Dengan meningkatnya jumlah populasi muslim global, para pebisnis di seluruh dunia mulai memperhatikan kebutuhan segmen pasar muslim yang terus tumbuh dan berkembang. Salah satunya yaitu sektor pariwisata yang meningkat secara signifikan dengan menggaungkan istilah "wisata halal" atau "wisata ramah muslim".Â
Populasi  muslim  saat  ini  sekitar 30 persen dari total populasi dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan  populasi  muslim antara  tahun 2015 hingga 2060  meningkat  sebesar 70 persen sedangkan populasi dunia meningkat sebesar 32 persen atau sama dengan jumlah  populasi  dunia  pada  tahun 2060 sebanyak 9.6 miliar.
Sementara itu, Â pengeluaran pariwisata global diperkirakan akan mencapai $ 1,85 triliun pada tahun 2020 dengan asumsi pertumbuhan tahunan 6,75%, pengeluaran wisata muslim diperkirakan akan tumbuh dari US$ 142,3 miliar pada tahun 2014 menjadi US$ 233,3 miliar pada tahun 2020 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8,6%.Â
Menurut data yang dikeluarkan oleh Global Muslim Travel Index, pasar wisata muslim berada di jalur cepat untuk mencapai pertumbuhan sebesar US$ 220 miliar pada tahun 2020. Dan juga diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar US$ 80 miliar sehingga menembus angka US$ 300 miliar pada tahun 2026.Â
Melihat grafik tersebut, berbagai negara di seluruh dunia berlomba-lomba mempromosikan diri sebagai destinasi wisata halal dan mendukung upaya sektor swasta dalam pengembangan produk dan layanan wisata ramah muslim.Â
Dalam dekade terakhir, sejumlah penyelenggara pariwisata sudah memodifikasi penawaran mereka untuk mengakomodir kebutuhan pelancong muslim, sehingga memacu agen wisata lainnya untuk berkecimpung pada peluang wisata halal. Dengan meningkatnya tren bisnis pada sektor ini, sudah pasti terdapat tantangan yang muncul bagi para pelaku bisnis.Â
Menurut Comcec dalam Muslim Friendly Tourism; Developing and Marketing Products and Services in the OIC Members Countries, bahwa ada beberapa tantangan yang dihadapi para stakeholders dalam memenuhi kebutuhan pasar pariwisata muslim.Â
Pertama, standarisasi dan sertifikasi. Tidak adanya sertifikat halal secara global untuk standarisasi wisata ramah muslim, ditambah dengan luasnya variasi kebijakan dalam status halal, merupakan tantangan tersendiri bagi produk dan penyedia jasa ini.Â
Ketidaksesuaian itu membuat bingung para pelaku pasar wisata halal terutama ketika dalam satu negara terdapat beberapa lembaga sertifikasi yang masing-masing memiliki persyaratan dan standar yang berbeda-beda.Â
Tantangan Ini merupakan area dimana pemerintah dapat memainkan peran penting dalam hal bekerja sama untuk menciptakan standar terpadu atau meningkatkan kesadaran pentingnya sertifikasi untuk penyedia jasa ini. Di Indonesia, pemerintah melalui MUI setidaknya telah mengeluarkan fatwa DSN-MUI/X/2016 tentang  Pedoman  Penyelenggaraan  Parawisata  Berdasarkan  Prinsip  Syariah.
Kedua, Kurangnya produk dan layanan wisata halal yang dikembangkan dengan baik di berbagai negara. Ada perbedaan besar antara negara-negara OKI dalam hal tingkat pengembangan produk dan layanan sektor ini.Â
Sementara negara-negara seperti Malaysia, Turki dan Uni Emirat Arab menyediakan layanan wisata halal tingkat tinggi, negara OKI lainnya seakan tertinggal dalam mempromosikan layanan wisata ramah muslim yang mereka miliki. Disamping itu, pada prakteknya banyak penyedia produk dan jasa wisata halal yang belum menjalankan prinsip syariah dengan baik.Â
Seperti fasilitas kolam renang yang masih dicampur antara pria dan wanita ataupun karyawan wanita yang belum menggunakan pakaian muslimah. Hal ini dapat membuat pandangan masyarakat bahwa wisata halal hanya sebatas branding.
Ketiga, melayani turis muslim dan non-muslim. Hal ini mungkin cukup sulit diterapkan pada destinasi tertentu atau dilakukan oleh penyedia tur, ditambah dengan penolakan dari berbagai pihak yang menganggap bahwa praktik pariwisata halal hanya akan menghambat pengembangan destinasi wisata suatu daerah.Â
Sebut saja Bali dan NTT. Beberapa pihak menolak dikembangkannya wisata halal di daerah ini karena dianggap akan berimplikasi negatif bagi wisatawan mancanegara atau non-muslim.
 Ketersediaan alkohol di hotel juga menjadi masalah besar bagi manajemen hotel internasional, karena ketika tidak menyajikan alkohol maka mereka akan kehilangan pendapatan dari barang tersebut, dan secara tidak langsung berpengaruh pada jumlah pengunjung di restoran hotel dan jumlah tamu.Â
Namun beberapa daerah berhasil menyelesaikan masalah dalam mengakomodir wisatawan muslim dan non-muslim dengan menyediakan area terpisah untuk masing-masing kelompok sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka yang berbeda.Â
Contohnya adalah pulau Lombok di Indonesia, dimana pemerintah daerah telah mengidentifikasi daerah-daerah yang sesuai untuk tamu muslim dan non-muslim.
Perbedaan ini pun berpengaruh pada strategi pemasaran. Para pelaku bisnis dapat mengatasi hal ini dengan cara melakukan pemasaran melalui media muslim atau menentukan lokasi negara tertentu sebagai target. Sehingga pemasaran yang dilakukan lebih efektif karena pangsa pasarnya adalah konsumen muslim seperti negara-negara yang tergabung dalam OKI.Â
Adapun strategi lain untuk tetap dapat menarik konsumen muslim dan non-muslim adalah dengan mengemas produk dan pelayanan sedemikian rupa sehingga tidak terlihat perbedaan diantara keduanya. Misalnya dengan menekankan pada aspek kesehatan atau branding hotel ramah keluarga tanpa menggunakan istilah muslim atau halal.Â
Keempat, investasi industri wisata halal. Hambatan besar bagi pertumbuhan sektor ini pada umumnya adalah keengganan investor untuk membiayai pengembangan produk dan layanan wisata halal. Dalam industri perhotelan, investor takut kehilangan pendapatan dalam makanan dan minuman jika mereka berinvestasi pada hotel yang tidak menyediakan minuman beralkohol atau biasa disebut "dry hotel".Â
Hal ini dapat diatasi dengan hadirnya pemerintah dalam mendukung pengembangan wisata halal, sehingga dapat mempengaruhi para investor untuk ikut serta dalam potensi bisnis ini.Â
Di negara-negara non-Muslim dimana biaya wisata cukup mahal, pemerintah memberikan dukungan kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk menyesuaikan bisnis mereka dengan kebutuhan wisatawan muslim dan juga untuk memenuhi persyaratan sertifikasi halal.Â
Pemerintah Jepang telah mencoba mendorong bisnis lokal untuk memenuhi kebutuhan pelancong muslim dengan menawarkan subsidi bisnis ini untuk membantu mereka mengembangkan produk halal serta memperoleh sertifikasi halal. Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2016 kementrian pariwisata mengalokasikan 10 persen dari dana promosinya untuk pengembangan pariwisata halal atau mencapai angka 4 triliun rupiah.
Dengan melihat potensi dan tantangan industri wisata halal diatas, diharapkan para pelaku bisnis dan pemangku kebijakan dapat berkoodinasi dengan baik sehingga tren wisata ramah muslim dapat berkembang secara signifikan dan membantahkan argumentasi bahwa istilah halal hanya sekedar branding.
*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia, Fakultas Sekolah Kajian Stratejik & Global, Bidang Studi Kajian TImur Tengah & Islam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI