Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.Â
Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Oleh karena itu seseorang yang melanggar undang-undang pidana akan dimintai pertanggungjawaban pidana.
Hukum pidana mengenal adanya alasan-alasan atau pengecualian-pengecualian tertentu dimana seseorang tidak dapat dipidana karena alasan itu, dan daluwarsa adalah salah satu dari alasan seseorang tidak dapat dipidana. Hukum pidana atau lebih spesifik lagi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal adanya daluwarsa terhadap penuntutan pidana.Â
Daluwarsa merupakan lewatnya waktu yang menjadi sebab penghapusan pidana untuk melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pada dasarnya semua pelaku tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, tetapi ada hal-hal yang menghapus pemidanaan seperti karena daluwarsa.
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.Â
Meskipun kadang-kadang hanya didapatkan suatu perbedaan terminology untuk tidak diterapkan peraturan hukum pidana, dalam ilmu pengetahuan diperlukan perbedaan dasar yaitu atas dasar alasan penghapus penuntutan (Vervolgingsuitsluitings Gronden)Â dan atau atas dasar alasan penghapus pidana (Strafuitssluitings Gronden), hal ini memang disebabkan pembuat undang- undang dalam merumuskan redaksi suatu pasal yang memberikan kemungkinan untuk tidak dapat diterapkan hukum pidana. Jokers memberi tanda perbedaan, bahwa Strafuitsluitings Gronden adalah penyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rehtsvervolging), sedangkan pada Vervolgingsuitsluitings Gronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum.Â
Agarnya lebih nampak jelas apabila perbedaan antara alasan penghapus penuntutan dan alasan penghapus pidana itu dilihat didalam Aturan Umum Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disitu terdapat dasar alasan penghapus penuntutan (Vervolgingsuitsluitings Gronden) dari ketentuan dalam Pasal 2-8 mengenai batas berlakunya peraturatan perundang-undangan hukum pidana, 61- 62 mengenai penuntutan, Pasal 72 mengenai delik pengaduan, Pasal 76 mengenai asas ne bis in idem, Pasal 77-78 mengenai hapusnya penuntutan karena terdakwa meninggal dan karena daluwarsa.Â
Sedangkan dasar alasan penghapus pidana (Strafuitsluitings Gronden)Â terdapat dalam Pasal 44 mengenai tidak mampu bertanggung jawab, Pasal 48 mengenai daya paksa, Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa, Pasal 51 mengenai melaksanakan ketentuan undang- undang, Pasal 51 mengenai melaksanakan perintah jabatan, Pasal 59 mengenai pengurus yang tidak ikut melakukan pelanggaran.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981, juga berkaitan dengan ketentuan daluwarsa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenal adanya ketentuan tentang penghentian penyidikan dengan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), dan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2).Â
Dasar hukum SP3 adalah dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Pasal 109 Ayat 2, penyidik baik Kepolisian Republik Indonesia maupun PPNS dalam mengeluarkan SP3 atas penyidikan suatu perkara haruskan berdasarkan pada alasan yang diatur dalam undang- undang, dimana alasan tersebut adalah, pertama tidak terdapat cukup bukti, kedua peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan yang ketiga penyidikan dihentikan demi hukum (terdakwa meninggal dunia Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perkara nebis in idem Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perkara sudah daluwarsa/verjaring Pasal 78-85 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan Pasal 75 dan Pasal 284 Ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
JANGKA WAKTU DALUWARSA DALAM TINDAK PIDANA
Daluwarsa dalam hukum pidana sendiri, seperti yang telah dijelaskan diatas, pengaturannya terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam pasal 78 ayat (1) poin 2 "mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, tenggang daluwarsanya enam tahun". Pada poin 3 "mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, tenggang daluwarsanya dua belas tahun. Pada poin 4 "mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, tenggang daluwarsanya delapan belas tahun. Sedangkan pada ayat (2) menjelaskan "bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa diatas dikurangi menjadi sepertiga".
Pada pasal 79 menjelaskan "Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
- Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
- Mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328 (penculikan), 329 (makelar), 330 (penculikan anak), dan 333 (penyekapan dan penculikan), tenggang dimulai pada hari sesudah orang yang langsung kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
- Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 (surat perkawinan) sampai dengan pasal 558a (surat-surat), tenggang dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan dipindah ke kantor tersebut.
KASUS YANG DIMUNGKINKAN DALUWARSA TINDAK PIDANA DI INDONESIA
KASUS SUAP HARUN MASIKU
Salah satu perkara yang menyita perhatian masyarakat, yakni suap Pergantian Antar Waktu (PAW) caleg DPR RI 2019 yang lalu tak kunjung terungkap. Sejauh ini KPK baru berhasil meringkus penerima suap, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dan pihak perantara, Saeful Bachri dan Donny Istiqomah.Â
Sedangkan pemberi suap Harun Masiku caleg dari PDIP masih berkeliaran tanpa adanya proses hukum. Maka sudah empat tahun pencarian KPK terhadap buronan Harun Masiku mandek begitu saja. Jika dilihat dari kasus tersebut merupakan kasus suap yang terdapat dalam pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 209 KUHP yang dimana ancaman pidana maksimal lima tahun, sehingga tenggang daluwarsa menurut pasal 78 ayat (1) poin 3 yaitu selama dua belas tahun.Â
Setelah dua belas tahun maka penyidik mengeluarkan SP3 (surat pemberitahuan penghentian penyidikan). tetapi dalam kasus korupsi masih menjadi ambigu apakah kasus korupsi dapat dikenakan daluwarsa atau tidak. Karena dalam ketentuan international yang tidak mengenal daluwarsa salah satunya yaitu kasus korupsi, diatur dalam United Nation Convention Againts Corruption 2003 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, namun dalam Undang-undang no. 46 tahun 2009 tentang hukum acara atau pengadilan tindak pidana korupsi tidak diatur secara eksplisit mengenai daluwarsa, maka yang akan berlaku disini ialah KUHP. sehingga daluwarsa dalam tindak pidana korupsi dimungkinkan.
KASUS PEMBUNUHAN VINA CIREBON
Kasus ini sudah sangat lama, kejadian tersebut terjadi pada tahun 2016, yang dimana korban yang masih di bawah umur. pelaku berjumlah sebelas orang, delapan pembunuh vina itu ditangkap pada 31 september 2016.Â
Sedangkan ketiga pelaku sampai saat ini belum tertangkap dan sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Para pelaku yang ditangkap itu dijerat pasal 338 (pembunuhan), 351 (penganiayaan), 170 (pengeroyokan), dan 285 (pemerkosaan) KUHP serta undang-undang perlindungan anak. Dilihat beberapa pasal yang dikenakan yang ancaman maksimal pidana diatas tiga tahun maka tenggang daluwarsanya dua belas tahun. Setelah dua belas tahun maka penyidik mengeluarkan SP3 (surat pemberitahuan penghentian penyedikan).
Daluwarsa merupakan salah satu alasan seseorang tidak dapat dituntut dan hilang kewajibannya menjalankan pidana, namun apabila ketentuan daluwarsa ditinjau dari sudut fungsi hukum pidana, maka akan ditemukan kejanggalan, karena pada dasarnya fungsi hukum pidana berkenaan dengan perlindungan masyarakat dari kejahatan.Â
Maka dapatlah diketahui pula fungsi hukum pidana yakni memiliki fungsi ganda. Fungsi yang pertama yaitu fungsi primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian pola kriminal) dan yang sekunder, ialah sebagai sarana pengaturan tentang control social sebagaimana alat perlengkapannya.Â
Dalam fungsi kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat didasari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar. Fungsi kedua perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena menyangkut adanya kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia jika digunakan secara tidak benar. Bukti penggunaan hukum pidana untuk kepentingan penguasa telah pernah dialami selama masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Ditinjau dari hak asasi manusia di Indonesia, ketentuan tentang hapusnya hak menuntut dan kewajiban menjalankan pidana karena daluwarsa bertentangan dengan hak asasi manusia, karena hukum pidana yang seharusnya memberikan jaminan akan keadilan bagi setiap individu yang merupakan korban dari setiap tindak pidana, sehingga orang yang melakukan tindak pidana harus dipidana, malah sebaliknya tidak dipidana.Â
Jaminan akan keadilan merupakan bagian dari hak asasi manusia jaminan ini dapat kita temukan dalam regulasi nasional Indonesia tentang Hak Asasi Manusia, mulai dari Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Apabila kita menilai berdasarkan teori tangga Hans Kalsen maupun teori Hukum Kodrati Hak Asasi Manusia bahkan beberapa teori tentang keadilan dari Plato, Aristoteles, Gustav, bahkan keadilan dalam konsep Pancasila, bertentangan dengan ketentuan daluwarsa dalam hukum pidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H