Mohon tunggu...
Fachri YusrizalAlifiansyah
Fachri YusrizalAlifiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Mulai aja dulu

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dampak Pasal Karet UU ITE, Masyarakat Saling Lapor

21 Juni 2021   15:17 Diperbarui: 21 Juni 2021   15:26 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia teknologi sekarang ini sudah semakin berkembang dan maju. Kehidupan sehari-hari kita bahkan tidak bisa jauh dari gawai. Namun, selain dampak positif yang bisa kita rasakan, dampak negatif juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang kita alami saat ini. Sudah cukup rasanya melihat orang dijebloskan kedalam penjara karena pasal karet yang dimiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. Alangkah lebih baiknya, sanksi yang diberikan berupa denda berupa uang dengan nominal tertentu tergantung seberapa berat kasusnya. Indonesia adalah Negara demokrasi yang seharusnya masyaraktnya tidak perlu takut untuk berekspresi ataupun mengkritik pemerintah. UU ITE sering digunakaan oleh pihak tertentu untuk melaporkan pelaku karena tidak sepemikiran dengannya yang kemudian dijebloskan kedalam penjara. Tidak jarang UU ITE ini digunakan oleh pihak politik untuk menangkap aktivis yang tidak sepemikiran dengannya. Tercatat sebanyak 47 pejabat publik melaporkan kasus menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2020.  

Dibuatnya UU ITE malah membuat masyarakat Indonesia saling melaporkan karena masalah yang tergolong sepele dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau diskusi. Kasus yang sering dijumpai adalah pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan juga dugaan menyebarkan hoaks. Bagi pengguna media sosial, tentunya dengan adanya UU ITE maka diharapkan untuk semua kalangan pengguna media sosial harus bijak dalam menggunakan media sosial agar tidak terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. Menurut Safe.net, sebanyak 324 orang terjerat kasus UU ITE, 209 orang terjerat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan 76 orang terjerat pasal 28 ayat 3 tentang ujaran kebencian. Tentunya, kita berharap pemerintah serius untuk merevisi atau menghapus pasal-pasal yang bermasalah tersebut untuk mengembalikan keberanian masyarakat untuk berekspresi. Kemudian, Pada tahun 2020, Indeks Demokrasi Indonesia mencatatkan skor terendah dalam 14 tahun terakhir, hal ini membuat Indonesia dikategorkan sebagai Negara dengan demokrasi cacat.

Dengan adanya UU ITE ini saja sudah membuat masyarakat kalangkabut karena takut untuk berekspresi, dan baru baru ini muncul draf RUU KUHP yang didalam draft mengatakan bahwa menghina martabat presiden dan wakil presiden dapat diancam hukuman 3,5 tahun dan 4,5 tahun bila menggunakan media sosial. Hal itu diatur dalam Pasal 218 ayat 1 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Jika hal itu terwujud, hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah sekarang tidak mau dikritik atau tidak mau mendengarkan kritikan dan masukan dari masyarakatnya. Beberapa tokoh juga menyoroti UU ITE yang mengganjal demokrasi ini, seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Rocky Gerung. Jusuf Kalla menyindir permintaan Presiden Joko Widodo untuk meminta masyarakat mengkritik pemerintah. Menurut Jusuf Kalla, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi. Sementara Rocky Gerung mengatakan Presiden Joko Widodo seolah menutup mata akan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi, kebebasan berpendapat itu telah tersandera Undang-Undang ITE. Pemerintah sendiri melalui Menko Polhukam Mahfud MD sudah mengatakan tidak akan mencabut UU ITE ini. Pemerintah sendiri membuat 2 solusi untuk menyelesaikan masalah pasal karet UU ITE ini.

Pertama, pemerintah akan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dari tiga kementrian/lembaga, yakni Polri, Kementrian Komunikasi dan Informatika, dan Kejaksaaan Agung terkait pedoman penafsiran UU ITE, dalam waktu dekat. Kedua, pemerintah akan melakukan revisi terbatas atas UU ITE. Namun revisi ini sifatnya semantik dari sudut redaksional. Sebelumnya, Mahfud menjelaskan ada 4 pasal yang akan direvisi dan menambahkan 1 pasal. Revisi ini bertujuan untuk menghilangkan multitafsir, pasal karet, dan kriminalisasi. Keputusan revisi ini diambil Mahfud MD setelah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun