Mohon tunggu...
Fachriza Aries
Fachriza Aries Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Fachriza Aries Dwi aditya Hobi : olahraga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

1001 Caraku Bertahan

12 November 2024   07:48 Diperbarui: 12 November 2024   07:57 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagi orang lain, mungkin usia 17 tahun adalah usia yang paling menyenangkan lantaran lingkungan adaptasi mulai meluas. Namun, itu tidak berlaku baginya. Di usia remajanya ini, Ia sudah dituntut menjadi seorang laki-laki dewasa yang harus mengurusi berbagai problematika keluarga. Terutama dalam hal perekonomian.

     Dia adalah Julian. Hidupnya begitu malang. Kala Julian duduk di awal bangku sekolah menengah pertama, sang bunda berpulang ke pangkuan Tuhan setelah berhasil melahirkan adik perempuan yang diberi nama Gita. Usai kepergian bunda, Julian dan Gita diasuh oleh sang ayah hingga Julian berumur 16 tahun. Tetapi nahasnya, ayah kebanggan Julian juga turut menyusul sang bunda. Ayahnya mengalami kecelakaan parah ketika bekerja mengemudi taksi. Sejak kematian sang ayah, Julian tak punya keluarga lagi selain adiknya sendiri, Gita.

     Bagaimanapun juga, kehidupan Julian harus tetap berjalan ke depan. Rutinitasnya setiap pagi adalah menyiapkan hidangan sarapan untuknya dan juga untuk Gita. Julian tak sendirian mengurusi pekerjaan rumah, adiknya yang sekarang ini menduduki kursi sekolah menengah pertama, juga turut membantu sang kakak.

     “Menu pagi ini ayam goreng spesial buatan abang!” kata Julian semangat, sembari menyusun potongan ayam hangat di atas piring.

     Seulas senyum tipis terbit di bibir Gita. Gadis itu mematikan kran wastafel usai mencuci piring. “Makasih banyak, Bang.”

“Iya sama-sama.” Jawab Julian. Lalu Ia mengambilkan secentong nasi untuk adiknya

     Saat mereka makan, Gita menanyakan sesuatu kepada Julian

     “Emm ... Bang?” panggil Gita ragu-ragu.

     “Kenapa?”

     “Uang buat SPP gimana, Bang? Udah ada?” tanya Gita.

     Julian termenung. Bingung harus memberi jawaban apa pada Gita.

     Gadis itu menghela napas berat. “Kemarin aku ditagih lagi. Yang bulan kemarin belum bayar, bulan ini juga belum bayar. Takutnya makin nunggak banyak, Bang.”

     “Bentar, ya.” Julian beranjak dari meja makan menuju kamarnya. Membuka lemari pakaiannya dan mengambil uang yang ditaruh di dalam amplop. Hanya tersisa satu lembar uang merah bernominal seratus ribu rupiah dan selembar uang lima puluh ribu rupiah saja.

     Tadinya uang itu hendak Julian bayarkan untuk uang SPP sekolahnya bulan ini supaya tidak menunggak. Tetapi karena kondisinya seperti ini, ia terpaksa memberikan uang tersebut untuk Gita. Sisanya, akan ia simpan untuk membayar SPP-nya sendiri.

     “Makasih banyak, Bang. Abang siap-siap gih. Urusan beberes rumah nanti aku bisa urusin semuanya waktu pulang sekolah.”

     “Siap, tuan putri!” Julian bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sementara Gita tersenyum lugu seraya memindahkan piring-piring kotor bekas sarapan ke wastafel cuci piring.

     Setelan seragam khas anak SMA membaluti tubuh kekar Julian. Sepeda biru ringkih yang membawanya ke mana-mana selama ini sudah terparkir di samping rumah, seolah siap mengantarkan tuannya pergi ke manapun yang ia mau. Sepeda itu hadiah dari ayah saat Julian berulang tahun yang ke 10 tahun.

     Julian mengayuh sepedanya menyusuri tiap-tiap jalanan yang ia lalui. Hingga berhenti tepat di depan sebuah gapura pemakaman. Ia menstandarkan sepeda nya itu lalu berjalan memasuki area pemakaman. Kala kedua mata hitam legamnya menangkap nama sang ayah dan sang bunda yang tertulis di nisan, ia berhenti melangkah. Perlahan, ia mendekati kedua gundukan tanah dengan bunga-bunga yang telah kering di atasnya. Ia berjongkok di samping kedua makam orang tuanya seolah kakinya layu dan tak sanggup berdiri terlalu lama.

     “Bunda ....... .” Suara Julian memanggil setengah berbisik. “Julian di sini takut.” Buliran bening tiba-tiba saja menggenang di kelopak matanya.

     “Julian kangen bunda. Julian juga kangen ayah.” Julian tak kuasa menahan air matanya untuk tidak terjatuh. “Bunda dulu pernah bilang ke Julian kalau Julian tidak boleh jadi anak yang cengeng. Tapi maaf, Bun, sekarang Julian nangis, Julian juga harus mengurus Gita, Bun. Julian juga harus mengurus perekonomian kami."

