UU ITE sendiri memiliki beberapa pasal karet yang isinya terlalu luas dan pasalnya itu tidak terdefinisikan dengan jelas. UU ITE juga tidak begitu jelas membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik, padahal kedua hal tersebut sudah diatur secara jelas di KUHP. Ada setidaknya 9 pasal karet atau pasal yang  bermasalah dalam UU ITE ini : Pertama, Pasal 26 ayat 3 yaitu tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
Ke-2, Pasal 27 ayat 1 yaitu tentang asusila. Pasal ini rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
Ke-3, Pasal 27 ayat 3 yaitu tenang dafamasi. Pasal ini rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
Ke-4, Pasal 28 ayat 2 yaitu tentang ujaran kebencian. Pasal ini rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
Ke-5, Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini rentan dipakai untuk mempidana seseorang yang mau melapor ke polisi.
Ke-6, Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
Ke-7, Pasal 40 ayat 2 (a) tentang muatan yang dilarang. Pasal ini rentan digunakan untuk dijadikan alasan mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
Ke-8, Pasal 40 ayat 2 (b) tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
Dan yang Ke-9 adalah Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
Namun, persoalan utama dalam UU ITE ini ada di pasal 27 sampai 29 yang lebih baik dihapus karena isinya tidak terdefinisikan dengan tepat. Bunyi pasal yang bermasalah yaitu "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" Pasal 27 ayat 3. Pasal 27 ayat 3 diduga dapat mengekang masyarakat untuk mengkritik aparat dan pemerintah dan juga pasal tersebut membahas tentang penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media sosial, sehingga sering digunakaan pihak tertentu untuk menuntut pidana masyarakat yang melayangkan kritik lewat internet atau media sosial.
UU ITE sendiri dibahas tahun 2005 hingga 2007, yang kemudian disahkan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. UU ITE sendiri dibuat untuk melindungi konsumen dalam bertransaksi elektronik ditengah kemajuan teknologi pada saat ini yang semakin pesat. Tapi kemudian, keberadaan UU ITE malah semakin mengancam kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan pada masa reformasi dulu di tahun 1998. UU ITE sendiri sebenarnya sudah dilakukan revisi pada tahun 2015 atas usulan Presiden Joko Widodo, namun pasal yang direvisi tidak mengarah kepada pasal yang bermasalah. Kemudian pada tanggal 15 Februari, Presiden Joko Widodo pernah meminta kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) untuk meningkatkan pengawasan terhadap penegakan UU ITE agar dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan adil. Presiden Joko Widodo juga mengatakan, jika Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak bisa memberikan rasa keadilan, maka Presiden Joko Widodo akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi pasal karet yang bisa menimbulkan multitafsir dalam Undang-Undang tersebut. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pasal karet yang ada didalam UU ITE dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat Indonesia saat ini.Â
Dunia teknologi sekarang ini sudah semakin berkembang dan maju. Kehidupan sehari-hari kita bahkan tidak bisa jauh dari gawai. Namun, selain dampak positif yang bisa kita rasakan, dampak negatif juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi yang kita alami saat ini. Sudah cukup rasanya melihat orang dijebloskan kedalam penjara karena pasal karet yang dimiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. Alangkah lebih baiknya, sanksi yang diberikan berupa denda berupa uang dengan nominal tertentu tergantung seberapa berat kasusnya. Indonesia adalah Negara demokrasi yang seharusnya masyaraktnya tidak perlu takut untuk berekspresi ataupun mengkritik pemerintah. UU ITE sering digunakaan oleh pihak tertentu untuk melaporkan pelaku karena tidak sepemikiran dengannya yang kemudian dijebloskan kedalam penjara. Tidak jarang UU ITE ini digunakan oleh pihak politik untuk menangkap aktivis yang tidak sepemikiran dengannya. Tercatat sebanyak 47 pejabat publik melaporkan kasus menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2020. Â
Dibuatnya UU ITE malah membuat masyarakat Indonesia saling melaporkan karena masalah yang tergolong sepele dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau diskusi. Kasus yang sering dijumpai adalah pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan juga dugaan menyebarkan hoaks. Bagi pengguna media sosial, tentunya dengan adanya UU ITE maka diharapkan untuk semua kalangan pengguna media sosial harus bijak dalam menggunakan media sosial agar tidak terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. Menurut Safe.net, sebanyak 324 orang terjerat kasus UU ITE, 209 orang terjerat pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan 76 orang terjerat pasal 28 ayat 3 tentang ujaran kebencian. Tentunya, kita berharap pemerintah serius untuk merevisi atau menghapus pasal-pasal yang bermasalah tersebut untuk mengembalikan keberanian masyarakat untuk berekspresi. Kemudian, Pada tahun 2020, Indeks Demokrasi Indonesia mencatatkan skor terendah dalam 14 tahun terakhir, hal ini membuat Indonesia dikategorkan sebagai Negara dengan demokrasi cacat.
Dengan adanya UU ITE ini saja sudah membuat masyarakat kalangkabut karena takut untuk berekspresi, dan baru baru ini muncul draf RUU KUHP yang didalam draft mengatakan bahwa menghina martabat presiden dan wakil presiden dapat diancam hukuman 3,5 tahun dan 4,5 tahun bila menggunakan media sosial. Hal itu diatur dalam Pasal 218 ayat 1 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Jika hal itu terwujud, hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah sekarang tidak mau dikritik atau tidak mau mendengarkan kritikan dan masukan dari masyarakatnya. Beberapa tokoh juga menyoroti UU ITE yang mengganjal demokrasi ini, seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Rocky Gerung. Jusuf Kalla menyindir permintaan Presiden Joko Widodo untuk meminta masyarakat mengkritik pemerintah. Menurut Jusuf Kalla, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi. Sementara Rocky Gerung mengatakan Presiden Joko Widodo seolah menutup mata akan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi, kebebasan berpendapat itu telah tersandera Undang-Undang ITE. Pemerintah sendiri melalui Menko Polhukam Mahfud MD sudah mengatakan tidak akan mencabut UU ITE ini. Pemerintah sendiri membuat 2 solusi untuk menyelesaikan masalah pasal karet UU ITE ini.
Pertama, pemerintah akan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) dari tiga kementrian/lembaga, yakni Polri, Kementrian Komunikasi dan Informatika, dan Kejaksaaan Agung terkait pedoman penafsiran UU ITE, dalam waktu dekat. Kedua, pemerintah akan melakukan revisi terbatas atas UU ITE. Namun revisi ini sifatnya semantik dari sudut redaksional. Sebelumnya, Mahfud menjelaskan ada 4 pasal yang akan direvisi dan menambahkan 1 pasal. Revisi ini bertujuan untuk menghilangkan multitafsir, pasal karet, dan kriminalisasi. Keputusan revisi ini diambil Mahfud MD setelah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H