Masing-masing dari kita, biasanya minta berhenti. Bukan karena nyerah, tetapi hanya istirahat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Kita susuri perjalanan itu dengan kebahagiaan, iya memang kita pemuda yang membutuhkan itu
Aku memperhatikannya, dan begitupun dia. Kita saling perhatian satu sama lain untuk menunjukkan keromantisan kita.
Sesampainya di puncak, aku mendirikan tenda. Tetapi tidak hanya punyaku, punya dia juga aku dirikan. Tenda kita harus berdiri sama-sama. Ada alasan kenapa kita tidak bisa satu tenda, iya karena di puncak susah mengendalikan nafsu. Soalnya harus melawan kedinginan itu. Makanya, kita harus terpisah. Apalagi belum muhrim.
Selesai tendanya didirikan, aku buatkan kopi untuknya. Dia suka kopi susu di bandingkan kopi hitam. Aku juga begitu.Â
Selesai kopinya sudah di buat, aku panggil dia untuk keluar dan melihat bintang sama-sama. Â Â Â Â Â Â
Dia keluar dengan muka pucat. Bukan karena sakit, tetapi memang di puncak serasa kedinginan itu mencekam masuk ke pori-pori. Aku sodorkan kopi yang telah ku buat dan memintanya untuk duduk bersamaku. Aku gelar tikar panjang untuk dapat duduk bersamanya. Aku duduk dan dia bersandar di pundakku.
Wah, bukannya aku pamer. Tetapi serasa nyaman kepalanya bersandar di pundakku. Apalagi tangan kirinya memegang tangan kananku. Aduh, mulus sekali tangannya. Memang, aku gugup.
"Kamu cinta ndak sama aku?" dia tiba-tiba berkata seperti itu dengan wajah memelas.
Wah aku langsung jawab iya. Aku tak peduli terkait jual mahal ataupun murah. Apapun yang ada diperasaanku langsung aku ungkapkan.
Dia tidak berbicara lagi dan aku terdiam. Kita melihat bintang. Tiba-tiba ada salah satu bintang yang jatuh. Konon katanya, adanya bintang jatuh itu biasanya semua permintaan di turuti. Iya, memang katanya.
"Wah ada bintang jatuh, mas. Aku harap kita selalu sama-sama ya."