     “Tapi, Julian juga bersyukur ada Bu Ida yang udah ngasih kerjaan buat Julian. Kerjanya ngangkatin barang di toko. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya sedari tadi, bibirnya dilengkungkan ke atas membentuk seutas senyuman manis tetapi sangat tipis.

     “Bunda, Ayah ... Julian pamit dulu ya.” Ia menyingkirkan bunga-bunga kering yang ada di sekitar pemakaman orang tuanya.

     Keluar dari area pemakaman, Julian melanjutkan perjalanan menuju toko Bu Ida. Hari ini ia akan bekerja keras seharian untuk menghasilkan uang yang cukup untuk kebutuhan sekolahnya dan Gita. Sekaligus rencananya untuk membelikan kue di hari ulang tahun Gita.

     Sesampainya di toko Bu Ida, Julian turun dari sepeda dan langsung mengahampiri Bu Ida. “Pagi, Bu! Itu barang di depan dipindahin ke mana?”

     Bu Ida tampak terkejut melihat kehadiran Julian di tokonya sepagi ini. Harusnya anak satu itu pergi ke sekolah, bukan malah ke tokonya. “Kamu nggak sekolah, Julian?"

    “Libur dulu, Bu. Sengaja ke sini lebih awal biar dapat upah banyak.”

     Bu Ida geleng-geleng kepala. “Ya sudah, barang yang ada di depan tolong pindahin ke gudang belakang ya. Sekalian rapihin. Besok-besok Bu Ida nggak mau lihat kamu bolos sekolah buat ke sini, kecuali hari libur. Kalau hari-hari sekolah ke sininya pas pulang aja ya, An,” tutur Bu Ida kepada Julian

     “Iya bu siap. Julian ganti baju dulu baru angkatin barang-barangnya.”

     Julian pun beranjak pergi sesuai perintah dari Bu Neni. Setelah itu, ia mulai mengangkati barang-barang kebutuhan toko. Kardus demi kardus ia pindahkan dari yang semula berada di depan toko ke dalam gudang. Ya seperti inilah kebiasaannya sepulang sekolah. Bekerja paruh waktu demi menghidupi Dirinya dan Adiknya.

     Tak terasa, cahaya jingga terlihat dari langit sebelah barat. Keringat yang mengalir dari kening, Julian usap dengan tangannya. Seluruh pekerjaannya juga telah usai. Hingga akhirnya......, Bu Ida datang menghampiri Julian.

     Bu Ida mengulurkan sebuah amplop putih kepada Julian. “Ini upah hari ini. Semoga cukup, ya, An.” ucapnya.

     Julian menerima amplop itu. “Wah, makasih banyak Bu. Semoga tokonya rame terus!” Ia tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit seperti bulan sabit.

     Bu Ida mengangguk turut senang. “Aamiin. Ya sudah, kamu pulang sana gih! Gita pasti udah nungguin kamu.”

     Julian mencium tangan Bu Ida, Julian berpamit. “Julian Pulang dulu, ya Bu”

     Julian menuntun sepedanya di sepanjang jalan sembari menikmati suasana sore hari. Amplop putih yang berada di tangan kirinya membuat laki-laki itu senyum-senyum sendiri.

     Hari di mana Gita berulang tahun pun tiba pada hari ini. Amplop putih yang tempo hari dari Bu Ida sebagai upahnya bekerja seharian, rupanya berisi lima lembar uang kertas yang masing-masing nominalnya adalah seratus ribu rupiah. Julian sebisa mungkin untuk menggunakan uang tersebut secara bijak.

     Pulang sekolah hari ini, Julian bekerja di toko Bu Ida sebentar, kemudian bergegas mencari kue serta hadiah untuk Gita. Kebetulan, di seberang toko Bu Ida ada toko kue. Kata Bu Ida, kue yang dijual di sana terbilang cukup terjangkau tapi rasanya enak. Jadi, Julian tanpa ragu membeli kue dengan lapisan krim strawberry. Julian juga tak lupa membeli satu lilin ulang tahun berukuran kecil yang nantinya akan ia tancapkan di atas kue.

       Usai membeli kue, Julian kembali mengayuh sepedanya pelan-pelan. Lalu Ia berkata "Kira-kira ada yang menjual sepatu dengan harga murah tidak, ya?"

     Tiba-tiba, saat perjalanan menuju rumah. Di tepi jalan terdapat kerumunan orang

     Ayo-ayo sepatu murah, sepatu murah! Harga di bawah seratus ribu saja! Mari-mari!

     Mendengar suara itu. Ia pun mendekat ke sumber suara. Banyak orang yang bergerombol sehingga ia harus mengeluarkan tenaga untuk berusaha menerobos supaya ia juga dapat melihat-lihat sepatunya

     Julian melihat sepasang sepatu yang bahannya bagus. Ia mengangkat sepatu itu kemudian mengamati tiap sudut isi sepatu dan membaca label yang tergantung di sana. Ukuran 37. Pas sekali dengan kaki Gita.

     “Mas-Mas, yang ini berapa, ya?” tanya Julian kepada penjual.

     “Oh, yang itu seratus ribu pas Dek.”

     “Nggak boleh kurang mas? Kan katanya harganya di bawah seratus ribu.”

     “Wah iya sih. Tapi kalau yang itu emang harganya seratus ribu pas, bahannya bagus soalnya.”

     “Kurangin lah Mas. Sembilan puluh gimana?”

     “Ya udah deh sembilan puluh.”

     “Nih uangnya mas. Makasih banyak ya.”

     Setelah berhasil bernegosiasi dengan penjual, Julian melanjutkan perjalanannya menuju rumah.

     Dari mulai Julian pulang sekolah, lalu bekerja, dilanjutkan dengan mencari kue serta sepatu untuk Gita, cukup menguras waktu hingga matahari benar-benar terbenam dan langit berganti menjadi gelap. Saat Julian pulang, Gita sudah menunggu di teras rumah mereka.

     “Tumben bang jam segini baru pulang? Biasanya sore udah di rumah. Itu bawa apa? Banyak banget,” tanya Gita kepada sang kakak.

     “Kalau nanya satu-satu.” Julian menaruh barang bawaannya, kemudian duduk di samping Gita.

     Julian mengeluarkan kue yang dibelinya tadi. “Hari ini siapa ya, yang ulang tahun?” kata Julian dengan nada jahil.

     Adiknya tersenyum malu. “Apa an sih bang.".

     “Ambilin korek dulu sana,” Suruh Julian. Gita pun mengambilkan apa yang disuruh oleh abangnya itu.

     Setelah Gita kembali, Julian menyalakan korek api itu kemudian mengarahkannnya ke sumbu lilin yang sudah ia tancapkan di atas kue. “Taraa. Happy birthday to you...” Julian bernyanyi untuk adik kecilnya.

     Gita memejamkan matanya sebelum meniup lilin.

     Selamat ulang tahun ya. "Abang doain agar kamu sehat dan panjang umur dan juga selalu di samping abang,” ucap Julian.

     “Makasih banyak bang” Adiknya itupun memeluk kakaknya sangat erat.

     “Iya sama-sama.” Julian membalas pelukan adiknya. Julian mengambil satu kantong keresek lagi dan memberikannya kepada Gita. “Ini ada satu lagi buat kamu.”ucap Juliam.

     Gita mengambil kantong itu dari Julian. “Wah, apa lagi ini bang?”tanya Gita

     “Buka saja dulu."Jawab Julian

     Ketika melihat isi kantong keresek berupa kardus. Tangan gadis itu cekatan mengeluarkan kardus tersebut dari kantong keresek. Lalu, ia buka kardus itu. Ketika di buka yang ada di dalam kardus itu ternyata... “Bang, ini kan...” Ia tidak bisa berkata-kata lagi.

     “Bagaimana? Suka tidak?”

     “Suka banget bang” jawab Gita dengan ekspresi wajah senang. Gadis itu memeluk Abangnya yang kedua kalinya. “Abang makasih banyak ya. Aku suka hadiahnya,” ucap Gita

     Ternyata isi dalam sebuah kardus itu adalah sepasang sepatu yang dibeli oleh Julian

     “Iya, sama-sama. Sekarang kita makan kuenya bareng-bareng ya.”

     Kakak beradik itu sama-sama menikmati kue mini yang sudah dibagi menjadi dua sambil memandangi cahaya rembulan di gelap gulitanya langit malam.

     Sesaat, Julian memalingkan wajahnya ke arah Gita. Ia tersenyum tipis. “Abang akan selalu di sini buat kamu dek. Abang akan berusaha apapun buat kamu." Ucap Julian.

     Gita terenyuh mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Abangnya. Lalu ia berkata “Aku cuma mau Abang sehat terus dan selalu sama aku.”

..

     “Ingat pesan bunda yang dulu. Hidup itu harus dinikmati dengan cara bersyukur. Sekecil apapun yang kita punya sekarang, kita harus bersyukur" ucap Julian. Sekalipun hidupnya susah, ia selalu mengingat pesan-pesan kedua orangtuanya.

     “Karena bersyukur adalah cara terbaik supaya merasa cukup.” balas Gita.   

     Begitulah yang namanya kehidupan. Penuh dengan kejutan-kejutan yang tak terduga. Masa kecil Julian sebelum kehadiran adiknya begitu indah layaknya pelangi yang penuh warna. Saking indahnya, Julian sampai lupa bahwa pelangi hanya ada untuk sementara. Kepergian sang bunda membawa duka yang dalam untuk Julian dan sang ayah. Namun, Julian kembali diingatkan jika pelangi akan terlihat setelah badai berlalu. 

     Julian hidup di dunia ini hanya untuk Gita. Ia hanya ingin menyaksikan pelangi kecilnya itu setiap waktu memancarkan warna indah yang membuat rasa lelahnya hilang. Senyuman hangat yang selalu terbit dari wajah Gita, seolah Julian melihat sang Ibunda tercintanya.

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun