung, atau cuman basa-basi saja. Apalagi harus duduk disatu meja. Pasti mau tidak mau harus mengajak berbicara. Tetapi tidak dengan Senja, dia dengan lancar bisa mengalirkan pembicaraan antara aku dan dia.
Kemudian, Senja melihat ke jendela depan yang menghadap jalan. Ada beberapa kursi juga bagi para pengunjung kafe yang ingin menghabiskan waktu di luar. "Kenapa tadi tidak duduk di luar saja? Ini kan jam 5 sore, matahari sedang indah-indahnya, angin juga bertiup dengan lembut.", Senja bertanya kepadaku sesuatu yang memang dari tadi aku pikirkan. Ternyata dia juga menyukai waktu yang sama sepertinya. Waktu 4.30--6.15 sore. "Iya tadi inginnya di luar saja, tapi penuh banget kan."
"Iya juga sih, tapi not bad juga kan di sini. Sebenarnya, kalau apapun kita jalani tak usah dipikir panjang sih nggak bakal kepikiran nggak enak juga kan", Senja menjelaskan sembari tersenyum melihat jalan, dan memperhatikan orang-orang yang duduk di bagian depan dari kafe ini. Senja orang yang menarik, selalu tersenyum dan sepertinya menikmati sekali dengan apapun yang ia lakukan. Iri juga melihatnya. Aku orang yang selalu berpikir dan penuh pertimbangan. Apapun aku pertimbangkan, dan akhirnya tidak dilakukan.
Kami pun melanjutkan pembicaraan, mulai dari skripsi Senja yang tak kunjung usai karena dosen pembimbingnya selalu keluar kota, Kegiatanku yang suka mengambil foto-foto alam, musik yang kami suka, film terakhir yang kami tonton dan akhirnya sampai sejarah negara kami. Bahkan kami berbicara hal-hal yang tidak penting, seperti bertanya furnitur kafe ini kenapa harus memakai kayu, kayu yang dipakai berapa harganya, pasti mahal. Semua tak terasa hingga matahari hampir terbenam. Pembicaraan yang menyenangkan dipenuhi tawa. Anehnya, kami baru saja berkenalan.
"Lihat, ini foto aku unuk majalah A-Z. Tau kan majalah itu? waktu itu seru banget, dan pas temanya kalau tidak salah tentang Wild West. Akhirnya aku dan tim majalah pergi ke suatu tempat yang seperti gurun. Pokoknya mirip seperti film-film cowboy, dan banyak kuda juga"Â dengan semangat Senja memperlihatkan foto-fotonya. Bagus sekali dan karena memang Senja menarik jadi fotonya memang bagus. Kemudian, Senja meminta untuk melihat foto-foto alam yang sudah aku ambil. Aku berjanji untuk menunjukkannya kalau kami bertemu lagi. Karena memang semuanya aku simpan di dalam hard disk yang tersimpan di kosan. Pembicaraan kami pun berlanjut, ternyata Senja juga menyukai Harry Potterdan Lord of the Ring.Kami mempunyai pikiran yang sama kalau seharusnya The Hobbitstidak perlu menjadi 3 parts dan Harry Potter and the Deathly Hallowstak perlu menjadi 2 parts. Karena malas untuk menonton dan mengantri walaupun kami fans berat.
"Sudah hampir maghrib nih, tidak terasa ya, matahari sudah mau terbenam", aku berkata kepada Senja sambil melihat jendela. Matahari terlihat hampir terbenam. "Wah, iya, aku harus pergi. Ada janji dengan teman aku di kampus, lupa nih, nggak enak kalau telat." Senja dengan cepat mengambil tas dan mengeluarkan dompet untuk membayar pesanannya. "Aku titip kamu saja ya, sudah pas kok" sambil tersenyum Senja bersiap-siap.
Aku teringat sesuatu, "Senja, pernah nggak sih orang tua kita bilang kalau Maghrib jangan pergi keluar rumah, katanya kan setan berkeliaran." Senja hanya tersenyum, "Iya Di, aku tau kok, kamu masih ingat juga ya, aku juga masih ingat kok. Kan kalau dijalani saja tanpa dipikirkan, not bad kok Di." Senja mengulang perkataannya yang pada awal kami bertemu. Dijalani saja dan tak usah banyak pikir, It will be fine.
"Hahaha, iya, kamu masih ingat juga, hati-hati ya di jalan, oh nanti kapan-kapan kita bertemu lagi di kafe yang lain ya, nanti aku bawa foto-fotonya" Senja kembali tersenyum dan menanyakan nomor teleponku yang bisa dihubungi. "Oke, lain kali aku chatkamu ya Di, aku harus cepat-cepat nih, tidak enak sudah janji." Senja kemudian terdiam sambil melihat jendela yang menghadap ke jalan. Aku pun bingung, apa sebenarnya yang ia lihat. "Senja, katanya harus pergi, kenapa melamun?"
"Oh iya, nggak kok, cuman melihat langit saja, bagus ya warnanya agak kemerah-merahan, pertama kali aku benar-benar memperhatikan waktu matahari berpindah, sepertinya matahari dan bulan sedang berganti menjaga kita." Senja kemudian mengucapkan sampai bertemu lagi kepadaku. "Memang bagus sih, langitnya", pikirku sambil melihat langit yang kemerahan.
Aku kembali kepada buku tentang pemberontak amerika latin yang aku baca, tak terasa niatnya membaca buku tetapi bertemu perempuan yang menarik seperti Senja, buku yang aku suka akhirnya harus diabaikan. Sambil meminum teh yang aku pesan, aku mulai membaca lagi buku tersebut. Si Pemberontak ternyata berhasil dibebaskan oleh para pengikutnya. Para pengikutnya meledakkan penjara tempat Si Pemberontak dikurung. Walaupun dengan risiko beberapa orang lain di penjara tersebut juga dapat terbebas karena ledakan tersebut. Bisa jadi beberapa orang tersebut juga musuh Si Pemberontak, tetapi pengikut Si Pemberontak percaya bahwa yang mereka lakukan akan membawa kebaikan lebih daripada mereka hanya terdiam membiarkan Si Pemberontak mati tanpa perjuangan.
Suara ban mobil berdecit kencang, orang-orang di depan kafe berteriak, dan suara sesuatu yang ditabrak oleh mobil berkecepatan tinggi terdengar sampai dalam kafe. Aku langsung melihat ke jendela dan berdiri untuk melihat lebih jelas.