Selanjutnya, pembenahan manajemen pun dilakukan dan kesejahteraan karyawan juga diperhatikan. Konflik dianggap sebagai momentum untuk membenahi kekurangan. "Yang bagus bukanlah organisasi yang sempurna, tapi organisasi yang selalu dengan teratur dan dengan 'tak terlalu sulit disempurnakan, diperbaiki," kata Goenawan. Pada 1990, eksodus kembali terjadi. Sebanyak 20 wartawan spontan keluar. Ada yang mendirikan majalah baru, Prospek, yang dimodali pengusaha Sutrisno Bachir; ada yang bergabung ke harian Berita Buana.
Alasan utama eksodus kali ini ada dua: pertama, tawaran kesejahteraan dan jenjang karir yang menggiurkan di tempat lain; kedua, beredarnya isu kristenisasi di tubuh Tempo. Khusus kristenisasi, isu agama ini membuat tubuh Tempo menjadi tidak sehat.
Pembredelan II
Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan majalah yang sedang berkembang: Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga, penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.
Kalau dulu syarat terbit kembali sangat mudah, hanya bertanda tangan di secarik kertas, kali ini sangat sulit. Keluarga Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam penjelasannya kepada Erick Samola di sebuah pertemuan di hotel memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka (Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo. Jajaran pemimpin Tempo mendiskusikan syarat tersebut. Semuanya kemudian bersepakat untuk menolaknya. Mereka rela Tempo tidak pernah terbit lagi. Ini adalah persoalan integritas diri, alasannya.
Pembredelan tiga media tersebut di atas menyulut pelbagai demonstrasi massa. Salah satunya, demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994 oleh para aktifis, mahasiswa, dan buruh. Di tubuh PWI juga terjadi demonstrasi. Sebagian wartawan seperti Ahmad Taufik, Dita Indah Sari, dan lainnya sepakat untuk mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka menuduh PWI berdiri di bawah ketiak pemerintah.
Walau pun dibredel, Tempo punya cara sendiri untuk tetap eksis dan menyapa pembacanya. Pada 1996, Tempo meluncurkan majalah digital pertama di Indonesia: Tempo Interaktif, melalui situs www.tempo.co.id. Karena beredar di dunia maya, majalah ini lolos dari jangkauan pembredelan.
Meskipun Tempo tetap eksis, sebagian wartawannya tidak tahan hidup tanpa penghasilan yang jelas. Mereka pun keluar: Lukman Setiawan, Mahtoem Mastoem, Harjoko Trisnadi, Herry Komar, Amran Nasution, dan Agus Basri. Mereka kemudian mendirikan majalah Gatra yang dimodali Bob Hasan, pengusaha dan orang kepercayaan Presiden Soeharto. Sebagian yang lain bergabung di majalah Forum dan tabloid Kontan.
Reformasi Mei 1998: Soeharto Terbenam, Tempo Bersinar
Jatuhnya Presiden Soeharto pada reformasi 21 Mei 1998 dan naiknya BJ Habibie sebagai Presiden memberi angin segar bagi masa depan Tempo. Ya, benar saja, BJ Habibie mencabut pembredelan Tempo dan mengizinkannya untuk terbit kembali. Gayun bersambut, awak Tempo bergerak. Sekira 40 orang berkumpul di Teater Utan Kayu untuk memikirkan Tempo baru.
Hasilnya, melalui PT Arsa Raya Perdana dan dengan investasi baru sekira Rp 5 milliar, Tempo edisi perdana pascabredel terbit pada Selasa, 6 Oktober 1998. "Kami makin sadar: ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang nafkah dan kepuasan profesional, yakni kemerdekaan dan harga diri," tulis editorial perdana Tempo pascabredel.